Sinar matahari pertama menelusup lembut melalui celah tirai jendela kamar, menerobos pelan seperti tangan halus yang mencoba membangunkan isi ruangan dari tidur panjangnya. Cahaya itu menyentuh ujung ranjang, merambat ke lantai, lalu menyinari permukaan meja nakas yang sepi. Udara pagi terasa lebih dingin dari malam sebelumnya, seakan menyimpan jejak yang belum sempat hilang. Suara kota Jakarta mulai terdengar samar dari kejauhan—deru kendaraan, klakson yang bersahutan, dan dengung aktivitas yang perlahan menggeliat, menandai dimulainya hari baru di tengah keramaian ibukota. Samuel mengerjap perlahan. Kelopak matanya terasa berat namun hangat, seperti enggan terpisah dari sisa mimpi yang belum selesai. Tubuhnya masih berada di bawah selimut tipis, sementara aroma kamar pagi itu masih leka