Bab 6. Penyerangan

1781 Kata
Happy Reading "Kenapa tuan memilih saya?" tanya Levina menunduk, suaranya lirih nyaris tenggelam oleh dentuman jantungnya sendiri. Ethan tersenyum tipis, senyum yang sulit ditebak artinya. Dia lalu meraih tangan Levina dengan lembut, seakan takut gadis itu akan berlari jika genggamannya terlalu keras. Ethan menuntunnya untuk duduk di sisi ranjang, jarak mereka kini hanya sejengkal. Sejujurnya, ia sudah tahu pertanyaan itu akan keluar dari bibir Levina. "Tuan, bukankah banyak wanita lain yang lebih dari saya?" suara Levina terdengar ragu. Jemarinya saling meremas, dingin, dan tubuhnya sedikit bergetar. Ia bingung, takut, dan merasa tidak pantas berada di posisi itu. "Karena aku mau kamu," jawab Ethan enteng, namun nadanya mengandung kepastian yang tak bisa diganggu gugat. Levina menelan ludah, hatinya semakin kacau. Kenapa harus aku yang menjadi kekasih gelapnya? Bukankah di rumah ini banyak pelayan yang masih muda dan jauh lebih cantik? Lihatlah tubuhku yang tidak seksi, wajahku yang kusam, kulitku tidak seputih mereka… apa sebenarnya yang tuan harapkan dariku? batinnya berteriak, tapi bibirnya terkunci. Ethan memiringkan kepala, menatap Levina seakan mampu membaca isi hatinya. "Jangan berpikir aneh-aneh. Aku memilihmu menjadi kekasihku karena memang itu kemauanku. Bagiku… kamu berbeda." Kalimat itu membuat Levina terdiam. Perlahan, matanya yang tadi menunduk kini berani melirik wajah tuannya. Wajah Ethan begitu dekat, begitu menawan. Tatapan matanya tajam tapi hangat, alisnya tebal, rahangnya tegas, dan bibirnya… bibir itu terlihat begitu seksi. Bukan hal aneh bila banyak wanita di luar sana ingin berada di pelukannya, ingin menjadi pemuas untuk seorang Ethan. Tapi justru pria itu memilih dirinya—pelayan biasa yang bahkan tidak pernah percaya diri dengan penampilannya. "Sudah puas memandangi wajahku?" tanya Ethan tiba-tiba, membuat Levina sontak menunduk dalam-dalam. Wajahnya memanas, rasa malu menjalari setiap sudut tubuhnya. Ia tidak menyangka kalau tatapannya sejak tadi ternyata ketahuan. "Maaf tuan, " bisiknya gugup. Ethan justru terkekeh kecil, seolah menikmati kepolosan wanita di hadapannya. Ia menghela napas, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat hingga Levina bisa merasakan hembusan napas hangatnya. "Jangan gugup," bisiknya. Ethan menghela napas, sebenarnya dia meminta Levina untuk menjadi kekasihnya bukan karena pria itu ingin menidurinya. Ethan ingin bisa lebih dekat dengan wanita itu dan satu lagi, dia akan memastikan bahwa Levina dan 'dia' adalah orang yang sama. "Levina... Aku juga tidak akan memaksamu, kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa," ucap Ethan menatap wanita di sampingnya itu. Tatapannya teduh, seakan memberikan ruang bagi Levina untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Levina menggigit bibirnya, hatinya bimbang. Ada ketakutan sekaligus keberanian yang bercampur jadi satu di dadanya. "Ehmm, baiklah," jawabnya lirih, suaranya bergetar namun mengandung tekad. "Tapi tuan janji akan membantu saya membalas dendam?" Ethan menoleh, menatap Levina lekat-lekat. Ada ketertarikan sekaligus keheranan di matanya. "Balas dendam pada mantan suamimu?" tanyanya, nadanya pelan tapi tegas. "Memangnya aku harus melakukan apa? Kalau untuk kita pergi memanas-manasi mantan suamimu itu, aku tidak bisa. Kamu tahu sendiri kan aku sudah bertunangan, wajahku juga sangat familiar di sosial media. Yang ada nanti malah merusak reputasiku." Jawaban itu membuat Levina cepat-cepat menggeleng sambil menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan. "Eh, bukan seperti itu, tuan!" katanya panik. Pipinya bersemu merah, entah karena gugup atau malu disalahpahami. "Lalu?" tanya Ethan sambil mengangkat alisnya. "Aku hanya ingin tuan memberiku izin dan akses untuk keluar masuk rumah ini. Tuan tahu sendiri, satpam dan penjaga di pintu gerbang depan? Mereka pasti tidak akan mengizinkanku keluar kalau tanpa alasan," jelas Levina hati-hati. Ia menunduk, takut permintaannya dianggap terlalu berani. Ethan terdiam sejenak, pikirannya berputar. Syarat yang diajukan Levina memang sederhana, tidak ada yang merugikan dirinya. "Lalu, kamu akan membalas mantan suamimu itu sendiri tanpa aku?" tanyanya lagi, memastikan. Levina mengangguk mantap. "Saya akan bermain sendiri, tentunya dengan bantuan tuan di belakang saya. Mantan suami saya menceraikan saya karena saya menjadi jelek. Bahkan harta warisan kakek saya sudah diambil semuanya. Saya hanya akan mengambil kembali milik saya. Saya tidak akan pernah kembali pada mantan suami saya, dia telah menyakiti saya. Saya benar-benar bodoh... bagaimana dulu saya mengangkat dia menjadi CEO perusahaan, tetapi malah seperti ini balasannya," ucap Levina panjang lebar. Suaranya lirih, penuh luka. Matanya mulai berkaca-kaca, bergetar menahan air mata yang sudah di ambang jatuh. Ethan menatap Levina, hatinya ikut tersayat. Ia bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul wanita itu. Bagaimana bisa ada pria setega itu? batinnya, merasa geram pada keputusan mantan suami Levina yang begitu kejam, mengambil segalanya dari wanita polos yang sebenarnya hanya ingin dicintai. "Apakah suamimu dulu punya selingkuhan?" tanya Ethan, kali ini nadanya lebih lembut, tapi masih ada rasa penasaran di dalamnya. Levina menghela napas panjang, lalu menggeleng. "Entahlah, tuan. Saya tidak tahu. Selama menikah dengannya, saya tidak pernah diajak kemana-mana. Dia selalu menyuruh saya di rumah saja. Bahkan saya tidak memiliki pelayan, karena suami saya ingin saya mengurus sendiri rumah sebesar itu. Dia memecat seluruh karyawan saya," ucap Levina sambil terisak. Dan kali ini, air matanya tidak bisa lagi ditahan. Mengalir deras membasahi pipinya. Ethan terdiam. Melihat Levina menangis seperti itu, entah mengapa hatinya terasa tertusuk. Ia tidak pandai menghibur, tetapi ia tahu wanita itu membutuhkan sesuatu—setidaknya sebuah sentuhan yang menenangkan. Perlahan, Ethan mengulurkan tangan dan mengelus bahu Levina. Gerakan itu sederhana, namun cukup membuat Levina merasa sedikit lebih kuat. "Baiklah," ucap Ethan akhirnya, suaranya mantap. "Kalau begitu mulai besok aku akan membawamu ke salon. Ubah gaya rambutmu, dan mulailah perawatan. Kamu harus berdiri lagi, Levina. Jangan biarkan mantan suamimu merasa menang." Levina mendongak, matanya yang masih basah kini dipenuhi binar harapan. Senyum kecil terbit di wajahnya, meski masih diwarnai sisa air mata. "Terima kasih, tuan!" ucapnya tulus. Ethan hanya mengangguk, bibirnya terangkat tipis. Dalam hati, ia berjanji akan ikut menjaga wanita itu. Meski awalnya hanya sebuah permainan, kini ada rasa lain yang tumbuh tanpa ia sadari. *** Mobil hitam mewah yang ditumpangi Ethan meluncur meninggalkan gerbang rumah besarnya. Tujuannya jelas—kantor pusat perusahaan yang sekaligus menjadi kedok dari jaringan kekuasaannya. Aries, supir sekaligus orang kepercayaannya, duduk di balik kemudi dengan tatapan penuh kewaspadaan. Namun baru beberapa kilometer, Aries sudah merasa ada yang janggal. Spion tengah memperlihatkan sebuah sedan gelap mengikuti mereka sejak tadi. Mobil itu menjaga jarak, tidak terlalu dekat tapi juga tidak pernah menghilang. "Bos…" panggil Aries pelan, matanya tetap fokus ke jalan. "Sepertinya ada mobil yang mengikuti kita." Ethan yang sejak tadi sibuk memandang layar ponselnya langsung mengangkat kepala. Dengan tenang ia menoleh ke belakang, tatapannya tajam. Sedan itu memang terlihat mencurigakan. "Sial," gumam Ethan sambil menyandarkan tubuhnya. "Sepertinya kita sudah ketahuan. Mereka pasti sudah curiga Rygas menyusup ke sarang mereka." Aries mengetatkan genggamannya di setir. "Mereka ingin menguji kita atau langsung menghabisi, bos?" tanyanya cepat, nada suaranya penuh kewaspadaan. Ethan menautkan alisnya, pikirannya berputar cepat. "Kalau hanya satu mobil, itu bukan untuk menyerang. Mereka sedang mengintai. Tapi jika nanti ada yang mencoba menyalip atau menutup jalan kita, berarti mereka berniat membunuh." Sejenak hening. Hanya deru mesin dan suara lalu lintas yang terdengar. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil itu. "Bos, mau saya percepat?" Aries mulai menurunkan gigi persneling, siap melesat kapan saja. Ethan mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk menahan diri. "Tidak. Kita mainkan dulu. Aku ingin tahu siapa yang mengutus mereka. Jangan gegabah." Aries mengangguk, meski jelas terlihat urat di pelipisnya menegang. Ia sudah terbiasa dengan bahaya, tapi setiap kali nyawa sang bos dipertaruhkan, ia selalu merasa waspada dua kali lipat. Ethan melirik lagi ke belakang, kali ini matanya menyipit. "Mereka pikir aku tidak sadar kalau sedang diburu. Hmph… bodoh sekali. Kalau mau membunuh, seharusnya jangan memberi aba-aba seperti ini." Tiba-tiba, mobil sedan itu sedikit mempercepat laju, jaraknya semakin dekat. "Bos, mereka mulai mendekat," lapor Aries. Ethan tersenyum tipis, senyum dingin yang biasa muncul saat ia sedang di ambang pertarungan. "Aries, kalau mereka benar-benar nekat, jangan beri ampun. Tapi ingat, jangan hancurkan mobilnya. Aku ingin salah satu dari mereka hidup-hidup." "Siap, bos!" jawab Aries mantap. Ketegangan makin terasa. Mobil sedan itu kini hanya berjarak beberapa meter, seolah menunggu momen yang tepat untuk bergerak. Ethan bersandar santai, meski tatapan matanya penuh dengan kewaspadaan. Ia sudah terlalu sering menghadapi situasi seperti ini. Bagi seorang ketua mafia, setiap perjalanan selalu bisa menjadi yang terakhir. *** Mobil hitam yang ditumpangi Ethan melaju semakin cepat, namun sedan di belakangnya tak pernah beranjak jauh. Seperti bayangan yang menempel, terus mengikuti setiap belokan. Aries mengerling ke spion, wajahnya tegang. "Bos, mereka tidak main-main. Sepertinya siap melakukan kontak." Ethan menyilangkan tangan di d**a, wajahnya tetap tenang walau situasi begitu mencekam. "Biar saja. Kita tunggu sampai mereka benar-benar bergerak. Jangan panik, Aries." Belum sempat Aries menjawab, sedan itu tiba-tiba menyalip dari sisi kanan, mencoba menutup jalur. "Sial!" Aries membanting setir ke kiri, mobil Ethan berbelok tajam, membuat ban berdecit keras di atas aspal. Beberapa pengendara lain mengklakson keras, namun Aries tak peduli. Ethan menoleh sekilas, melihat mobil sedan itu kembali mengejar. "Mereka nekat juga rupanya," gumamnya. Ia lalu meraih ponselnya, menekan satu nomor cepat. "Johan," suara Ethan datar tapi mengandung perintah. "Aku dibuntuti di jalur barat, dekat jembatan layang. Bawa dua orang dan hadang mereka dari depan. Aku ingin salah satu dari mereka bernapas sampai aku tanya sendiri siapa otaknya." Dari seberang, suara Johan terdengar mantap. "Siap, bos. Lima menit lagi saya ada di sana." Aries kembali berbicara, kali ini nadanya tegang. "Bos, kalau mereka menembak, kaca mobil ini tidak akan bertahan lama. Mau saya siapkan senjata?" Ethan menoleh sekilas, matanya tajam. "Jangan dulu. Kita tidak boleh membuka serangan pertama, biarkan mereka yang mulai. Dengan begitu kita bisa pastikan siapa yang ingin kepalaku meledak hari ini." Sedan itu kini kembali berada tepat di belakang. Dari kaca spion, terlihat dua orang pria dengan wajah asing. Salah satunya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. "Bos!" Aries memperingatkan cepat. Ethan melihat refleksi itu juga. "Hmph… akhirnya mereka keluarkan mainan mereka." Tanpa aba-aba, terdengar letusan senjata. Dor! Dor! Peluru menghantam bodi mobil Ethan, meninggalkan lubang-lubang kecil di pintu samping. Aries spontan menurunkan kepala, namun tangannya tetap sigap memegang setir. "Bos, mereka sudah menyerang!" Ethan tersenyum tipis, bukan senyum biasa, melainkan senyum dingin khas seorang predator. "Sekarang giliran kita." Dengan tenang, Ethan membuka laci dashboard, menarik pistol hitam yang selalu ia bawa. Tangannya begitu mantap, seolah senjata itu adalah perpanjangan dari tubuhnya sendiri. "Aries, siapkan manuver. Aku akan beri salam pada tamu kita," ucap Ethan santai. "Siap, bos!" Aries menginjak pedal gas dalam-dalam, mobil melesat kencang melewati tikungan. Sedan musuh tetap mengejar, kali ini semakin agresif, bahkan mencoba menabrak dari belakang. Dor! Dor! Suara tembakan kembali terdengar. Beberapa peluru memantul di bodi mobil Ethan, kaca bagian belakang retak namun belum pecah. Ethan menurunkan kaca jendela sedikit, lalu mengarahkan pistolnya. Satu mata tajam menatap bidikannya, dan—dor! Dor! Dua tembakan balasan dilepaskan. Ban depan mobil musuh terkena, membuat sedan itu oleng ke kanan, hampir menabrak pembatas jalan. "Bos, kita hampir berhasil kabur," seru Aries, matanya fokus ke jalan. Ethan hanya menatap ke depan, suaranya rendah tapi dingin. "Tidak, Aries. Kita tidak kabur… kita berburu." Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN