"Aku ingin pulang," ucap Renee saat Dewo menghampirinya yang tengah berdiri menyendiri di balkon kamar. Sekilas, Renee tadi seperti melihat Affan, tapi rasanya tidak mungkin karena mustahil rasanya Affan ke rumah Dewo. Rupanya rasa rindu pada Affan membuat orang lain terlihat mirip dengan Affan.
"Pulang untuk apa lagi? Aku nyaman bersamamu," jawab Dewo tanpa dosa. Ia terlihat senang padahal Renee merasa sedih. Bahkan, Renee sudah kehilangan sesuatu yang berharga dalam dirinya.
Dewo benar-benar egois. Hanya mementingkan nafsunya tanpa sedikit pun peduli terhadap apa yang Renee rasa. Sepertinya yang ada di pikiran Dewo hanyalah tubuh perawan. Itu saja.
"Apa kamu lupa? Aku punya keluarga. Mereka pasti mencariku. Belum lagi sudah beberapa hari ini aku tidak bekerja. Aku tidak ingin sampai dipecat." Renee memberanikan diri berbicara seperti itu.
Dewo tampak tertawa masam. "Untuk masalah pekerjaan jangan pikirkan. Aku akan menjaminmu, berapa yang kamu mau? Sebutkan saja nominalnya. Sejuta, dua juta, lima juta, sepuluh juta atau berapa?" tanya Dewo dengan nada angkuh.
"Aku bukan p*****r. Dan aku sudah pernah bilang, jangan sentuh aku lagi. Tapi kamu terus melakukannya."
"Aku punya fotomu, Sayang," ucap Dewo sambil memegangi pipi Renee.
Renee tampak menghindar. "Licik!"
"Tidak ada peraturan dalam mendapatkan wanita. Semuanya boleh melakukan dengan segala cara. Cara licik atau bukan itu tidak penting, yang terpenting wanita itu takluk dan pasrah di hadapanku."
Renee sadar, dirinya sudah jatuh terlalu jauh dalam jurang perangkap Dewo. Menghindarinya itu tak mungkin, sepertinya untuk beberapa waktu ia lebih baik mengalah. Tentu saja dalam hatinya berjanji bahwa ini hanyalah sementara. Ia akan segera terbebas dari perangkap Dewo. Harus.
"Aku akan mengantarmu pulang hari ini. Jadi jangan cemberut seperti itu, oke?"
Renee tersenyum tak percaya. "Benarkah? Apa ucapanmu bisa dipegang?"
"Tentu saja iya," jawab Dewo kemudian membimbing agar Renee masuk ke kamarnya.
"Jangan sentuh aku … kumohon," pinta Renee.
"Kamu sudah kusentuh tiga hari ini, kenapa masih saja bicara agar aku jangan menyentuhm? Aneh sekali."
"Justru karena sudah tiga hari, kumohon untuk kali ini jangan sentuh aku. Sakit."
Dewo tersentak saat mendengar pengakuan Renee. Dalam hatinya sedikit ada rasa kasihan pada wanita di hadapannya itu.
"Dewo, please. Sakit sekali," pinta Renee lagi dengan tatapan yang patut dikasihani.
"Apa sesikit itu?" Awalnya Dewo sudah bersiap menindih tubuh Renee, tapi kemudian ia mengurungkan niatnya.
Renee mengangguk, membuat Dewo tampak berpikir sejenak. Entahlah, berada di dekat wanita seperti Renee membuatnya ingin terus melakukan percintaan panas. Namun apa daya, ia kasihan. Mungkin Renee juga butuh istirahat. Walau bagaimanapun Dewo tak ingin Renee mati sia-sia akibat nafsunya.
"Kumohon jangan perkosa aku sekarang.”
"Apa? Memangnya kapan aku memerkosamu, Sayang?”
"Tiga hari terakhir ini."
Dewo tampak menahan tawa. Sepertinya ia memilih wanita yang tepat, benar-benar sangat polos. Tentu saja Dewo tak merasa memperkosa Renee karena yang Dewo tahu, Renee juga menikmati dan tidak ada paksaan. Ya, memang awalnya Dewo yang memaksa, tapi setelahnya sama-sama mau. Renee juga sangat pasrah.
"Aku tak pernah memerkosamu."
"Akui saja, Dewo."
"Bagaimana aku mengakui hal yang tidak aku lakukan? Kita melakukannya atas dasar suka dan kamu pasrah."
Renee mengernyit, "Aku pasrah?"
"Ya. Buktinya kau mendesah dan sangat menikmati."
Renee tak bisa menjawab apa yang Dewo katakan. Ia jadi memikirkan apakah benar dirinya menikmati itu semya? Ia tidak menyadarinya. “Aku tak merasa—”
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Semakin kamu bicara … semakin lama kamu pulang," pungkas Dewo.
Akhirnya Renee diam pasrah, menanti apa yang akan Dewo lakukan selanjutnya.
***
Akhirnya Renee diantar pulang oleh Dewo. Sebenarnya Renee ingin sekali bertanya mengapa rumah Dewo tampak sepi. Padahal di hari pertama Renee ke situ ada beberapa keluarga Dewo. Sekarang mereka ada di mana? Lalu, mengapa orangtua Dewo mengizinkan anaknya membawa wanita ke dalam kamar? Kini Renee Semakin yakin itu adalah orangtua bayaran. Orangtua palsu.
Setelah sampai di rumah Renee langsung masuk ke kamar mandi. Ia langsung membersihkan dirinya yang merasa sangat kotor. Setelah selesai mandi, Renee langsung mendapat serentetan pertanyaan dari Deswita.
"Aku menginap di rumah teman, Bu. Temanku menikah, jadi aku harus membantunya. Maaf tidak memberi kabar. Ponselku tertinggal. Maaf kalau membuat Ibu khawatir," jelas Renee.
"Syukurlah, Ibu lega kalau begitu. Ibu sampai mencarimu ke rumah Affan."
"Apa? Ke rumah Affan? Lalu apa dia ada? Aku sempat ke tapi dia tidak ada."
"Ada. Dia juga berusaha mencarimu."
"Benarkah? Bagaimana ekspresinya?" tanya Renee penasaran.
"Dia juga ikut panik dan tentu saja khawatir."
"Oh Tuhan, semoga saja benar Affan khawatir padaku."
"Kenapa bicara begitu? Sebagai sahabat, dia pasti cemas. Wajar, mana mungkin dia bersikap biasa saja tanpa ada rasa khawatir?"
"Sudah seminggu lebih kami tidak berkomunikasi, Bu. Affan seperti menjauhiku dan menghindar dariku, padahal aku yakin tak ada masalah antara kami. Ya, kami tidak sedang bertengkar. Bahkan kami baik-baik saja, sangat baik-baik saja."
Belum sempat Deswita merespons apa yang Renee ceritakan, tiba-tiba Heri datang dan ikut berbicara, "Pintar sekali kamu, Renee. Ayah tak menyangka kamu baik sekali membantu temanmu menikah. Ayah kira kamu yang menikah," ucapnya sambil mengedipkan mata pada Renee bagai isyarat bahwa ada sesuatu.
Entah mengapa Renee tak mengerti dengan arah pembicaraan Heri. Dan untuk kedipan mata itu? Mungkinkah Heri tahu kalau Renee berbohong?
"Sudahlah, kamu pasti lelah. Ibu buatkan sarapan, ya?"
"Ah, tidak perlu. Saat ini aku tidak butuh makanan karena yang aku butuhkan adalah tidur."
"Baiklah. Kamu tidur saja, Nak."
Jujur, Renee masih menerka-nerka ... sebenarnya apa maksud ayahnya?