4. Lolerei

1759 Kata
Ilsa terbaring miring di selnya sambil terisak pelan. Gadis itu bahkan tidak bisa mendudukan tubuhnya tanpa rasa nyeri di tempat dimana Samael baru saja memasukinya. Lengan kurusnya melingkar, mendekap erat tubuhnya sendiri, sementara lututnya terangkat hingga ke bahu, membentuk bola. Tidak ada yang ingin dilakukannya sekarang kecuali berdoa agar tanah tempatnya berbaring terbuka lebar dan menelannya bulat-bulat. Entah berapa lama Ilsa terbaring tidak bergerak, tanpa mampu memejamkan matanya. Menunggu agar rasa sakit di celah tubuhnya berkurang, hingga suara langkah kaki seseorang yang mendekat, membuat Ilsa mengangkat kepalanya. Dari tempat ia berbaring tampak kaki bersepatu seorang wanita mendekat. “Bangun!” perintah Magda. Ilsa tidak bergeming. Ia membaringkan kembali kepalanya ke atas lantai dan membungkam. Wanita itu meraih lengan Ilsa dan menyentaknya. “Bangun kubilang!” Ilsa menjerit kecil. Tarikan tangan Magda menggoncang tubuhnya yang terasa remuk dan menambah rasa sakit yang tidak juga berhenti berdenyut terlebih ketika ia bergerak. “Biarkan aku sendiri.” Ilsa menarik lengannya balik dan membantah. Wajahnya yang masih basah oleh airmata terasa lengket bercampur dengan pasir dari tanah yang menjadi alas tidurnya. Magda menarik nafas dan berlutut disebelah gadis itu. “Aku membawakan ramuan untuk kau minum. Ini akan membantu rasa sakitmu.” Ilsa melirik ke arah Magda. Wanita itu menyodorkan sebuah cawan dengan ramuan berwarna hitam di dalamnya. Walau masih ragu, tapi perlahan Ilsa bangkit. Menggunakan satu tangan menopang tubuhnya agar tidak sepenuhnya duduk, Ilsa meraih cawan dengan tangan yang lain dan menenggak ramuan itu hingga habis. Rasanya yang sedikit manis dan hangat memenuhi rongga tenggorokan Ilsa, sebelum meluncur turun ke dalam perutnya. Panasnya langsung menyebar ke seluruh tubuh Ilsa. Dari ujung tangan hingga jemari kakinya yang membeku, menjadikan perasaannya sedikit membaik walau rasa pedih di celah pa-hanya tidak juga berkurang. “Apakah ini yang dirasakan oleh mereka?” tanya Ilsa perlahan ketika ia akhirnya memiliki tenaga untuk bersuara. “Mereka siapa?” “Bu-dak bu-dak ayah.” Magda tertawa lepas mendengar pertanyaan Ilsa. Tidak menyangka senaif itu putri Raja Terrance akan kehidupan yang dialami para bu-dak. “Jika Yang Mulia berniat membuatmu merasakan bagaimana rasanya menjadi bu-dak Raja yang sesungguhnya, ia akan memulai dengan membakar ke-maluanmu, atau mengedarkanmu pada panglima-panglima setianya setelah selesai menggaulimu. Putri,” jawab Magda dingin. “Percayalah. Yang sedang kau rasakan saat ini, tidak ada bandingannya dengan apa yang sudah di rasakan oleh bu-dak yang lain.” Wanita itu berdiri dan melemparkan sebuah selimut dan gaun polos dari kain berwarna coklat ke arah Ilsa. “Setidaknya ketika aku menjadi bu-dak ayahmu, ia tidak akan mengirimkan obat atau selimut untukku,” geramnya tertahan kemudian berlalu pergi. Ilsa terdiam menatap kepergian Magda. Begitu kembali berada di dalam kegelapan, Ilsa meraih gaun polos tanpa lengan yang dilemparkan oleh Magda dan memakainya, bertumpuk dengan gaun tipis yang dikenakannya. Tangannya menarik selimut yang ada didepannya dan menutupkannya ke atas tubuhnya sebelum kembali membaringkan kepalanya ke lantai yang keras. Ilsa kembali memeluk tubuhnya sendiri dan membiarkan efek obat yang membuatnya mengantuk membawa Ilsa ke alam mimpi. Dua hari Ilsa dibiarkan terbaring sendiri dalam kegelapan sel bawah tanahnya. Ada dua orang prajurit yang berjaga di depan pintu sel, yang sepertinya lebih untuk menjaga agar tidak ada yang menyentuh Ilsa, daripada mengurung gadis itu. Terbukti dari pintu sel yang sebetulnya tidak tertutup. Namun, walau demikian, Ilsa juga sebetulnya tidak berniat untuk kabur. Atau lebih tepatnya terlalu takut untuk kabur. Gadis itu dibesarkan bagaikan seekor ikan emas di dalam cawan kaca. Aman dalam perlindungan gerbang istana ayahnya. Tidak pernah terpikirkan bagi Ilsa untuk keluar dari dalamnya seorang diri. Karenanya, walaupun ia mungkin memiliki kesempatan, tapi apa yang sudah dialaminya sejak kedatangan Samael, sudah mematahkannya. Nyalinya terlalu lemah bahkan untuk mencoba. Yang dipikirkannya saat ini hanyalah cara untuk bertahan di kondisinya, dan bagaimana agar tidak hancur berantakan. Pada hari ketiga, seorang prajurit muncul dan menyerahkan segulung surat pada penjaga yang berjaga di depan sel. Begitu membaca perintah dari Raja mereka, salah satunya mempersilahkan prajurit itu masuk. Ilsa langsung tersentak berdiri melihat kedatangan pria itu. Nyeri di tubuhnya sudah jauh berkurang, namun ia masih bisa merasakan ngilu yang belum sepenuhnya hilang di tempat yang dimasuki oleh Samael setiap ia bergerak. Tanpa bicara, pria itu meraih lengan Ilsa dan menariknya keluar sel. Keduanya berjalan dalam diam melewati ruang bawah tanah menuju tangga ke atas. Begitu pintu bawah tanah terbuka, Ilsa mengerjapkan matanya yang sudah lama tidak melihat sinar selain dari cahaya obor. Teriknya pancaran matahari siang membutakan pandangannya selama beberapa detik. Hampir saja ia terjatuh karena tersandung meja yang berada di sisi lorong jika tidak karena cengkeraman erat dari prajurit yang terus menyeretnya. “Hendak kemana kita?” tanya Ilsa memberanikan diri. Gadis itu mengangkat satu tangan ke arah wajahnya berusaha melindungi matanya dari cahaya matahari yang masuk dari jendela-jendela sepanjang lorong. “Bu-dak perlu bekerja,” balas sang prajurit. “Yang Mulia menugaskan mu menjadi pelayan Nona Lolerei.” “Siapa Nona Lolerei?” tanya Ilsa tidak paham. Ia menoleh menatap ke arah prajurit yang terus menariknya dan mendapati bahwa pria itu hanya memiliki satu telinga. “Nona Lolerei adalah selir Raja Samael,” balas prajurit itu singkat. Ilsa kembali terdiam. Ia teringat akan selir ayahnya sendiri. Raja Terrance dulu memiliki banyak selir. Mereka adalah orang-orang yang menghangatkan ranjang ayahnya selain ibunya. Selir berbeda dengan bu-dak dengan artian mereka adalah orang-orang yang memiliki suara dan pilihan akan apa yang terjadi padanya. Mereka adalah orang bebas. Bukan seperti dirinya yang tidak memiliki hak apapun dan bergantung sepenuhnya pada Masternya. Samael. “Apakah Raja Samael memiliki banyak selir?” tanya Ilsa. Mendadak ada rasa penasaran dalam dirinya tentang Samael. Prajurit itu menggeleng, “Hanya Nona Lolerei.” “Bagaimana dengan istri. Apakah ia memiliki seorang istri?” “Istri?” prajurit itu tertawa mendengar pertanyaan Ilsa. “Untuk apa Yang Mulia memiliki seorang istri jika beliau tidak mampu mempunyai keturunan.” “Apa?” tanya Ilsa dengan mata membelalak. “Tidak kah kau tahu, seorang bu-dak tidak diperkenankan memiliki keturunan?” Ilsa tersentak. Pertanyaan sang prajurit membuatnya teringat akan apa yang dikatakan Magda beberapa hari yang lalu. Tentang membakar kemaluan para bu-dak. Itukah alasannya mereka melakukan hal itu? Agar mereka tidak memiliki keturunan? “Ayahmu memastikan tidak ada seorang bu-dakpun yang sanggup menghasilkan keturunan. Demi kepentingan kerajaan katanya. Akan menjadi aib jika salah satunya hamil oleh keturunan Sang Raja, atau bagi bu-dak pria, menghamili anggota kerajaan,” lanjut prajurit itu ketika Ilsa tidak juga menjawab. Ilsa kembali mengalihkan wajahnya ke bawah. Tidak mengira seburuk itu perlakuan ayahnya kepada para bu-daknya. Tapi prajurit itu tidak berhenti. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Ilsa dan berbisik, “Beritanya, Raja Samael tadinya disiapkan untuk melayani Sang Ratu. Desas-desus yang beredar dikalangan istana, Ratu Volarent adalah seorang maniak, yang suka meniduri bocah-bocah belasan tahun.” “Apa?!” balas Ilsa menarik tubuhnya menjauh. “Tidak mungkin!” serunya menyangkal. Tapi prajurit itu tidak menjawab dan malah mengeraskan tawanya membuat beberapa pelayan yang lewat menoleh dengan dahi berkerut. Tidak! lanjut Ilsa dalam benaknya sendiri. Benarkah yang diucapkannya? Benarnya ibunya rupanya tidak jauh berbeda dengan ayahnya? Tapi jika benar, tidak aneh jika pria itu sangat membenci mereka. Tidak aneh jika ia membenciku. Pikiran Ilsa terus berputar, mencari petunjuk akan masa kecilnya. Akan kedua orang tuanya. Ia memang lebih banyak dibesarkan oleh para pengasuh dan guru-gurunya, dan jarang menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya. Dan ketika mereka bersama-sama pun, tidak ada yang terasa janggal pada kedua orang tuanya. Entahlah, Ilsa menyerah. Sepertinya ia sendiri tidak terlalu mengenal kedua orang tuanya sebaik yang dikiranya. Keduanya sampai di depan kamar yang sangat dikenali oleh Ilsa selama bertahun-tahun karena kamar tersebut adalah kamar miliknya. Prajurit itu mengetuk pintu kamar dan suara seorang wanita langsung terdengar menjawab, “Masuk!” Prajurit yang membawa Ilsa mendorong pintu terbuka. Seorang wanita dengan rambut hitam sedang duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutnya yang panjang terurai hingga ke punggung. Wanita itu mmiliki kulit kuning kecoklatan. Matanya yang gelap menatap Ilsa dengan tatapan yang menusuk, tajam dan penuh dengan kedengkian yang sama dengan yang di pancarkan oleh Samael. “Nona Lolerei, saya bawakan bu-dak Raja Samael yang ditugaskan untuk melayani Anda,” ucap prajurit itu sambil menundukkan kepala. Lolerei mengamati wajah Ilsa, dan seketika kebencian menyeruak dari dalam da-da wanita itu. Ilsa hanya mengenakan gaun sederhana, dengan wajah polos tidak terpoles riasan apapun. Rambutnya yang coklat terlihat acak-acakan dan kusut, dan dengan tubuh kurus kering, bagaimana bisa pancaran kemegahan masih terlihat dari gadis itu? Lolerei meremas sisir yang sedang dipegangnya. Seperti Samael dan Magda, Lolerei dulunya hanyalah seorang bu-dak. Bukan dari kerajaan Valorent, tapi ia dulunya adalah bu-dak seorang panglima perang dari kerajaan lain yang kini sudah membangkai bersama dengan rajanya setelah di bunuh oleh Samael. Samael membebaskannya, tapi Lolerei memilih untuk Samael dalam perjalanannya menaklukkan kerajaan demi kerajaan. Membebaskan bu-dak demi bu-dak. Lolerei tahu, betapa bencinya Samael kepada mereka yang membelenggu. Karena itulah Samael belum pernah sekalipun menjadikan salah satu tawanannya sebagai bu-dak. Ilsa adalah yang pertama. Dan itu membuat Lolerei mendengki. Lolerei melambaikan tangannya, memerintah prajurit yang masih berdiri di belakang Ilsa untuk keluar sementara gadis itu tampak sedang mengamati kamar yang dipakai oleh Lolerei. Ilsa tidak bersuara, tapi mata besarnya terasa menghakimi Lolerei, seakan menghardiknya karena sudah lancang menggunakan benda-benda yang dulunya pasti adalah miliknya. Lolerei bahkan yakin sisir yang dipegang, dulunya adalah milik Ilsa. Tanpa sadar, perasaan tidak setara muncul dalam diri Lolerei dan itu membuatnya kian murka. “Apa yang sedang kau lihat?!” bentak Lolerei mengagetkan Ilsa. Wajah gadis itu langsung menunduk ke bawah sambil menggeleng. Ada rasa gembira dalam diri Lolerei karena telah berhasil membuat seorang putri raja tunduk padanya. Karenanya iapun melanjutkan, “Mulai sekarang, jangan sekali-kali kau berani mengangkat wajah jika sedang berada di hadapanku. Mengerti?” “Mengerti, Nona.” “Aku perlu memberimu nama. Ilsa… terlalu indah untuk nama seorang bu-dak. Mulai sekarang kau akan aku panggil… Kutu Busuk… hm ya cocok sekali.” Lolerei tersenyum lebar, bangga sudah bisa menemukan sebuah nama panggilan yang sangat rendah untuk seorang putri. Dengan wajah gembira, wanita itu melanjutkan, “Aku ingin mandi. Siapkan air panas untukku, Kutu Busuk!” “Y…ya, Nona.” Ilsa menjawab singkat mengabaikan nama baru yang diberikan padanya. Itu hanyalah sebuah nama, tidak melukai dan menyakitinya. Ilsa memutuskan untuk menerima panggilan apapun yang diberikan padanya. Tidak ada bedanya dengan bagaimana Samael memanggilnya, pikirnya. Belum pernah sekalipun mengiapkan air mandi, Ilsa mematung memikirkan kembali apa yang harus dikerjakannya. Ia mengingat-ingat apa yang biasa di lakukan oleh pelayannya setiap pagi ketika dirinya hendak mandi. Ah, biasanya mereka akan mengambil air panas ke dapur. Baru saja Ilsa hendak membalik, terdengar suara bentakan dari mulut Lolerei. “APA YANG KAU TUNGGU, KUTU BUSUK?!? CEPAT KELUAR!” =====
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN