Bastian berdiri tegak begitu menyadari kedatangan Gia. Dia terlihat kacau. Jika sehari-hari Gia melihat Bastian dalam kondisi rapi mengenakan setelan jas, dasi, dengan tatanan rambut rapi, kali ini justru sebaliknya. Ia hanya mengenakan kaos hitam kusut, bercelana ripped jeans biru tua, seluruh tato, otot, dan bisepnya terlihat jelas. Rambut hitam tebalnya berantakan, dan ada garis-garis ketakutan di wajahnya. “Ada apa, Pak Bas?” “Mora nangis terus, aku bingung.” Bastian mengusap tengkuk. “Badannya panas.” “Pak Bas bisa bawa langsung ke Rumah sakit, kenapa kesini?!” “Saya panik, hanya kamu yang pertama kali saya ingat. Ayo!” Ajaknya. “Amora dimana?” “Di apartemen saya.” Gia mengangguk setuju, saat Bastian menyeretnya masuk kedalam mobil, situasi jalan yang sudah mulai lengang