Rabu (09.04), 09 Juni 2021
---------------------
“Apa kau butuh sesuatu?” tanya Alan pada orang yang sedang diteleponnya.
“Hanya butuh teman.”
Alan menyeringai. Dia bisa membayangkan bibir Destia mengerucut kesal ketika mengatakan itu. Tanpa sadar Alan menjilat bibit bawahnya seperti ingin mengingat kembali rasa bibir Destia ketika bersentuhan dengan bibirnya.
“Kalau kau tidak bersikap sok jagoan seperti kemarin, kau tidak akan terkurung di rumah.” Tegur Alan.
“Lalu aku harus diam saja?”
“Ada banyak orang yang bisa kau mintai bantuan.” Jelas Alan singkat.
Dia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Destia. Apa yang dilakukan Destia sudah benar karena tidak selamanya orang lain bisa melindungi kita. Akan ada saatnya kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri dalam situasi darurat.
Tapi tidak ada salahnya juga mengingatkan agar lain kali wanita itu tidak menanggung luka sendirian seperti ini padahal ada banyak rekan yang dengan senang hati akan menolongnya.
“Aku tidak sempat berpikir sampai ke sana ketika orang itu berbuat m***m padaku.”
Alan hanya tersenyum kecil dan memilih tidak memperpanjang perdebatan. “Kalau kau memang tidak butuh apapun, aku harus kembali bekerja.”
“Baiklah.”
Destia terdengar kecewa tapi tidak membantah.
Kegembiraan yang aneh itu kembali muncul di hati Alan ketika merasakan keengganan Destia menutup telepon.
Alan mendesah sambil menyandarkan punggung. Kedua sikunya diletakkan di lengan kursi sedangkan jemarinya saling mengait di atas perut. Kepalanya mendongak menatap langit-langit ruangannya di Fly Club.
Akhir-akhir ini Alan sering bertanya apa yang terjadi dengan hatinya. Rasa aneh itu terus-menerus muncul.
Seperti inikah yang dirasakan Rafka ketika bertemu Rena?
Belum sempat Alan menemukan jawaban akan pertanyaannya, sebuah ketukan membuyarkan lamunan Alan.
“Masuk!” perintah Alan tenang sambil menegakkan punggungnya kembali.
Dian membuka pintu tapi hanya berdiri di ambang pintu. “Bos, ada tamu spesial untukmu.”
Alan mengerutkan kening bingung. “Sepertinya aku tidak punya janji temu dengan siapapun. Dan kenapa kau tidak mengantarnya ke sini?”
“Dia alergi dengan ruangan ini.”
Seketika Alan mengerti siapa orang yang dimaksud Dian. Dia tersenyum seraya berkata, “Baiklah, aku akan turun sebentar lagi.”
Dian mengangguk lalu menutup pintu ruangan Alan kembali. Alan sendiri segera membereskan pekerjaannya. Siapa lagi orang selain Rafka yang alergi dengan ruangan yang pernah menjadi tempat kesukaan Maya ini?
Walau sahabatnya itu masih sering kali datang berkunjung ke Fly Club, tapi dia tidak pernah mau menginjakkan kaki di ruangan ini. Padahal Alan sudah mengubah tempat ini secara drastis hingga tidak ada lagi jejak Maya yang tersisa. Tapi tentunya Alan tidak bisa memaksa Rafka. Luka psikis yang dideritanya begitu dalam.
Selesai memastikan tidak ada dokumen yang tertinggal, Alan keluar.
Di dalam club yang hingar bingar dan remang, Alan bisa melihat punggung tegap Rafka yang sedang duduk di kursi bar. Lelaki itu tampak berbincang dengan para bartender sambil sesekali tertawa.
Alan menghampiri sahabatnya itu lalu menepuk bahunya sedikit keras. “Mana istrimu?” tanya Alan sambil duduk di sebelah Rafka.
Rafka berdecak kesal. “Apa kau lupa istriku sedang hamil besar? Memohon pun tidak akan kuizinkan dia datang ke club.”
“Seenaknya saja kau melarang istrimu tapi kau sendiri malah berada di sini.” Gerutu Alan sambil memesan minuman.
“Kalau bukan karena ingin bertemu denganmu aku tidak akan mau repot-repot datang ke sini.” Sungut Rafka.
Alan terkekeh. “Merindukanku, eh?”
“Rindu apanya? Bahkan aku sudah nyaris lupa kalau aku memiliki sahabat seperti dirimu.”
“Jangan marah begitu, baby. Aku hanya sedang sibuk karena pekerjaan.” Alan menarik bahu Rafka agar mendekat padanya.
Rafka terkekeh lalu menyingkirkan tangan Alan dari bahunya dengan geli. “Kau menjijikkan! Lihat, para pegawaimu meringis geli karena tingkahmu.”
Alan tertawa lalu berdiri ketika bartender mengangsurkan minumannya. “Ayo, cari tempat duduk lain. keberadaanmu di sini mengganggu konsentrasi para pelangganku terutama yang wanita.”
Rafka hanya tersenyum kecil sambil mengikuti Alan menuju sofa di salah satu sudut—yang memang tempat kesukaan mereka ketika masih sama-sama bekerja di club. Seperti kebiasaan Rafka dulu, lelaki itu langsung duduk bersandar dengan kedua kaki di angkat ke atas meja.
“Sebenarnya ada tujuan apa kau datang ke sini? Bukankah akhir-akhir ini kau tidak pernah meninggalkan istrimu terutama di malam hari?” tanya Alan tanpa basa-basi.
“Aku hanya merindukanmu.” Ujar Rafka tenang sambil memejamkan mata.
Alan berdecak kesal. “Jadi, kapan perkiraan Rena akan melahirkan?”
“Minggu ini.” Rafka mendesah sambil membuka mata dengan pandangan nyalang. “Aku merasa sangat takut. Tiga hari yang lalu ada berita tentang ibu hamil yang meninggal setelah melahirkan. Sejak itu aku tidak bisa tidur nyenyak lagi. Aku lebih sering menghabiskan malam dengan duduk sambil mengamati Rena tidur.”
“Kau berlebihan.” Alan berusaha menghibur. “Seingatku selama kehamilan, tidak ada masalah. Lalu apa yang kau khawatirkan?”
“Karena tubuh Rena tidak seperti wanita pada umumnya.” Suara Rafka mulai terdengar frustasi.
“Maksudmu, karena dia hanya memiliki satu ginjal hasil donor?” ketika Rafka tidak membantah, Alan melanjutkan. “Kalau memang hal itu akan jadi masalah, tentunya dokter yang menangani Rena sudah memberikan peringatan jauh-jauh hari.”
Rafka mengacak rambutnya kesal. “Dokter bilang Rena akan baik-baik saja. Tapi aku tidak bisa berhenti merasa khawatir. Aku benar-benar tidak suka perasaan ini, Alan.”
“Lebih buruk mana perasaanmu sekarang dibandingkan ketika kau baru jatuh cinta pada Rena dan berpikir kalian tidak bisa bersama?” tanya Alan sambil menyesap minuman.
Rafka menoleh perlahan lalu mengamati wajah Alan. “Apa itu yang sedang kau rasakan sekarang? Mencintai seseorang tapi berpikir kalian tidak bisa bersama?” tebak Rafka.
“Apa maksudmu? Aku sedang menanyakan dirimu.”
“Aku jadi penasaran apa saja yang sudah kau lakukan pada gadis kecil itu.” Rafka mengingat kembali pertemuan awalnya dengan Rena. “Sebelum aku jatuh cinta pada Rena, aku sudah pernah tidur dengannya.” Lalu Rafka menatap mengejek pada Alan. “Kau yang mengaku mentorku, harusnya tidak kalah dariku.”
“Kau bicara apa? Jangan dengarkan ucapan adik ipar tengilmu itu. Aku tidak memiliki perasaan khusus pada Destia.”
“Aku bisa menebaknya dari ceritamu semalam.”
“Aku sama sekali tidak membahas tentang gadis kecil itu semalam. Aku hanya mendengarkan ocehanmu karena kau bilang tidak bisa tidur.”
Rafka kembali menyesap minuman dengan senyum kecil. “Jadi, kau tidak ingat sempat bercerita tentang seorang wanita yang menghajar salah satu pelangganmu?”
“Memangnya apa yang salah? Aku menceritakan hal itu seperti ketika aku menceritakan kejadian-kejadian heboh di Fly Club padamu.”
Rafka mengibaskan tangan menyuruh Alan berhenti. “Sebaiknya aku pulang sekarang daripada meladenimu berdebat.” Rafka menandaskan minumannya lalu bangkit.
“Hanya begini saja? Kau sudah mau pulang?”
“Iya. Antar aku ke depan!”
Alan hanya bisa menggeleng kesal melihat kelakuan sahabatnya itu. Dia juga menghabiskan minumannya lalu berdiri mengiringi langkah Rafka keluar. Alan menunggu di halaman depan Fly Club sampai mobil yang Rafka kendarai keluar dari gerbang.
Akhir-akhir ini kelakuan Rafka memang sedikit aneh menurutnya. Mungkin sahabatnya itu benar-benar merasa frustasi akibat kelahiran anaknya yang sudah semakin dekat.
Alan sudah hendak berbalik namun langkahnya terpaku ketika seseorang yang sangat tidak ingin ditemuinya keluar dari salah satu mobil lalu menghampirinya.
Viktor Rayyandra.
“Apa benar dugaanku bahwa kau Alan Rayyandra?”
DEG.
“Kau salah orang. Aku Alan Prayoga.” Ujar Alan dingin lalu dia segera melanjutkan. “Maaf, aku tidak bisa menemani Anda mengobrol. Aku sedang terburu-buru.”
“Kenapa? Kau takut padaku?”
Langkah Alan kembali terhenti ketika mendengar nada penuh ejekan itu.
Alan menyadari bahwa dirinya memang tidak bisa berpura-pura selamanya. Mau tidak mau pertemuan ini harus terjadi dan harus dihadapinya.
Perlahan Alan kembali berbalik menantang mata Viktor Rayyandra. “Alan Rayyandra sudah mati bersamaan dengan kematian orang tuanya.”
“Sayangnya aku tidak bisa menemukan jasadnya. Karena itu, dia tetap dianggap masih hidup. Jadi, tidak peduli Alan siapa namamu, kau yang harus menggantikan Alan Rayyandra. Kau mengerti apa maksudku, kan?”
Alan sangat mengerti. Harta keluarga Rayyandra akan tetap jatuh ke tangan ahli warisnya yang sah. Pengalihan harta warisan tidak berlaku dalam keluarga tersebut. Barulah jika semua keturunan Rayyandra mati, harta tersebut bisa dialihkan ke tangan orang lain walau bukan keturunan keluarga Rayyandra.
Jadi tidak peduli Alan sudah mengubah namanya dan menganggap dirinya yang lalu telah mati, dia masih tetap berhubungan dengan keluarga Rayyandra. Kecuali dia bisa menyodorkan jasad Alan Rayyandra untuk membuktikan bahwa si pemilik nama itu sudah mati.
“Kurasa kau masih ingat aturan main dalam keluargamu.” Viktor mendesah dramatis. “Seandainya kakek buyutmu tidak terlalu cinta akan hartanya dan berusaha memastikan bahwa semua warisannya jatuh ke tangan keturunan Rayyandra yang sah, semua kejadian buruk ini tidak akan menimpamu.” Mendadak mata Viktor berkilat marah. “Bahkan walaupun aku juga menyandang nama Rayyandra, aku masih tetap di anggap orang luar.”
“Mungkin memang nasibmu sedang sial.”
Kilat marah di mata Viktor semakin tajam. “Tapi setelah melihat bagaimana kita berdua sampai ke titik ini, kurasa nasibmu lah yang paling sial.”
“Lucu juga kau mengatakan itu. Padahal di antara kita, kau lah yang sedang ketakutan melihatku.” Alan bergerak selangkah mendekati Viktor untuk mengintimidasi lelaki yang lebih tua darinya itu. “Bagaimana menurutmu kalau aku kembali ke rumah besar yang dengan nyaman kau tempati itu? Kira-kira butuh berapa lama sampai kau ditendang dari keluarga Rayyandra?”
Bukannya gentar, Viktor malah menyeringai licik. “Kau pasti sudah tahu bahwa orang tuamu mati dibunuh.” Viktor memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi apa kau juga tahu bahwa pembantu keluarga Rayyandra yang telah menyelamatkanmu dan kau anggap sebagai kakek dan nenek juga mati dibunuh?”
Alan tersentak kaget akan informasi itu. Matanya melebar dipenuhi teror. Tubuhnya membeku.
“Kau—” hanya satu kata itu yang berhasil Alan lontarkan.
“Dan para pendahulumu juga. Semuanya mati dengan cara yang sama. Dibunuh. Itu sebabnya mengapa semua orang mengatakan bahwa ada kutukan dalam keluarga Rayyandra.” Viktor menyeringai sinis. “Semua orang yang menyandang nama Rayyandra bukan dari keturunan, akan melakukan apapun untuk mendapatkan harta keluarga Rayyandra. Kau masih ingat kata-kata itu, kan?”
“Aku sudah melepaskan segala hubunganku dengan keluarga Rayyandra. Apa lagi yang kau inginkan?”
“Kenapa kau berputar-putar di pertanyaan yang sama? Jelas semua ini tidak akan berhenti sampai kau mati. Karena itu aku memberimu pilihan hanya agar perburuan ini semakin menarik. Pergi sejauh mungkin, larilah selama yang kau bisa. Bukankah aku sangat murah hati?”
Rahang Alan berkedut menunjukkan emosinya makin tersulut. “Terima kasih karena memberiku pilihan. Tapi aku menolak. Aku akan kembali ke rumah keluarga Rayyandra dan akan melawanmu secara terang-terangan.”
“Pilihan yang salah. Kau sudah meninggalkan rumah itu selama puluhan tahun. Menurutmu, ada berapa banyak orang yang masih setia pada keturunan Rayyandra?”
Selesai melemparkan fakta yang tidak terbantahkan itu, Viktor berbalik lalu meninggalkan Alan yang masih membeku di tempat.
---------------------
♥ Aya Emily ♥