Menjadi Kekasih Pria m***m?!

798 Kata
Setelah kemarin Dewo melakukan hal tak senonoh padanya, hari ini Renee memutuskan mengambil jatah liburnya. Ia merasa kacau. Dewo memang tidak memerkosanya, hanya saja tangan pria itu menyentuh area-area sensitif yang seharusnya tidak disentuh. Itu sebabnya Renee mantap libur hari ini. Selain terbebas dari pekerjaan, ia juga terbebas dari meja nomor lima, meja yang sudah seperti markas Dewo untuk mengerjainya. Rencananya Renee akan menemui Affan. Sudah beberapa hari ini ia tak pernah melihat pria itu. Seluruh chat yang dikirimnya tak ada satu pun yang dibalas. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Affan memang sering menghilang dan kemudian datang dengan kejutan. Namun, untuk kali ini Renee merasa ada yang tak beres pada diri sahabatnya itu. Renee hafal betul karakter Affan. Terlebih persahabatan mereka memang tak bisa dibilang sebentar. Sampai di depan rumah Affan, Renee mengetuk pintu dengan sabar. Sudah berulang kali mencoba, tapi tak juga dibuka. Rumah pun terlihat lebih sepi dari bisanya. Dulu, Renee sering datang dan biasanya ada Ibu Affan dan adiknya. Akhirnya, Renee memutuskan untuk pulang kembali. Perasaan Renee mulai tidak enak saat sebuah mobil yang ia kenal mendekat ke arahnya. Renee mengeluh, mengapa Dewo seakan ada di mana-mana? Apa yang harus dilakukannya sekarang? "Masuk," ucap Dewo setelah membuka jendela mobilnya. Renee kemudian masuk, membuat Dewo tersenyum penuh kemenangan. "Aku semakin bangga padamu jika seperti ini." Mendengar itu, Renee menatap Dewo mengisyaratkan bahwa dia tak mengerti dengan arah pembicaraan pria itu. "Masih tak mengerti juga?" tanya Dewo. "Maksudku, aku suka kamu sudah menurut padaku. Kamu makin cantik jika tak ada perlawanan saat kuminta apa pun." Renee tidak menjawab. Ucapan Dewo sedikit ada benarnya juga. Renee berpikir, jika ia menolak … pasti Dewo akan marah besar dan mengeluarkan ancamannya seperti biasa. Renee juga takut kalau Dewo semakin berambisi mencicipi tubuhnya. "Kita mau ke mana?" tanya Renee setelah selama beberapa saat hanya ada keheningan. "Kamu akan tahu nanti. Lagi pula, pasti kali ini kamu akan senang dengan tempat tujuanku." "Jangan terlalu percaya diri dengan mengumbar kata pasti jika pada akhirnya belum tentu. Aku tak mudah merasa senang." "Baiklah, lihat saja nanti," ucap Dewo dengan penuh percaya diri. "Bagaimana jika kita membuat kesepakatan? Kamu harus melepaskanku jika pada kenyataannya aku tidak merasa senang." Dewo terkekeh, "Melepaskan? Ya Tuhan, sejak kapan aku mengikatmu?” "Maksudku … Mas tak akan menjeratku lagi, bukan? Jika nanti aku tidak senang … Mas harus berhenti mendekatiku lagi." Dewo tampak berpikir sejenak, ia menatap Renee dengan tatapan tak terbaca. "Siapa yang bisa menjamin kalau kamu jujur. Bisa saja sebenarnya kamu senang, tapi malah berpura-pura tidak senang. Bukankah itu kemungkinan terbesar?" "Jangan berburuk sangka seperti itu," ucap Renee, kemudian menatap Dewo, "Percayalah padaku. Aku tak mudah bohong. Jika aku senang, tidak mungkin aku berkata sebaliknya. Jadi tenang saja." "Baiklah, aku kunci ucapanmu. Oh ya, jika aku berhasil nanti … kamu bersedia menjadi kekasihku, bukan?" "Kenapa tiba-tiba jadi kekasih? Bukankah tak ada perjanjian seperti itu? Kita hanya sepakat jika aku tak senang … kamu berhenti mendekatiku," jelas Renee. "Ada. Barusan aku yang membuatnya," ucap Dewo tegas. Renee mulai berpikir, berdasarkan firasatnya, sepertinya ia nanti tidak akan senang. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lebih baik ia terima perjanjian yang merupakan satu-satunya kesempatan untuk melepaskan diri dari Dewo. Lagi pula tak mudah baginya untuk merasa senang. *** Renee terbangun dari tidurnya dalam kondisi kepala bersandar di dalam mobil. Ia menengok ke arah kursi kemudi, tapi tidak ada siapa pun. Sebenarnya ke mana Dewo? Seingat Renee, tadi mereka sedang berada di jalan yang entah mau ke mana. Akhirnya Renee turun. Rasanya ini tempat yang asing baginya. Mata Renee melebar saat melihat bunga-bunga yang indah sudah tersusun rapi melingkari sebuah kolam kecil. Suasana malam hari membuat lampu-lampu menjadikan tempat ini indah dan terkesan romantis. Bunga-bunga itu mengelilingi kolam dengan lampu kerlap-kerlip. Renee sangat bahagia melihat pemandangan di hadapannya. "Tempatnya bagus, bukan? Apa kamu suka?" tanya Dewo yang tanpa disadari sudah berada di samping Renee. Namun, tampaknya Renee tak memedulikan kehadiran orang lain karena begitu fokus pada pemandangan yang menurutnya sangat indah. "Bagus sekali. Sangat, aku sangat suka," jawab Renee tanpa sedikit pun menoleh pada lawan bicaranya. "Jika suka, apa berarti kamu senang?" tanya Dewo lagi. Sepertinya Renee tak menyadari tentang kesepakatan mereka tadi. Renee benar-benar terbuai akan keindahan tempat itu. "Ya, pasti. Aku senang sekali," jawab Renee dengan mata berbinar. Tak ada sedikit pun raut kebohongan di wajahnya. "Dan apa itu artinya kamu mau jadi kekasihku?" Pertanyaan itu bagai sambaran petir bagi Renee. Ia menoleh dan ternyata Dewo sedang menatapnya. Renee baru ingat dan sadar tentang kesepakatan mereka tadi. Oh Tuhan, Renee benar-benar tak tahu akan begini akhirnya. Jika saja ia tahu akan dibawa ke tempat seindah ini, Renee pasti tidak akan menyetujui perjanjian sialan itu. "Kenapa kita ada di sini?" "Jangan mengalihkan pembicaraan untuk menghindari janjimu. Katakan bahwa malam ini kau resmi jadi kekasihku." Renee bungkam, ia tidak menyangka sehingga tidak bisa berkata-kata. Lidahnya seakan kelu. "Ayo. Katakan bahwa Renee adalah kekasih Dewo sejak malam ini," ulang Dewo yang membutuhkan penegasan. Kekasih? Tunggu … Renee resmi menjadi kekasih dari seorang Dewo yang m***m itu? Ini gila. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN