“Seharusnya kau tidak pernah masuk ke sini, Ivone,” desis Sam. Ia menarik kepala Ivone sampai telinga wanita itu tepat di depan bibirnya.
“Ampun, Dok. Ampuni saya. Kalau boleh meminta, tolong jangan apa-apakan saya. Saya tidak akan buka mulut.”
Sam tersenyum sinis. “Sayangnya tidak bisa. Saya tidak bisa percaya sedikit pun pada mulutmu.”
“S-sumpah. Saya janji.”
“Kamu harus mati!” Kali ini, Sam memekik, membuat Ivone kian bergidik.
“K-kau dokter. Kenapa … kenapa melakukan ini?”
Sam melepaskan Ivone. Ia berdiri, lalu berjalan ke sebuah meja entah mengambil apa sebab ia membelakangi Ivone. Lalu ia memasukkan sesuatu ke saku.
Sam kembali mendekati Ivone, jongkok dan berkata dengan suara rendah, mengancam. “Saya bukan hanya dokter. Saya juga hakim bagi orang-orang yang tidak berguna. Dan kamu sudah melihat terlalu banyak dari yang seharusnya. Tidak akan saya biarkan kamu lolos. Katakan wasiat terakhirmu.”
Air mata Ivone sejak tadi tidak berhenti mengalir. Ia menggeleng terus menerus.
“Katakan! Atau tidak punya keinginan sebelum meninggal?”
“I-ibu saya. Tolong sampaikan, betapa saya sangat mencintainya. Itu saja.”
Senyum di wajah tua sang ibu menari di benak Ivone. Lalu riak kesakitan yang terpancar dari wajah sepuh itu juga melintas ketika sedang menahan sakit. Juga bagaimana ibunya memeluk atau sekadar menenangkan saat dirinya dilanda gundah. Semua itu berputar di layar pikiran layaknya drama.
Sungguh, Ivone tidak takut mati. Ia berpikir, mungkin hari ini memang ajalnya tiba. Sebab lepas dari cengkeraman Indra, kini justru ada ancaman yang lebih berbahaya. Mungkin benar adanya. Siapa pun tidak bisa kabur dari maut. Lalu di tangan Sam ini, nyawanya akan benar-benar dicabut.
Meskipun dulu pernah menolong Sam, Ivone tidak berharap pria itu mungkin akan melepaskannya. Karena kali ini, memang kesalahannya terlalu fatal; masuk sembarangan ke markas hitam ini tanpa izin.
“Tolong jangan kirim jasad saya pada Ibu saya. Karena itu akan membuatnya cepat menyusul saya.”
“Oke. Doakan semoga saya berbaik hati menjalankan wasiat darimu. Itu pun kalau saya tidak lupa. Kalau lupa, wajar bukan? Saya sangat sibuk.”
Dari saku jas hitamnya, Sam mengeluarkan sebuah spuit berisi cairan bening.
Ivone terpejam, menunduk. Asma Allah selalu ia panggil dalam hati. Mungkin itu cairan mematikan yang akan disuntikkan kepadanya.
“Lumayan kalau organmu diambil. Organ dari wanita cantik, harus dihargai mahal.”
Sam sengaja memamerkan alat suntik itu di hadapan Ivone. Ia lalu menangkap pergelangan tangan Ivone, memelintirnya ke belakang. Pria itu mendesis di belakang telinga Ivone. “Tenang saja … ini hanya sedikit propofol. Kamu hanya akan tidur sebentar. Atau mungkin tidur selamanya. Tergantung bagaimana tubuhmu merespons. Say good bye pada dunia, Ivone.”
Jarum suntik menembus kulit Ivone. Wanita itu berusaha meronta di detik-detik terakhir. Matanya terbelalak, tetapi kesadarannya perlahan kabur.
Ivone bersuara dengan suara melemah. “Iblis kamu, Sam.”
Kepala Ivone terkulai. Sam menopang tubuhnya yang lunglai. Ia menatap Ivone sebentar, kemudian tersenyum sinis.
Sam melirik anak buahnya yang berdiri di sisi kanan kiri. Dingin, ia memberi perintah. “Masukkan dia ke mobil saya. Saya sendiri yang akan mengurus sisanya.”
Dua orang lelaki berpakaian hitam segera maju. Mereka mengangkat Ivone yang tidak berdaya seolah hanya boneka, lalu membawanya keluar lewat pintu belakang.
Sam berdiri memandangi mereka, wajahnya kembali tanpa ekspresi. Lalu ia meletakkan spuit di atas meja.
Sam bermonolog pelan. “Sekarang kamu benar-benar menjadi dadtar bagian dari permainan saya, Ivone. Kamu tidak akan pernah bisa kabur.”
Setelah Ivone sudah diamankan, Sam duduk di kursi kulit besar, menyandarkan punggung dengan wajah datar. Di tangannya, terselip sebuah rokok. Di depannya, berjejer semua anak buah dengan kepala tertunduk.
Sam berkata dengan suara berat. “Kalian membiarkan wanita itu masuk ke markas. Dia melihat operasi. Kecerobohan macam apa ini, hah! Apa keamanan seburuk ini!”
Tidak ada yang berani menjawab. Hanya terdengar detak jam tua di sudut ruangan. Sam menyalakan rokoknya. Ia hisap dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan ke udara.
“Kalian tahu hukuman bagi yang lalai!”
Ia berdiri, lalu mendekati anak buah pertama. Tanpa ragu, ia menempelkan bara rokok menyala ke punggung pria itu.
“Aaaarghh!! A-ampun, Bos!!”
Sam tersenyum tipis, lalu berpindah ke anak buah berikutnya. Satu per satu, ia menempelkan rokok ke kulit mereka, meninggalkan bekas hangus dan bau daging terbakar. Suara jeritan memenuhi ruangan.
Itu termasuk hukuman paling ringan dan itu semacam stempel kesalahan. Seberapa banyak bekas, sebanyak itulah mereka melakukan kelalaian.
“Ingat rasa inI setiap kali kalian ingin bertindak b0doh.”
Beberapa anak buah berusaha menahan teriakan, namun tetap saja keluar suara mengerang.
Ada beberapa alasan mereka bekerja di bawah kaki seorang mafia. Sebagian besar anak buah Sam memilih bergabung bukan semata karena keberanian, melainkan karena keadaan yang memaksa. Ada yang terjerat hutang lalu diselamatkan Sam, hingga akhirnya merasa berutang budi dan tak punya pilihan selain setia. Ada pula yang datang dari keluarga miskin, tergiur janji bayaran besar yang tidak akan mereka dapatkan dari pekerjaan halal.
Sebagian lagi mencari perlindungan, sebab berada di bawah sayap Sam berarti aman dari geng lain dan aparat yang sewaktu-waktu bisa menjerat. Namun, tak sedikit pula yang bertahan karena candu pada dunia gelap itu sendiri. Yaitu kekuasaan, ketakutan yang mereka tebarkan, pesta, dan gaya hidup penuh adrenalin. Semua alasan itu bercampur, menyatukan mereka di bawah satu nama: Black Shadow.
Black Shadow adalah bayangan gelap bagi para korban. Namun, gemerlap harta bagi komplotannya. Apalagi Sam sangat royal pada anak buahnya. Upah mereka tidak sedikit, berbanding lurus dengan risiko yang diterima.
“Di bawah saya kalian bisa hidup. Tapi sekali saja kalian lalai, saya sendiri yang akan mengambil nyawa dan organ kalian untuk diperjual belikan.”
Sam lantas menjatuhkan puntung rokok terakhir ke lantai, menginjaknya hingga padam. Suasana hening, hanya tersisa desis kesakitan tertahan para anak buah yang punggungnya kini penuh luka bakar.
“Perketat lagi keamanan! Jangan biarkan orang masuk markas ini! Paham!”
“Paham, Bos!” balas mereka ketakutan.
“Jangan biarkan siapa pun masuk selain anggota! Ingat itu!”
Setelah puas memberi hukuman pada anak buahnya, Sam membersihkan diri. Ia lalu menuju mobil dan membawa Ivone bersamanya.
Ivone masih tidak sadarkan diri. Tubuhnya terbaring di kursi belakang mobil hitam Sam. Setelah perjalanan beberapa menit saja karena memang jaraknya dekat, kendaraan itu memasuki gerbang tinggi dengan kamera pengawas di setiap sudut setelah seorang penjaga membukanya.
Rumah megah berdiri anggun dengan arsitektur modern. Pilar marmer putih, kaca tinggi berkilau, dan halaman luas penuh lampu taman. Di sisi kanan, berdiri bangunan terpisah: sebuah klinik pribadi.
Sam sendiri yang menggendong Ivone masuk ke klinik yang sekarang sedang sepi itu. Ruangan dalamnya serba steril. Lampu LED putih menyilaukan, dinyalakan.
Ia membaringkan Ivone di ranjang pasien. Kaki Ivone yang sedikit terkilir saat berlari di hutan tampak merah dan agak bengkak. Kakinya juga banyak luka. Sam membuka lemari obat, mengambil beberapa perlengkapan medis.
Povidone-iodine untuk membersihkan luka. Lidocaine injeksi 2% untuk anestesi lokal. Dexamethasone untuk mengurangi inflamasi. Paracetamol IV sebagai analgesik. Juga perban elastis untuk menahan pergelangan kaki.
Sam bisa menebak, mungkin memang benar Ivone kabur dari seseorang dan tidak sengaja masuk ke markasnya. Terbukti dari kondisi fisik Ivone yang sangat kacau. Juga luka-luka di telapak kaki wanita ini.
“Apa ini, Tikus Kecil? Kenapa kamu selalu tiba-tiba datang ke kehidupan saya? Siapa kamu sebenarnya? Apa mungkin kiriman musuh? Atau mungkin malah kiriman Tuhan?”