Minggu (10.44), 06 Juni 2021
-----------------------
Nia masih menatap telepon genggam di tangannya dengan kesedihan yang terukir jelas di wajah. Wanita paruh baya itu mendesah. Tak terasa air mata menitik membasahi pipi tirusnya.
“Apa Destia yang menelepon?”
Nia tersentak. Segera dia menggosok pipi untuk membersihkan jejak air mata, sebelum berbalik menghadap suaminya, Indra Effendi.
“Iya, Mas.” Jawab Nia lirih.
“Dimana dia sekarang?” Indra bertanya dengan nada dinginnya yang sudah akrab di telinga Nia.
“Dia tidak bilang.”
“Dan kau tidak menanyakannya? Ibu macam apa kau ini?” bentak Indra.
“Mas, Destia sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri. Kalau.....memang dia tidak setuju dengan perjodohan ini, alangkah lebih baik dibatalkan saja. Destia berhak memilih pendamping hidupnya.”
“Wanita tidak berhak membuat keputusan! Begitu dia dilahirkan, hidupnya berada di tangan orang tuanya. Lalu ketika dia menikah, hidupnya berada di tangan suaminya. Karena itu, sebagai Papanya aku yang lebih berhak membuat keputusan tentang siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya.”
Itu namanya egois, Mas. Sekarang sudah bukan zamannya lagi wanita hanya tinggal di dalam rumah dan mengikuti kemauan para lelaki. Hak wanita untuk membuat keputusan juga sama. Dan bukankah selama ini Destia sudah begitu penurut? Tidak bisakah untuk urusan pernikahan ini giliran Destia yang menentukan sendiri?
Semua kalimat itu sudah siap di ujung lidah Nia. Tapi seperti biasa, yang dilakukannya hanya menangis dan memendam sendiri gejolak hatinya. Sedari dulu dia tidak pernah menyanggah ucapan suaminya, sekalipun itu begitu melukai hatinya.
Dalam hati, Nia mengutuk dirinya sendiri karena begitu lemah. Bahkan untuk melindungi putri semata wayangnya saja dia tidak sanggup.
“Kalau Destia menelepon lagi, katakan padanya bahwa aku akan tetap menikahkannya dengan lelaki pilihanku. Tidak peduli walau dia melarikan diri sampai ke ujung dunia, aku akan tetap menemukannya. Kalau dia cukup punya nyali untuk menghindari pernikahan yang sudah kurancang ini, sebaiknya dia bunuh diri saja.” Selesai berkata demikian, Indra langsung berbalik meninggalkan Istrinya.
Nia sendiri hanya bisa menangis tertahan mendengar ucapan suaminya yang begitu menyayat hati. Dalam hati dia berdo’a semoga putrinya diberi ketabahan dan kekuatan untuk hidup di luar sana seorang diri.
***
Destia menatap dengan penuh kekaguman seluruh bagian ruang kerja Alan di Fly Club. Siapapun yang melakukan penataan jelas memiliki selera yang tinggi akan keindahan dan kenyamanan.
Beberapa tanaman hias ditata di salah satu sisi untuk memberi kesan sejuk. Sofa dan meja kopi memenuhi sisi yang lain. Juga ada sebuah lemari kaca yang digunakan khusus untuk memajang pesawat dan kapal besar yang terbuat dari kayu berpelitur.
Destia berdecak. Rupanya si Paman yang terlihat dewasa punya sisi kekanakan juga.
Sebuah minibar di salah satu sudut menarik perhatian Destia. Wanita itu mengamati satu per satu barisan botol minuman yang ditata rapi. Banyak sekali jenisnya. Mulai dari yang berkadar alkohol rendah hingga tinggi. Destia merasa geli melihat minibar itu padahal ada bar sungguhan hanya beberapa meter dari ruang kerja itu.
Lalu pandangan Destia beralih pada meja kerja besar yang mendominasi ruangan. Destia mendekati meja itu lalu menyusurkan jemari di permukaannya yang halus dan bersih. Sorot matanya penuh kekaguman ketika dirinya mengelilingi meja lalu berhenti di dekat kursi putar di belakang meja.
Sambil menatap pintu, Destia menghitung sampai sepuluh dalam hati. Ketika tidak ada tanda-tanda Alan akan muncul, wanita itu langsung menghempaskan diri di kursi dengan wajah berbinar.
Duduk di kursi itu memang senyaman yang dibayangkan Destia. Dengan penasaran dia memutar kursi lalu menghadap dinding kaca besar yang memenuhi bagian belakang ruangan. Dari balik kaca, Destia bisa mengamati aktifitas di dalam club tempat para pengunjung berada.
“Gadis kecil, dimana kau?”
Buru-buru Destia memutar kembali kursi itu ketika dia mendengar suara Alan.
“Hai, Paman. Aku di sini.” Ujar Destia sambil melambaikan tangan pada Alan yang sedang berdiri di tengah ruangan.
“Dasar pendek. Aku sampai tidak bisa melihatmu karena terhalang sandaran kursi.” Gerutu Alan.
Destia merengut. “Tidak perlu diperjelas seperti itu. Aku cukup sadar bahwa aku pendek.”
Alan terkekeh. “Jangan marah. Setidaknya beberapa tahun lagi kau pasti lebih tinggi.”
Bibir Destia makin mengerucut. “Paman jelek menyebalkan!”
Salah satu alis Alan terangkat. “Kenapa?”
“Sudahlah.” Destia mengibaskan tangan sambil menghampiri Alan di tengah ruangan. “Sekarang apa pekerjaanku di sini?”
“Pekerjaanmu adalah memastikan ruangan ini selalu dalam keadaan bersih dan rapi. Kadang aku harus pergi secara tiba-tiba hingga meninggalkan beberapa barang berserakan.”
“Hanya ruangan ini?”
“Iya. Mudah, kan?”
“Kenapa aku tidak menjadi pelayan di dalam club saja?”
“Biar kuperjelas. Kau hanya bekerja dalam ruangan ini dan tidak boleh sekalipun keluar tanpa seizinku.”
“Sepanjang malam?” tanya Destia dengan kecewa.
“Iya. Mulai club dibuka sampai ditutup nanti.”
“Ayolah, Paman. Yang benar saja. Bisa-bisa aku mati bosan di sini.”
“Kalau begitu kau bekerja di rumahku saja. Tugasmu sama. Tapi di sana kau bisa berkeliaran di seluruh bangunan rumah.”
“Aku tidak mau ditinggal sendirian. Setidaknya di sini banyak orang.”
“Kalau begitu turuti peraturanku. Apa kita sepakat?” Alan mengulurkan tangannya.
Destia hanya menatap tangan Alan yang terulur selama beberapa saat, lalu memilih mengalah. Dia menjabat tangan Alan seraya mengangguk. “Kita sepakat.”
“Gadis pintar.” Puji Alan sambil mengacak rambut Destia.
Destia tertegun.
Biasanya dia akan marah jika ada orang yang memperlakukannya seperti anak kecil. Namun entah kenapa, bersama Alan dia malah ingin bermanja-manja.
Apa itu normal? Padahal mereka baru kenal.
“Sekarang mulailah bekerja. Aku harus mengecek proses pembangunan di cabang Fly Club.” Baru saja Alan menyentuh daun pintu, dia berbalik menghadap Destia kembali. “Jangan keluar sampai aku kembali.”
Destia menyentuhkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke pelipis dengan sikap memberi hormat pada Alan. “Aye aye Captain!”
Alan terkekeh geli. Dia menggelengkan kepala akan tingkah Destia sebelum membuka pintu kantornya lalu keluar meninggalkan pintu yang tertutup di belakangnya.
***
“Siapa nama lengkapnya?” tanya Freddy.
Alan berpikir sejenak lalu berucap, “Aku tidak tahu.”
Freddy mengerutkan kening sebelum mengutarakan pertanyaan yang lain. “Alamat rumahnya?”
“Aku juga tidak tahu.” Alan meringis melihat Freddy membelalakkan mata.
“Nama orang tua? Pekerjaan? Sekolah? KTP? Tanggal lahir?”
Alan menyeringai sambil mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu.”
“Apa kau sedang bercanda?” Freddy melotot.
“Aku serius.”
“Biar kuperjelas.” Freddy memajukan tubuhnya lalu melipat tangan di atas meja ruang kerjanya di kantor kepolisian. “Kau ingin aku menyelidiki latar belakang seseorang hanya dengan mengandalkan nama panggilan?”
Alan menggosok belakang lehernya. “Kurang lebih begitu.”
“Apa kau masih dendam padaku?”
“Dengar, Freddy. Aku benar-benar serius ingin mengetahui tentang gadis ini. Dari wajah dan postur tubuhnya dia benar-benar terlihat seperti gadis tiga belas tahun. Tapi dia selalu mengatakan bahwa usianya dua puluh enam tahun.” Alan mendesah.
“Perhatikan tingkah lakunya. Tentu kau bisa membedakan tingkah gadis kecil dan wanita dewasa.”
“Itu juga masalahnya. Kelakuannya kadang seperti anak kecil. Tapi kadang aku merasa dia seperti dirimu.”
“Aku? Memangnya aku kenapa?”
Alan mengangkat bahu. “Orang dewasa tapi tingkahnya masih seperti anak kecil.”
Freddy terkekeh. “Aku anggap itu pujian. Aku memang masih berjiwa muda.”
“Padahal aku sedang menghinamu.” Alan menjawab dengan malas. “Jadi bagaimana? Kau bisa melakukannya?”
“Kalau hanya mengandalkan nama panggilan, aku langsung angkat tangan.”
“Bagaimana kalau ditambah foto ini? Apa ini bisa membantu?” tanya Alan sambil menunjukkan foto Destia di smartphonenya.
Freddy mengamati foto itu untuk beberapa saat. “Kau tidak punya foto yang menampakkan wajahnya dengan jelas?”
Alan menggeleng. “Tidak. Hanya ini. Aku mengambil gambarnya secara sembunyi-sembunyi.”
“Baiklah, akan kucoba. Tapi aku tidak berani menjanjikan apa-apa padamu saat ini.”
“Tidak masalah. Aku akan menunggu kabar darimu.” Alan langsung bangkit dari duduknya. “Aku harus pergi sekarang.”
Freddy mengangguk namun tidak beranjak. “Maaf aku tidak bisa mengantarmu. Ada pekerjaan yang harus segera kuselesaikan.”
Alan terkekeh. “Kukira kau sedang tidak ada kasus atau pekerjaan di kantor hingga dengan santainya mengajakku berlibur cukup lama.”
“Pekerjaanku sangat banyak. Tapi aku sengaja meninggalkannya demi dirimu. Aku dan Rafka benar-benar berusaha menemukan pendamping hidupmu. Tapi kau malah pergi begitu saja tanpa pamit.” Freddy menggerutu.
“Kalian—”
“Hush, hush! Bukankah tadi kau bilang harus pergi?”
“Hei, kapan kau mau belajar bicara sopan? Aku lebih tua darimu.”
Freddy hanya mengangkat alis dan melirik Alan sekilas lalu membuat tanda mengusir dengan tangannya.
Alan membelalakkan mata akan tingkah Freddy. “Seandainya kau memiliki wajah imut seperti Juan, orang akan mengira kau masih bocah TK.” Alan mengomel seraya keluar dari ruangan Freddy.
***
Destia menatap bosan jejeran buku di perpustakaan yang menjadi satu dengan ruang kerja Alan. Tidak ada satupun yang menarik perhatiannya. Hampir semuanya hanya berupa dokumen-dokumen bisnis dan buku-buku bisnis lainnya. Dalam hati Destia mencatat untuk membeli beberapa majalah dan buku-buku bacaan untuk menghiburnya di ruangan Alan.
Keluar dari perpustakaan, Destia kembali duduk di kursi putar. Dia memperhatikan keramaian di balik dinding kaca dengan perasaan iri. Sebuah desahan lolos dari bibir Destia. Dia melirik jam di meja Alan. Ternyata baru tiga jam berlalu sejak Alan pergi.
Mendadak sebuah seringai menghiasi bibir Destia. Cepat-cepat dia bangkit dari kursi Alan lalu berlari kecil menuju pintu keluar. Perlahan dia membuka pintu itu lalu menjulurkan kepala untuk melihat kondisi di luar ruangan.
Senyum Destia melebar karena tidak mendapati tanda-tanda keberadaan Alan. Segera dia keluar menuju bar.
“Hai, ada yang bisa kubantu? Aku pegawai baru di sini.” Sapa Destia pada seseorang yang berpakaian seragam pelayan di kelab itu dengan suara sedikit keras untuk mengalahkan suara musik.
Wanita itu memperhatikan Destia secara seksama sebelum berujar, “Bukankah kau gadis yang tadi datang bersama bos?”
Destia mengangguk. “Iya.”
“Tapi Alan tidak mengatakan apapun. Kalau ada pegawai baru, dia pasti bilang.”
“Alan? Dia pemilik tempat ini, kan? Kenapa kau memanggilnya tanpa embel-embel seperti ‘Pak’?”
Wanita itu mengangkat bahu sambil tersenyum. “Kebiasaan. Toh dia tidak keberatan.”
Destia memperhatikan wanita itu mencampur beberapa minuman ke dalam gelas. Sebenarnya Destia masih ingin bertanya tentang hubungan wanita itu dengan Alan yang terdengar akrab, namun dia menahan diri. “Kukira kau pelayan. Rupanya kau juga bisa melakukan pekerjaan bartender.”
“Bos yang lama mewajibkan para pegawai Fly Club menguasai dua hal, seks dan minuman.” Selesai dengan kegiatan mencampur minuman, wanita itu mengangkat nampan. “Nanti saja berbincangnya.”
Alis Destia bertaut bingung sambil memperhatikan wanita itu pergi.
Bos yang lama? Seks dan minuman?
Destia mengalihkan perhatian pada bartender yang terlihat sibuk. “Apa ada yang bisa kubantu? Aku pegawai baru.” Destia mengulang perkenalannya dan entah berapa kali lagi dia harus mengulang kata itu. Seharusnya Alan yang langsung memperkenalkannya sebagai pegawai baru.
“Entahlah. Mungkin kau bisa tanya Dian.” Si bartender beralih pada seorang lelaki di belakang Destia. Lelaki itu juga mengenakan seragam pelayan dan terlihat baru saja mengantar minuman. “Hei, Di. Gadis ini pegawai baru. Tolong ajarkan dia sesuatu. Aku sedang sibuk di sini.”
Lelaki yang dipanggil Dian berdiri di samping Destia sambil meletakkan nampan di belakang meja bar yang merupakan area khusus pegawai. Selama beberapa saat, lelaki itu hanya diam memperhatikan Destia.
“Kau masih terlalu kecil untuk bekerja di club.” Gumam Dian, tapi kemudian mengulurkan tangan. “Namaku Dian. Siapa namamu?”
Destia menerima genggaman tangan Dian yang ternyata cukup kekar. “Destia. Dan sebelum kau salah paham, aku sudah berusia dua puluh enam tahun. Wajah dan badanku saja yang masih seperti anak kecil. Orang-orang bilang aku memiliki baby face.”
Terlihat sorot tertarik di mata Dian. “Wow, keren.”
Destia hanya tersenyum sebagai tanggapan. “Jadi, bagaimana? Apa kau akan mengajariku mencampur minuman?”
“Kalau kau ingin belajar mencampur minuman, jangan di jam kerja.” Dian tampak berpikir sambil memperhatikan penampilan Destia yang hanya mengenakan celana jins yang sedikit longgar dan kemeja biasa. Rambutnya juga diikat ekor kuda. “Sebaiknya besok kau memakai high-heel. Jangan sampai kau diinjak-injak para pengunjung karena tubuh kecilmu tidak terlihat.”
Destia merengut. “Aku tidak sependek itu. Tinggiku seratus empat puluh sembilan centi.”
Dian terbahak. “Pantas saja kau hanya setinggi dadaku. Leherku sampai sakit karena harus berbicara sambil menunduk.”
“Tidak bisakah kau berhenti menghinaku lalu mengajariku sesuatu?”
“Maaf.” Gumam Dian sambil menarik nafas untuk menenangkan diri. “Untuk sekarang sebaiknya kau membantu mengganti botol minuman yang kosong dengan yang baru.” Dian menunjuk botol kosong yang sudah digunakan bartender lalu menunjuk lemari di belakang bar yang banyak memajang botol minuman berbagai merek yang masih penuh. “Ayo, aku akan menunjukkan padamu gudang penyimpanan minuman.”
Destia mengikuti Dian dengan senang. Dalam hati dia bergumam semoga Alan tidak memergokinya melanggar perintah.
-------------------
♥ Aya Emily ♥