8. Di Rumah Nenek Jeni

805 Kata
Farhan sedang memandangi Amelia yang tengah menenangkan Rey. Anak itu menangis terus sejak tadi. Entah kenapa ia merasa iba dan menghampirinya. Rey yang tengah tertunduk menangis hanya bisa diam saat dibujuknya. Jangankan tersenyum, untuk menjawab pertanyaannya pun Rey tak mau menjawabnya. “Kenapa kamu seperti itu? Kasihan Mama Amel, kan?” Rey hanya diam, ia sesenggukan, menangisinya cukup lama membuatnya sesenggukan dan tak mau diajak bicara. Setelah beberapa saat menangis lagi dan akhirnya Farhan menggendongnya. “Mas, jangan dimanja, biarkan saja!” gerutu Amelia yang kesal karena Rey memang nakal sejak tadi. “Memangnya dia kenapa sampai dimarahi, Mel?” tanyanya. Farhan memang suka anak kecil, dia bahkan selalu mengajak Rey bermain. Tapi Amel yang tak suka cara Farhan memanjakan anaknya. Rey menjadi manja dan tak bisa dikendalikan sekarang ini. “Rey bermain jauh, cukup jauh tadi. Aku sampai pusing mencarinya, Mas,” jawab Amel dengan helaan napas berat karena ngenes katanya. “Kalau begini terus, aku nggak bisa kerja di rumah itu,” gerutunya lagi. “Eh, kok bisa? Aku sudah janji lho, sama Nyonya rumah, nenek Jeni pasti senang kalau kamu kerja sama beliau,” ujar Farhan. Amelia berdecak. Dari kemarin memang dia berjanji pada Farhan akan datang ke rumah itu tapi kenakalan Rey yang membuatnya menahan diri hingga berpikir ulang jika harus bekerja di rumah orang kaya. Amelia menunduk, membersihkan kaki Rey dari kotoran yang menempel. Anak itu memang sering berbuat ulah yang kadang membuat Amelia mengelus d**a. Kaki Rey terlihat berdarah karena kena benda tajam. Dengan cepat ia membantu membersihkan dan membalutnya dengan plester setelah diberi obat merah. Namun tak berapa lama, ada pasien yang datang dan mengharuskan Farhan untuk segera berjalan kembali ke tempat prakteknya. Ternyata yang datang adalah kenalannya yang mengenal Rey dengan baik. Kenalannya juga sudah tahu kalau dia sering membawa Rey ke beberapa tempat. "Mas, kamu kok baik banget sama Rey," tegur temannya saat sedang praktek. "Ya, dia lucu soalnya. Juga sering kena marah mamanya, aku paling nggak tega karena kamu tahu kan kalau aku nggak punya sosok seorang ibu," Mamanya jarang sekali dekat dengannya, dia dibesarkan hanya bersama neneknya saja. Kadang-kadang saja mamanya pulang ke Indonesia. Temannya hanya mengangguk saja, lebih tepatnya hanya bersikap biasa saja meski ia menjelaskan dengan pasti kalau anak sekecil Rey sedang lucu-lucunya. Di kosnya, Amelia tengah berusaha untuk membuka sebuah bingkisan yang diberikan Farhan untuk Rey. Anak itu minta dibukakan karena katanya ada makanan yang cukup enak yang di bungkus dalam bingkisan menarik itu. "Ma, makan itu, mau," Rey menunjuk ke sebuah mangkok dan minta disuapi. Setelah makan Rey tidur, barulah sorenya ia diajak Farhan ke rumah nenek Jeni dan bertemu dengan wanita tua itu. Keramahan yang di lakukan seorang wanita tua membuat Amelia tak berpikir panjang. Ia segera mengiyakan dan membuat Farhan lega. Farhan lalu mengantarnya kembali ke kosnya untuk mengambil beberapa barang yang akan dibawanya ke rumah nenek Jeni. "Mas, nenek Jeni memang tinggal sendiri, ya di rumah itu?" tanyanya. Sebagian pakaian yang akan dipakainya untuk bekerja, dibawanya semua dan sudah disiapkan tinggal dibawa. "Nenek Jeni sedikit keras kepala, banyaknya anak tak bisa membuat nenek Jeni merasa bahagia. Beliau menginginkan teman mengobrol di hari tuanya. Cucunya belum memberikan dia seorang istri yang bisa menemani sehari-harinya di rumah itu," Amelia manggut-manggut dan mengerti. Keesokan harinya Farhan tak bisa mengantarnya ke rumah itu lagi. Jadilah Amelia pergi sendiri ke rumah besar nan tua itu. Ia dan Rey naik taksi online dan langsung menemui nenek Jeni di rumahnya. ** Wanita tua itu belum juga keluar. Amelia sudah menunggu sejak tadi. Tapi ia tetap duduk sambil menjaga Rey agar tak berlarian di rumah ini. Rumah orang kaya biasanya banyak memiliki barang-barang yang mahal. Rey dari tadi berusaha memegang sesuatu. Ia selalu berusaha mencegahnya, jika tidak ... aduh akan jadi apa rumah ini. "Nyonya, wanita itu duduk di ruang tamu," Sekilas Amelia mendengar suara orang. Sepertinya wanita tua itu tengah berjalan menuju ke arahnya. Ia berusaha merapikan diri dan bersiap menerima pertanyaan dari nenek yang akan dirawatnya. Mungkin saja seorang nenek tua yang sudah tidak bisa berjalan dan dengan bantuan kursi roda. Amelia masih duduk hingga kemudian saat datang dan memandangnya, ia terkejut dengan tampilan nenek pemilik rumah ini. "Jadi ... ini kalian yang datang? Kamu yang akan kerja disini, ya?" "I-iya, Nek. Maaf, saya kesini ..." "Siapa yang menyuruhmu? Farhan atau Arkana?" Amelia tersenyum, ada nama Farhan disana, dan dengan tegas ia menjawabnya kalau Farhan lah yang telah menyuruhnya datang ke rumah ini untuk melamar menjadi pelayan. "Dunia ini tak selebar daun kelor rupanya. Kalian malah yang datang kesini, oh ya siapa namamu?" "Sa-saya?" "Ya, siapa lagi?" Amelia merasa gugup karena grogi. Di samping karena malu juga dia merasa canggung berhadapan dengan orang yang sangat kaya apalagi sebaik wanita tua yang tempo hari memberinya uang. "Saya Amelia, Nek. Biasa dipanggil Amel," Nenek itu menganggukkan kepalanya, lalu memandang Rey dan mengajaknya mendekat ke arahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN