Besok Kita Menikah 🔥

1419 Kata
Aurelia terdiam beberapa saat. Pertanyaan Damian barusan masih bergema di telinganya, membuat jantungnya berdentum lebih keras. Untuk pertama kalinya sejak rapat tadi, wajahnya terlihat kikuk. Ia menunduk sejenak, sebelum mengangkat pandangan dengan hati-hati. “Apakah kau… benar-benar yakin dengan itu?” suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, mata tajamnya menatap lurus ke dalam mata Aurelia, seolah menelanjangi setiap keraguan di balik tatapannya. Bibirnya melengkung tipis, bukan senyum hangat, melainkan senyum penuh keyakinan dan kepemilikan. “Yakin?” Damian menurunkan suaranya, serak, menghantam syaraf Aurelia. “Bukankah sejak awal itu yang kau tawarkan padaku? Kita sudah sepakati, Aurelia. Kau memberi harga, aku membayar. Malam panas itu bukan sekadar kebetulan, itu adalah uang muka yang sudah kau serahkan. Kau tak mungkin lupa.” Aurelia menggigit bibir bawahnya, meneguk ludah susah payah. Nafasnya tersengal, bukan hanya karena rasa malu, melainkan karena desakan aura pria itu yang terlalu mendominasi. Damian condong ke depan, jemarinya terulur menyentuh dagu Aurelia, mengangkat wajahnya perlahan agar tatapan mereka sejajar. Sorot matanya tak memberi ruang untuk kabur. “Dengar baik-baik, Aurelia,” ucapnya lirih namun sarat wibawa. “Dalam dunia ini, tidak ada hal yang bisa kau dapatkan dengan percuma. Aku bisa memberimu segalanya. Kekuatan. Perlindungan. Balas dendam yang kau impikan. Aku akan menumbangkan Septimus untukmu, menjatuhkan siapa pun yang berani melawanmu. Tapi ada satu syarat.” Aurelia menahan napas, tubuhnya kaku di bawah genggaman Damian yang begitu berkuasa. Damian menunduk lebih dekat, suaranya nyaris seperti bisikan yang menusuk telinga. “Kau harus patuh padaku. Itu cara mainnya. Aku tidak suka dibantah, dan aku tidak pernah memberi tanpa mengambil. Jadi tanyakan pada dirimu sendiri, Aurelia. Apakah kau siap menjadi milikku seutuhnya?” Aura di antara mereka berubah panas dan menegangkan. Aurelia tahu, Damian tidak hanya bicara soal bisnis atau dendam. Pria ini menuntut lebih, menuntut kepatuhan penuh, tubuh dan hati yang hanya terikat padanya. Aurelia membeku sejenak setelah Damian mengucapkan kata-kata penuh kuasa itu. Dalam hatinya, ia tahu benar bahwa Septimus tidak mungkin dihancurkan hanya dengan tangannya sendiri. Meski ia pewaris sah keluarga Hartman, Septimus sudah terlalu lihai memainkan segala cara untuk merebut apa yang bukan miliknya. Aurelia sadar ia membutuhkan kekuatan Damian agar dendamnya bisa terwujud. Namun pertanyaan lain menusuk batinnya. Apa ia sanggup menjadi milik Damian? Pria itu masih asing, penuh misteri, bahkan bisa jadi sama berbahayanya dengan Septimus. Jika di masa depan nyawanya terenggut dengan mengenaskan di tangan Septimus, bukan tidak mungkin kali ini ia akan kembali disakiti oleh pria lain yang memegang kendali. Pikiran Aurelia berputar semakin cepat hingga dering ponsel di atas meja memecah suasana. Ia meraih ponsel itu, dan nama yang tertera membuat keningnya berkerut. Nyonya Desinta. Nama di sana membuat bibirnya mengeras. Ia menekan tombol jawab tanpa ekspresi, sementara Damian duduk santai di kursinya, satu tangan menopang dagu, tatapannya tak lepas dari wajah Aurelia yang tiba-tiba berubah dingin. “Ya, Nyonya Desinta?” suara Aurelia terdengar tenang, tapi nada di ujungnya tajam. Suara parau bercampur rengekan langsung terdengar dari seberang. “Aurelia, apa yang kau lakukan ini? Apa benar kau mau memecat Septimus? Kau sudah gila? Anak itu calon suamimu, bagaimana bisa kau tega menghancurkan masa depannya!” Aurelia menatap lurus ke depan, nada bicaranya tetap stabil. “Saya hanya menjalankan keputusan yang sesuai prosedur, Nyonya Desinta. Tidak ada yang saya hancurkan, kecuali kesalahan yang memang seharusnya diperbaiki.” “Tutup mulutmu!” bentak Desinta tiba-tiba. “Kau pikir siapa dirimu sekarang, hah? Kalau bukan karena Septimus, kau tidak akan berdiri di situ dengan bangga. Septimus sudah banyak berkorban untukmu. Dia yang mendampingi kakekmu saat sakit, dia yang rela menyumbangkan darahnya ketika kau hampir mati karena kecelakaan. Apa itu semua tidak berarti apa-apa untukmu, Aurelia?” Nada suaranya berubah seperti cambuk, meledak dari seberang sambungan. Damian memutar sedikit tubuhnya, matanya memantulkan kilau sarkas yang tajam. Bibirnya membentuk senyum bengis, seolah menikmati setiap kata kasar yang diterima Aurelia. Ia bersandar dengan posisi santai, tapi tatapannya mengunci leher Aurelia seperti seorang predator yang tengah menilai mangsanya. Aurelia tetap tidak goyah. “Saya mengingat semuanya, Nyonya Desinta. Saya tidak pernah lupa. Tapi pengorbanan yang dilakukan dengan niat busuk bukanlah pengorbanan. Itu perhitungan.” Damian tersenyum tipis. Pandangan matanya bergerak naik turun, menelusuri sosok Aurelia yang kini berdiri tegak dengan kepala sedikit menunduk, wajahnya tegas namun penuh bara. Desinta di seberang sana makin menggila. “Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan! Septimus adalah laki-laki berharga. Kau hanya perempuan keras kepala yang tidak tahu berterima kasih! Kau pikir setelah menghancurkan putraku kau akan tetap jadi pewaris terhormat? Tunggu saja saat semua orang tahu siapa dirimu sebenarnya!” Keheningan memenuhi ruangan beberapa detik sebelum Damian akhirnya bersuara. “Keluarga Septimus?” tanyanya datar, tapi ada nada ingin tahu di balik tenangnya suara itu. Aurelia menatap Damian, sedikit terkejut karena nada suaranya terdengar tidak menghakimi, melainkan penuh perhitungan. “Ibunya,” jawab Aurelia pelan. “Dia menuntut keadilan untuk anaknya. Katanya aku tidak tahu berterima kasih.” Damian hanya mengangguk kecil, matanya masih tajam meneliti wajah Aurelia. “Menarik,” ucapnya lirih. “Kau terlihat lebih tenang dari yang seharusnya, untuk seseorang yang baru saja dikutuk seperti itu.” Damian menunduk, wajahnya begitu dekat hingga Aurelia bisa merasakan hangat napasnya yang kontras dengan dinginnya ruangan. “Malam itu di hotel Imperial. Kau bilang iya. Kau menerima syaratku, kau menyerahkan tubuhmu dengan sukarela, kau sendiri yang mengucapkannya dengan suara bergetar. Itu bukan sekadar permainan, Aurelia. Itu persetujuan.” Jantung Aurelia berdegup lebih kencang. Ia menelan ludah, mencoba mempertahankan wibawanya, meski kalimat Damian menampar kesadarannya dengan telak. Ia ingat, jelas sekali, saat tubuhnya luluh di bawah sentuhan brutal pria itu, ia memang berkata iya. Ia menyerah pada api yang membakar habis logikanya. Damian menyentuh dagunya, mengangkatnya agar menatap langsung ke mata hitamnya yang pekat. “Aku tidak main-main. Syarat sudah kita sepakati. Kau ingin aku membalas dendammu sampai ke akar, dan aku sudah mulai melakukannya. Sekarang aku menuntut hakku. Jadi, kapan pernikahan kita bisa langsungkan?” Aurelia memejamkan mata. Dalam sekejap, seluruh dinding ketenangan yang susah payah ia bangun runtuh di kepalanya. Ingatan itu datang bertubi-tubi seperti hantaman gelombang: tatapan dingin Septimus yang memandangnya tanpa rasa, tangan kasar yang mencekiknya hingga napasnya terhenti, tubuhnya yang menggigil di lantai dingin tanpa ada seorang pun menolong. Tubuhnya menegang. Ia ingin menolak, ingin berkata bahwa Damian terlalu cepat, terlalu mendesak, tapi setiap kali wajah Septimus muncul dalam pikirannya, amarah menyalakan bara di dadanya. Damian masih berdiri di depannya, diam menunggu, sementara matanya tak beranjak dari wajah Aurelia yang kini tertunduk. Ia tahu apa yang sedang bergolak di dalam kepala wanita itu, dan semakin lama ia menunggu, semakin ia bisa melihat api dendam itu tumbuh makin terang. Aurelia membuka matanya perlahan. Ada kilatan yang berbeda di sana—antara luka, rasa takut, dan sesuatu yang nyaris menyerupai ketundukan pada takdir yang ia pilih sendiri. Bibirnya terbuka sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan, terhenti di ujung lidah. “Kalau itu yang kau mau, Damian…” ucapnya parau, lalu menatap pria itu dalam-dalam. Napasnya berat, matanya bergetar seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah. “Aku…” Damian mendekat satu langkah, tubuhnya kini hanya berjarak setipis napas dari Aurelia. Suaranya rendah, dalam, menekan, “Kau apa, Aurelia?” Aurelia menarik napas panjang, menatap Damian tanpa berkedip. Ada sesuatu di matanya—bukan kepasrahan, melainkan keberanian yang dibangun di atas luka paling dalam. Lalu, tanpa menjawab, ia hanya menatap Damian lebih lama, menahan tatapan itu sampai udara di antara mereka terasa begitu berat dan panas. Damian mengangkat sudut bibirnya, memahami diam itu sebagai jawaban yang lebih keras dari kata apa pun. Tangannya terulur, menyentuh pipi Aurelia perlahan, matanya menelusuri wajah wanita itu seperti menandai wilayah yang kini resmi menjadi miliknya. Aurelia tidak bergerak. Ia hanya membiarkan pria itu menatapnya dengan kuasa penuh, sementara pikirannya berputar di antara dua masa: masa lalu yang menjeratnya dalam kematian, dan masa kini yang mungkin akan menyeretnya ke jurang lain yang sama gelapnya. Dan di tengah kesunyian yang menggantung, Damian berbisik dengan nada dingin yang menggoda, “Aku akan anggap diam itu sebagai iya.” “Aku tidak suka menunda,” suaranya rendah, berat, tapi jelas. “Aku tidak menawar apa pun yang sudah kupastikan jadi milikku. Kita sudah bersepakat. Kau menyerahkan tubuhmu. Kau menyerahkan kata iya padaku. Kau menyerahkan dendammu untuk kubalas sampai habis.” Aurelia menggigit bibir bawahnya. Napasnya berat, matanya menatap Damian penuh campuran amarah, gentar, dan gairah yang entah datang dari mana. Ia tahu Damian sedang menegaskan batasnya. Damian mendekatkan wajahnya sampai kening mereka nyaris bersentuhan. Suaranya kali ini menjadi seperti gemuruh pelan, kalimatnya jelas memotong udara di antara mereka. “Besok kita menikah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN