Baby sedang berbaring di tempat tidur sambil memainkan ponsel baru yang dibelikan oleh Reigan. Dia membuka layar pesan dan memeriksa ulang kotak masuknya, berharap ada balasan dari Reigan. Tapi tidak ada.
Padahal Mark tadi bilang, dia harus langsung mengirim pesan pada Reigan. Maka dia pun sudah mengirim pesan beberapa menit yang lalu.
Chat Baby: Rei, kata Mark aku harus mengirimimu pesan. Jadi ini aku, Baby.
Namun yang ditatapnya hanya sunyi. Tak ada notifikasi baru. Tak ada pesan balasan.
Baby menatap langit-langit kamar. Perasaannya bercampur aduk. Hatinya tidak tenang. Bukan hanya karena menunggu pesan dari Reigan, tapi juga karena sesuatu yang lebih dalam: perasaan bersalah.
“Apa dia akan menginap di rumah tunangannya?” gumam Baby dengan napas resah. “Untuk apa aku cemas? Mereka kan sudah bertunangan. Mungkin juga akan segera menikah.”
Ia mendesah berat. Namun tepat saat itu, notifikasi muncul di layar ponsel.
Chat Reigan: Aku sedang di jalan pulang. Tidurlah, sudah malam.
Baby tersenyum kecil. Ada kelegaan yang datang seketika.
“Syukurlah. Reigan sudah di jalan pulang. Aku harus tidur sekarang. Aku tidak mau dia mengira aku menunggunya. Apalagi kalau sampai tunangannya tau dan marah lagi seperti tadi. Dia seram sekali...”
Baby mencoba memejamkan mata. Tapi kenangan tadi siang—di dalam bioskop, ciuman mereka yang begitu panas dan tak disengaja—terus berputar di benaknya.
“Kenapa aku tidak bisa berhenti mengingatnya? Sentuhan bibirnya... aroma parfumnya... cara dia memandangku sebelum mencium...”
Baby menggigit bibir bawahnya. Wajahnya memanas hanya dengan membayangkannya. “Tidak... itu hanya ciuman. Tapi kenapa hatiku seperti berdetak lebih cepat setiap kali mengingatnya?”
Reigan yang sedang menyetir di jalan tol, menatap kosong ke depan. Ia mengelap bibirnya dengan tisu yang disimpan di dasbor mobil.
“Aku tidak seharusnya mencium dia,” gumamnya pelan. “Tapi kenapa aku melakukannya? Kenapa aku tidak bisa menahan diri?”
Ia mendesah keras. Kancing atas kemejanya ia buka, membuat napasnya lebih lega. “Gladys... semua ini tidak akan serumit ini jika aku tidak dijodohkan denganmu.”
Sementara itu, di rumah, Baby memegangi perutnya yang keroncongan. Ia belum makan malam karena saat Bi Fania menawari makanan, dia menolak. Sekarang dia menyesal.
Dengan langkah pelan, ia menyusuri lorong menuju dapur. Tapi saat hampir sampai, ia melihat Maria, salah satu pembantu rumah tangga, mengenakan piyama dan sedang mengambil air minum.
Baby buru-buru bersembunyi di balik tembok.
"Kenapa aku seperti mendengar langkah kaki?" gumam Maria. "Ah, sudahlah, Tuan Reigan juga belum pulang."
Begitu Maria berlalu, Baby menarik napas lega. “Aku nggak mau ketemu dia. Maria suka nyindir dan ngomong kasar padaku.”
“Jadi Bi Maria sering menghina mu?”
Suara berat itu membuat Baby menoleh cepat. Di sana berdiri Reigan, dengan lengan kemeja yang dilipat dan tatapan tajam.
“Rei? K-kapan kamu datang? Aku nggak dengar suara mobilmu.”
“Baru saja. Mungkin kau terlalu sibuk bersembunyi sampai nggak sadar,” balas Reigan, menyipitkan mata.
“Maaf, aku hanya... lapar. Tapi aku nggak bermaksud ganggu.”
“Kau seharusnya makan dari tadi. Duduklah. Aku akan buatkan makanan.”
“Eh? Tidak perlu, aku bisa kembali ke kamar—”
“Duduk, Baby.”
Nada suaranya tegas. Baby pun menurut dan duduk di ruang makan.
“Maafkan aku karena merepotkan.”
Reigan membuka kulkas, mengambil beberapa bahan. Ternyata dia memutuskan untuk membuatkan pasta. Baby terkejut melihatnya memotong bahan-bahan dengan cekatan.
“Kau bisa masak?”
Reigan menoleh dengan ekspresi datar. “Aku tidak akan biarkan orang asing memasak makanan untukku, jadi ya... aku bisa.”
Baby menunduk malu. “Kalau begitu... boleh aku bantu?”
“Tidak. Duduk dan diam.”
“Baik, Rei.”
Beberapa menit kemudian, sepiring pasta hangat sudah ada di hadapan Baby. Aroma sausnya menggoda.
“Wah, baunya enak banget.”
“Bau tak menjamin rasa. Coba saja dulu.”
Baby pun mulai makan. Tapi di sela-sela menyendok pasta, pikirannya kembali melayang.
“Rei...” gumamnya pelan.
“Hmm?”
“Tadi siang... di bioskop... itu... bukan salahmu. Mungkin juga bukan salahku. Itu hanya... terjadi.”
Reigan tak menjawab, tapi pandangannya tertuju pada Baby. Gadis itu masih kelihatan gelisah.
“Aku juga minta maaf karena... mungkin aku terlalu nyaman dekatmu, padahal aku tahu kamu punya tunangan.”
Reigan berjalan mendekat dan menghapus saus yang menempel di sudut bibir Baby dengan ibu jarinya.
“Kau terlalu polos, Baby. Jangan salahkan dirimu karena aku yang tidak bisa menahan diri.”
Baby tercekat. Sentuhan ibu jari Reigan pada bibirnya membuat tubuhnya bergetar.
“Maaf...” bisiknya nyaris tak terdengar.
Reigan menatapnya lama. “Sudah malam. Setelah ini, langsung tidur. Jangan banyak berpikir.”
Baby hanya mengangguk pelan, sementara jantungnya masih berdetak sangat cepat.
---
Sementara itu, di rumah Gladys, gadis itu sedang mengusap bibirnya sambil tersenyum sendiri.
“Ternyata manis juga... akhirnya aku bisa merasakan bibir Reigan setelah lima tahun.”
Baru saja ia menikmati kenangan itu, suara ketukan keras menggema.
“Gladys! Buka pintunya!”
“Mama?”
Gladys panik. Jangan-jangan...
Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu.
“Ada apa sih, Ma?”
Maudy langsung mencengkeram bahunya. “Kau pikir Mama tidak tahu? Kau kira Mama buta?”
Gladys menahan napas. Tapi Maudy mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto Gladys dengan Reigan.
“Jadi kau berkencan dengan Reigan?”
Gladys tersenyum lega. Setidaknya bukan foto dengan Hanzel.
“Ya, kenapa? Kami bertunangan, Ma.”
“Bagus! Mama bangga. Dan mulai besok, kau akan bekerja di kantor Reigan sebagai sekretaris. Mama sudah bicara pada Tuan Mark.”
Gladys kaget. “Sekretaris?”
“Ya. Dengan begitu, kau bisa dekat terus dengannya. Ini momen penting, Gladys. Jangan sia-siakan.”
Gladys menelan ludah. Dia belum siap. Tapi... ini perintah Mama.
“Tunjukkan dirimu, Gladys. Kau bisa menggodanya.”