Affan menyapa seluruh karyawan yang berpapasan dengannya tanpa kecuali. Sejak dahulu, ia memang terkenal ramah dan rajin. Ia pun dapat dipercaya sehingga pimpinannya mengangkat Affan menjadi manager. Meskipun sekarang sudah menjadi manager, tentu saja Affan masih mempertahankan sikap baiknya.
Namun, ada yang berbeda dan terasa janggal dengan beberapa karyawan yang berpapasan dengan Affan hari ini. Mereka seakan kompak menampilkan ekspresi yang tak bisa Affan artikan. Affan menoleh saat salah satu karyawan memanggil dari belakang dengan langkah yang setengah berlari.
"Ya?" tanya Affan tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya.
"Maaf, Pak. Saya memanggil dengan cara seperti ini. Tapi..." Pria itu sengaja memotong kalimatnya.
Affan tampak heran, terlebih memperhatikan ekspresi pria yang ada di hadapannya ini setengah ketakutan.
"Bapak dipanggil bos besar. Dia sepertinya sangat marah pada Bapak."
Affan mengangguk tanda mengerti kemudian langsung bergegas menuju ruangan bos besar. Mengetuk pintu, Affan kemudian terdengar suara seseorang di dalam yang mengatakan, "Masuk!"
Bos besar dalam keadaan membelakangi. Entah apa yang terjadi Affan pun tak mengerti. Kini kursi putar bosnya mulai memutar hingga mereka berhadapan.
"Duduk!"
Affan duduk. Baru kali ini Dewo, bos besar yang biasa ramah, kini memandangnya dengan ekspresi benci. Tidak tahu harus berbuat apa, untuk beberapa saat Affan terdiam seraya menunduk. Menunggu Dewo berbicara.
"Jauhi Renee," perintah Dewo tegas.
Sungguh ini di luar dugaan Affan. Tentu saja Affan sangat terkejut atas perintah bosnya itu. "Maksud Bapak … Renee sahabat saya?" tanya Affan hati-hati.
"Ya. Saya pikir, kamu menyimpan rasa untuknya. Buanglah rasa itu dan mulai jauhi wanitaku."
Jelas saja Affan makin kaget. Dalam benaknya langsung dipenuhi banyak pertanyaan. Renee sahabatnya? Dan Dewo menyebutnya wanitaku? Berarti mereka saling mengenal? Mungkinkah mereka pacaran? Jadi, ini yang membuat Renee menutup hati dan sedikit pun tak membaca sinyal yang Affan beri? Affan benar-benar tak menyangka, terlebih sahabatnya itu tak pernah menceritakan bahwa ia mengenal bosnya. Mengapa Renee harus menutupi ini semua jika benar-benar menjalin hubungan dengan Dewo?
"Ya. Dia sahabatmu, ya? Saya harap, kamu bisa menjaga jarak dengan sesuatu yang menjadi milik saya. Batalkan janji nanti malam. Jangan jemput dia.”
Lagi-lagi Affan heran. Mengapa Dewo bisa tahu semua? Jelas saja Affan keberatan dengan keputusan bosnya itu.
"Saya tahu ini berat bagimu. Kamu hanya tinggal pilih … mau bekerja di sini dan mengikuti aturan saya, atau pergi dengan aturanmu sendiri."
Bagai disambar petir. Sepagi ini Affan harus menerima kabar buruk. Kabar yang membuatnya frustrasi. Bagaimana ia harus memilih antara cinta dan pekerjaan? Pikirannya langsung melayang pada keluarga di rumah yang juga sangat membutuhkan bantuan darinya yang kini sebagai tulang punggung.
***
"Renee ... maaf ya, sepertinya aku tidak jadi menjemput karena ada urusan yang sangat penting dan darurat."
Renee menatap layar ponselnya yang berisi pesan singkat dari Affan. Ini adalah kali pertama Affan membatalkan janji. Sebenarnya ada apa? Renee berjanji akan menanyakan hal ini saat berjumpa dengan Affan nanti.
Renee akhirnya pulang sendiri, seperti biasa berjalan kaki. Tiba-tiba mobil Dewo tepat berhenti di sampingnya. Pikiran Renee langsung merasa tak enak. Renee ingin sekali berlari. Namun, pasti Dewo dapat mengejarnya.
"Masuk. Akan kuantar pulang," ucap Dewo.
Renee tampak berpikir sejenak. Mungkinkah pria m***m itu akan membawanya ke hotel lagi kemudian melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak pantas?
Bagai membaca pikiran Renee Dewo langsung mengatakan bahwa pria itu akan mengantar Renee pulang. Bukan ke hotel.
"Lagi pula kamu masih datang bulan. Aku tak mau," tambah Dewo
Akhirnya Renee masuk ke mobil. "Rumahku dekat, jalan kaki saja sebenarnya sudah cukup."
"Oh ya? Jika cukup jalan kaki … mengapa tak menolak ajakanku? Ah aku tahu, rupanya kamu mulai jatuh hati padaku," ucap Dewo dengan tatapan menggoda.
"Bukankah Mas Dewo tidak menerima penolakan dan pasti akan mengancamku? Seperti anak kecil saja."
"Ah iya, kamu takut ancaman ya? Baguslah, akan kugunakan cara itu untuk membuatmu jatuh hati padaku."
"Terserah. Cepat ya aku lelah."
"Tunggu, kamu kira aku sopirmu?"
"Aku tidak bilang begitu. Apakah Mas Dewo lupa siapa yang selalu memaksaku untuk ikut?" jawab Renee tak mau kalah.
Senyuman mulai terukir di bibir Dewo. Pria ini sangat senang akhirnya bisa mengobrol nyaman dengan Renee. Meski hanya perdebatan kecil. Tak bisa dimungkiri Dewo suka becanda dengan Renee.
"Rupanya kamu mulai berani."
"Tolong cepat. Aku butuh istirahat, besok harus berangkat lagi. Kumohon," pinta Renee.
Dewo menatap mata wanita itu. Benar saja, Renee tampak sangat lelah. Dewo jadi tak tega menahannya lebih lama.
"Rumahku di—"
Belum sempat Renee menunjuk arah, Dewo sudah memotong ucapan Renee, "Ya, aku sudah tahu jadi jangan berisik."
Renee menatap Dewo dengan tatapan bingung. Rupanya pria ini sudah banyak tahu tentangnya. Tapi tahu dari mana?
"Aku hanya takut Mas membawaku ke tempat lain. Padahal tujuanku sebenarnya adalah rumah," jawab Renee hati-hati.
"Tidak mungkin aku membawamu sekarang. Tak ada dalam kamusku menikmati tubuh wanita yang sedang datang bulan."
Renee hanya terdiam. Rasanya malas membahas sesuatu yang tak penting terlebih bersama orang m***m semacam Dewo.