10. Kepala Botak Mengesalkan

1212 Kata
Wanita anggun itu berdiri di depan pintu menunggu seseorang membukanya. Ia sedang merasakan kecemasan karena memikirkan nasib mama mertuanya yang tak kunjung datang ke rumah beberapa hari ini. Pintu ternyata dibuka sekitar lima menit kemudian. Dia melihat seorang wanita cantik nan muda berdiri menyambutnya datang. “Siapa kamu? Oh ya, yang kerja dengan Mama, ya?” “Iya, Nyonya. Saya …” “... dia Amelia, masuk Geni, ada apa kesini?” Nenek Jeni ternyata sudah berada di belakangnya. Amelia segera berjalan ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya lagi. Rey juga sedang berdiri sambil mengintip dari balik tirai di kamarnya. Anak itu terbangun dari tidur siangnya rupanya. Amelia segera menyuruhnya untuk diam dan tidak berlarian karena ada tamu yang datang. “Ma, aku mau minum s**u,” ucap Rey saat mendekat ke dapur. “Iya, mama buatkan, ya, tapi kamu duduk saja disana, ini mainannya, jangan ke depan, disana ada tamu,” Rey mengangguk, anak dua tahun itu sedikit bisa bicara jika menginginkan sesuatu. Kosakatanya sering bertambah sejak tinggal disini. Amelia memang akhirnya memindahkan semua barang-barang miliknya ke rumah ini dan diletakkan di gudang. Nenek Jeni yang menyuruhnya memindah semua barang di kosnya. Rey duduk sambil memainkan mobil mainannya, s**u hangat selesai dibuatnya. Seorang pelayan menyuruhnya datang ke ruang tengah sambil menyerahkan minuman dan makanan cemilan yang akan dihidangkan untuk wanita yang baru datang tadi. “Kok nggak kamu saja?” tanya Amelia. “Nyonya Jeni yang minta, supaya setiap ada tamu kamu yang harus keluar membawa sajiannya,” Amelia mengerti dan menitipkan Rey pada pelayan itu. Ia berjalan dengan membawa nampan berisi minuman dan juga makanan. Ia tidak tahu peraturan ini dibuat secara mendadak karena biasanya memang bukan dia yang harus menyediakan sajian untuk tamu yang datang. “Ini Amelia, dia setia menemaniku. Bahkan dia tidak hanya menemani, tapi menjadi pendengar yang baik untukku. Bilang sama Sastro supaya tidak usah repot-repot menyuruh cucuku menikah,” Amelia mendengar semuanya dan langsung berbalik badan tapi nenek Jeni ternyata menyuruhnya duduk sebentar. “Aku sedang memperkenalkan kamu pada menantuku, sebentar dan jangan sibuk terus. Geni dan anakku harus tahu kalau aku sudah menemukan orang yang tepat untuk menemaniku disini,” Wanita bernama Geni memandangnya dari atas ke bawah. Tidak sinis tapi dari caranya memandang, Amelia tahu wanita itu tengah membaca karakternya karena nenek Jeni dari tadi memujinya. “Ma, Arkana bilang dia akan menikah tahun depan tapi kita tidak tahu bulan apa tepatnya, Arkana janji akan dinikahkan saja jika dia sudah bosan sendirian,” “Dengan Nancy kekasihnya itu?” Wanita itu menggeleng, “Nggak tahu persisnya siapa tapi Arkana menjanjikan seperti itu, jadi kita yang akan mencarikan jodoh, katanya,” “Hem, bagus kalau begitu,” gumam nenek Jeni. Karena mereka masih cukup lama mengobrol, akhirnya Amelia berpamitan masuk ke dalam dan mencari Rey yang ternyata sudah tidak ada di dapur. Anak itu katanya keluar tapi pelayan tadi tidak tahu ke arah mana perginya. ** Farhan menemui Arkana di kantornya. Dia ingin membicarakan tentang Giri yang datang memintanya sebuah pekerjaan. “Kamu kenal dia, Ar?” tanyanya memastikan. “Giri kan, namanya?” tanya Arkana lagi. “Ya, Giri, dia bilang dapat rekomendasi dari kamu,” Arkana mengangguk dan menyuruhnya duduk. “Ya, dia temanku satu kuliah tapi ya itu lah, nasib orang berbeda. Ilmunya melebihi apapun karena dia juara kelas tapi sayang nasibnya buruk dan kena PHK,” “Ouhhh,” Arkana teringat sesuatu, lalu menanyakannya pada Farhan yang tengah membaca berkas di mejanya. “Kamu mengenal wanita itu dimana, Han?” “Wanita yang mana, Ar?” tanya Farhan sambil mengerutkan keningnya. “Yang katanya sudah kerja sama nenek? Dia kan kamu yang mencarikan untuk nenek?” “Oh, si Amel, namanya Amel, Ar. Wanita beranak satu, aku kasihan melihatnya, jualan lagi sepi dan mulai ada pesaing jadi ya aku suruh saja melamar ke rumah nenek dan langsung diterima dong sama nenek,” “Oh, begitu,” Farhan tertawa, dia pun akhirnya berpamitan pulang karena akan menghubungi teman Arkana yang butuh pekerjaan. Kebetulan dia membutuhkan tenaga untuk jaga malam di tempat prakteknya yang masih harus dijaga karena beberapa waktu yang lalu pernah dibobol beberapa kawanan orang. Mereka mengambil obat-obatan yang biasa digunakan untuk campuran agar bisa nge fly. Farhan memang cukup lama mencari orang yang bisa menjaga tempat prakteknya agar lebih aman Setelah dari kantor Arkana, dia berniat mampir ke rumah nenek Jeni untuk melihat keadaan nenek dan juga Amelia. ** “Pak Presdir, ada yang ingin bertemu,” “Siapa?” “Manajer Han, Pak,” Arkana sedang sibuk menyusun sebuah strategi dan Han akan menemuinya hari ini. Padahal jauh-jauh hari ia minta pada manajernya itu untuk menemuinya secepat mungkin. Pria berkepala botak itu berdiri dan memberinya hormat saat ia menutup berkas pentingnya. “Pak Arkana, maaf saya baru bisa datang menghadap,” Manajer Han, orang kepercayaannya selama beberapa tahun ini telah melakukan sebuah kesalahan. Strategi pemasaran yang seharusnya berhasil malah gagal dan itu penyebab utamanya adalah Han sendiri. “Manajer Han, aku tak bisa membantumu jika kamu terus menerus melakukan kegagalan seperti sekarang ini,” Pria botak itu menunduk, entah malu entah takut entah sedang mengejeknya, ia tidak tahu karena pria itu tak menunjukkan reaksi yang mencurigakan. Padahal dari kemarin ia sudah menyuruhnya untuk datang menemuinya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemasaran yang seharusnya sukses ternyata digagalkan dengan strategi buruk yang dilakukan Han. Arkana sangat geram tapi apa bisa dikata, Han lah yang pertama kali menjadi bawahannya saat papanya memberinya tugas menjadi Presdir di perusahaan ini. Papanya memberinya hukuman berat jika mengalami kegagalan lagi tapi alasan yang diberikan pada papanya tak diterima dengan baik meski ia mengatakan secara jujur kalau semua kegagalan dilakukan Han orang yang selama ini dipercaya papanya dari perusahaan terdahulu. "Pak Han tahu sendiri bagaimana kerasnya Papaku, kalau aku dipecat jadi Presdir, bagaimana nasib perusahaan ini jika aku pergi?" ujarnya dengan nada kesal. "Maaf, saya kurang suka dengan strategi yang di berikan Pak Arkana," aku manajernya. "Kenapa baru bilang sekarang? Dari kemarin aku menunggu Pak Han masuk ke ruanganku tapi malah menghindar terus, sampai lelah aku menunggu!" ketusnya. Pria berkepala botak itu menunduk lagi, kali ini berbicara tentang sebuah fakta kalau ia kalah judi dan tidak fokus pada pekerjaan. Arkana jelas sangat terkejut dan berdiri kemudian menggebrak meja karena sangat marah atas alasan yang diberikan Pak Han, manajernya. "Aku membayar Pak Han dengan sungguh-sungguh tapi kenapa hanya karena judi online lantas Pak Han tak bisa fokus kerja, kurang apa perusahaan menggaji Pak Han selama ini?" Arkana benar-benar marah sampai akhirnya menyuruh papanya saja yang memutuskan akan diberi sanksi apa atas kinerja Han selama ini. Ia menyerahkan keputusan pada papanya yang kaget mendengar alasan Han. Arkana pulang ke rumahnya dengan perasaan dongkol dan menceritakan hal itu pada mamanya yang sedang duduk santai. Tapi sikap mamanya tetap saja santai dan tenang saja ketika ia selesai bercerita. "Itu masalah yang cukup pelik, coba kamu sesekali cari orang yang masih muda, seperti seusia Farhan misalnya," "Ah, Mah, kenapa harus Farhan, dia kan dokter, tak mungkin jadi seorang pengusaha," "Yah, siapa tahu," Arkana bertambah kesal karena mamanya malah meledeknya dan memberitahu kalau nenek Jeni menanyakannya tempo hari. "Kunjungi nenekmu, biar kamu tidak kesal begitu, bisa jadi nanti nenekmu akan memberimu solusi terbaik," Arkana memegang keningnya karena merasa pusing memikirkan pekerjaan yang tiada hentinya. Ia akan mengikuti saran mamanya untuk datang ke rumah nenek Jeni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN