BAB 2

1581 Kata
Merlin terbangun dan mendapati dirinya tengah berada di sebuah ruangan yang begitu megah dan luas. Ia mengerjapkan mata beberapa saat, hingga ia sadar jika tengah berbaring di atas kasur dengan seorang pria asing di sampingnya. Bagai disambar petir di pagi hari, Merlin menjerit dalam hatinya. Wanita itu segera beranjak. Memeriksa selimut yang membalut tubuh telanjangnya. “Sial!” jeritnya dalam hati, kemudian turun dari kasur dengan seorang pria yang masih terlelap di atasnya. Merlin memunguti pakaian miliknya yang berserakan di atas lantai kemudian segera mengenakannya. Sembari matanya terus menatap ke arah pria yang tengah tertidur itu, memastikan jika sang pria masih dalam keadaan lelap. Setelah berpakaian, Merlin segera membuka langkah hendak kabur dari ruangan suite yang begitu berantakan. “Apa yang telah kulakukan bersama pria itu?” Merlin berkata dengan bibir getir. Langkahnya begitu sempoyongan sebab hatinya yang tidak karuan. Merlin berjalan seakan ia telah dikejar oleh seorang penjahat di belakangnya. Seorang penjahat yang telah merebut kesucian yang selama ini begitu ia jaga. Sepanjang langkahnya untuk keluar dari hotel, Merlin telah mengundang banyak perhatian pengunjung lainnya. ***** Suara bising lalu lalang kendaraan membuat Merlin merasa pusing. Wanita itu hilang arah. Memegangi tali tas yang ia sampirkan di bahunya, Merlin membeku di tepi jalan raya. Bagaimana bisa? Ia telah kehilangan kesuciannya bersama seorang pria asing yang sama sekali tidak ia kenal. Merlin menangis. Hatinya begitu hancur. Wanita itu, dengan pakaian dan penampilan yang sedikit berantakan, membuatnya kembali mengundang perhatian banyak orang. Berdiri di depan sebuah hotel dengan penampilan seperti itu, Merlin membuat banyak orang bertanya-tanya. Ada yang berpikir jika wanita yang tengah membeku dan menangis itu adalah seorang pekerja malam yang memuaskan nafsu seseorang. Ada pula yang berpikir jika wanita itu adalah korban kekerasan seksual. “Apa yang harus aku lakukan? Seharusnya aku tidak menerima tawaran itu. Seperlu apa pun aku dengan uang. Aku menyesal ya Tuhan.” Merlin menangis dalam kebisuan, hatinya berkecamuk, “Semua karena uang sialan itu! Jika saja aku tidak pergi tadi malam. Aku tidak akan terjebak dalam masalah ini.” Merlin sangat kacau. Ke mana ia harus mengadu? Tidak ada tempat peraduan untuk orang sepertinya. Hidup sebatang kara. Ya, Merlin telah mengaggap hidupnya sebatang kara meskipun ayahnya yang suka berjudi itu masih hidup dan bernyawa. Memang peduli apa pria tua itu tentang hidup Merlin? Menyeka kedua pipinya yang basah, Merlin membuka langkah menjauhi Hotel Marina. Langkah demi langkah ia buka, tanpa arah tujuan yang jelas. Hingga sebuah dering yang berasal dari dalam tas miliknya, Merlin tersadarkan. Dipandanginya nama ‘Dinar’ terpampang di layar handphone. Tanpa berniat untuk menjawab panggilan dari rekan kerjanya itu. Namun panggilan telepon dari Dinar terus menerus masuk, membuat Merlin tidak punya pilihan selain menjawabnya. “Halo, Nar,” ujar Merlin membuka suara. Di seberang telepon, Dinar yang tengah duduk di balik meja kerjanya bertanya, “Lo di mana, Lin? Tumben jam segini lo belum datang. Lo nggak masuk kerja?” ujarnya berbondong, belum Merlin menjawab, Dinar kembali berkata, “Sejak tadi bos nyariin lo, ada apa?” Wanita bernama Dinar ini memang sangat senang bergosip. Bukan tidak tahu apa pun, Dinar sangat tahu jika Pak Gunawan sangat tergila-gila pada Merlin. Pun dengan rekan kerja Merlin yang lainnya. Mereka juga tahu tentang berita ini. Hal ini pula yang membuat Merlin sangat risih dan tidak nyaman ketika bekerja. Jika saja Merlin bisa, ia ingin sekali berhenti bekerja di perusahaan itu. Namun, berhenti begitu saja bukan suatu hal yang bisa Merlin lakukan sesuka hati. Ia sadar, siapa dirinya dan bagaimana kedudukannya di dalam dunia ini. Merlin menghela napas kasar. Menjauhkan benda pipih itu dari telinga untuk memeriksa pukul berapa sekarang. Ternyata sudah pukul 08.00. Sudah sangat terlambat untuknya datang ke kantor untuk bekerja. “Hari ini gue nggak masuk kerja, Nar. Gue tutup dulu ya teleponnya. Gue ada urusan mendesak.” Merlin segera menekan tombol end berwarna merah untuk mengakhiri panggilan bersama Dinar. Memasukkan benda pipih itu kembali ke dalam tas, lalu melambaikan tangan pada angkot yang sebentar lagi lewat. Angkot pun berhenti tepat di depan Merlin. Wanita itu segera masuk ke dalam angkot dan duduk dengan perasaan yang berkecamuk. Sepanjang jalan menuju pulang, Merlin menatap kosong ke sembarang arah. Pikirannya begitu kacau hingga tanpa sadar jika seorang copet telah berhasil membobol tas miliknya dan mengambil dompetnya. Setelah beberapa jarak, Merlin meminta kepada sopir angkot untuk berhenti. Disaat wanita itu hendak membayar, Merlin dibuat kelimpungan mencari dompetnya yang telah hilang. Malang nasib Merlin, sudah kehilangan kesuciannya, ia juga harus kehilangan dompet yang tidak seberapa banyak uang di dalamnya. Beruntung seorang wanita paruh baya menolong Merlin untuk membayar ongkos angkot. “Terimakasih banyak, Bu,” ucap Merlin begitu tulus. Angkot kembali melaju. Meninggalkan Merlin yang berdiri mematung di tepi jalan raya. Wanita itu berusaha kuat dan tidak menangis, meski air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Tidak berhenti di sana, kemalangan nasib Merlin dibuktikan dengan sambutan para rentenir yang telah mengobrak-abrik seisi rumahnya. Beberapa pria berbadan kekar itu menuntut agar Merlin segera membayar sejumlah uang yang sangat di luar kemampuan Merlin untuk membayarnya. “Lo udah janji untuk bayar hari ini. Seratus juta! Itu hanya bunga nya!” salah satu pria berbadan kekar itu membanting vas bunga yang ada di atas meja. “S..saya akan membayar secepatnya. Tolong beri saya waktu sedikit lagi.” Merlin memohon dengan kalimat yang terputus-putus. Bibirnya bergetar, pun dengan degup jantungnya yang sama sekali tidak beraturan sekarang. “Kami beri waktu dua hari lagi! Kalau lo nggak bisa membayarnya. Tahu sendiri bagaimana akibatnya.” *** Sedangkan di kamar suite Hotel Marina, Raka baru saja terbangun dari tidurnya. Pria itu merasa kepalanya sangat sakit. Raka mengerang, sembari beranjak bangun ia menghela napas kasar. “Astaga, kepala gue!” ujarnya dengan memegangi erat kepalanya yang terasa sangat berat. Mata Raka berkeliling. Menatap seisi kamar yang berantakan. “Apa gue ngamuk ya tadi malam? Terus kenapa gue bisa ada di sini?” Raka kembali mengerang. Kemudian turun dari kasur untuk memungut pakaiannya yang berserakan. Raka tidak pernah terpikir, alasan pakaian miliknya sampai berserakan di atas lantai adalah karena dirinya telah bercinta dengan seorang wanita tadi malam. Pria itu hanya berpikir ia melepaskan seluruh pakaiannya adalah karena merasa gerah dan panas. Usai berpakaian, Raka memeriksa handphone miliknya dan mendapati beberapa pesan yang ia terima dari berbagai pengirim. Mulai dari Julian, Damar, Sena, Ranti hingga Bima—yang bekerja untuk ayahnya. Semua pesan yang Raka terima ia abaikan begitu saja. Tidak satu pun dari pesan itu ia baca. Pria itu hanya membuka kemudian menutup kotak pesan. Raka keluar dari kamar suite tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Pria itu hanya ingin segera pulang karena entah kenapa ia merasakan sesuatu yang tidak nyaman bergejolak dalam hatinya. “Sialan mereka! Bisa-bisanya mengerjai gue tadi malam,” erang Raka sangat kesal. Mengumpati Julian dan Damar yang telah mengerjainya. --- Mobil Raka melaju dengan kecepatan tinggi. Pria itu tidak peduli dengan pengendara lain yang akan bersumpah serapah kepadanya karena telah mengemudi dengan ugal-ugalan. Raka juga tidak peduli jika ia akan ditilang oleh polisi. Pria itu selalu berpikir, jika semua hal akan beres dengan uang dan kekuasaan yang ayahnya miliki. Hingga Raka telah tiba di kediaman mewah dan megah milik orangtuanya. Kediaman yang sebentar lagi akan berpindah kepemilikan kepadanya, Raka turun setelah memarkirkan mobil di dalam garasi. “Selamat pagi, Tuan muda,” sapa Pak Wahyu—Supir pribadi ibunda Raka. “Ya, selamat pagi, Pak,” sahut Raka kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Saat Raka menginjakkan kaki di ruang tengah, Imelda—ibunda Raka—memanggil putra semata wayangnya. Wanita paruh baya nan cantik itu meminta agar sang putra duduk di sampingnya. “Ada apa, Ma?” ujar Raka, memposisikan diri di samping Imelda. “Kamu habis dari mana saja?” tanya Imelda begitu lembut, mengusap punggung lebar sang anak. “Tadi malam Raka pergi ke pesta ulang tahun Julian, Ma,” sahut pria itu. Imelda menghela napas pelan, kemudian berkata, “Nak, kapan kamu akan berhenti bermain-main dan ikut bergabung dengan Papa di perusahaan? Usia kamu sudah tidak lagi muda, Sayang. Kamu harus berhenti bermain dan membuang waktu.” Raka menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Memberikan sebuah senyuman yang selalu sukses meluluhkan hati Imelda. Sebuah senyuman manja yang selalu menjadi senjata Raka ketika menghadapi ibunya yang memberikan ultimatum tentang masa depan. Imelda berdecak. Mencubit pelan lengan putranya. “Kamu ini, sangat tahu bagaimana meluluhkan hati Mama.” Imelda berujar, “Cepat kamu mandi sana. Seluruh badan kamu baunya sangat aneh.” Raka membaui tubuhnya yang Imelda katakan sangat aneh aroma nya. Ternyata memang benar, entah aroma apa yang telah melekat pada tubuhnya, yang jelas aroma tersebut sangat asing untuknya. Sekarang Raka telah berada di dalam kamar mandi yang berada di satu ruangan dengan kamarnya. Pria itu menghujani tubuhnya di bawah pancuran shower. Mengusap sabun untuk mengusir aroma asing pada tubuhnya itu. “Hhh ... segar banget,” seru Raka begitu menikmati mandi pagi yang terasa sangat nyaman untuknya. Cukup lama Raka membersihkan diri, pria itu telah selesai dan segera membalut bagian bawah tubuhnya dengan handuk. Berjalan keluar dari ruangan itu kemudian berpakaian. ‘Tring!’ Sebuah pesan masuk dari Dira. Raka menggelengkan kepala spontan usai membaca pesan masuk dari wanita itu. Wanita yang selalu menempeli Raka seperti lintah. Usai membaca pesan singkat dari Dira, Raka melempar ponsel miliknya ke atas kasur. Setelahnya ia juga melempar tubuhnya ke atas benda yang sangat empuk itu. Pria itu berniat untuk kembali berlayar ke alam mimpi. Namun, baru saja Raka memejamkan kedua mata, sekelebat bayangan kejadian tadi malam membuatnya mengerang sangat kesal. “Julian! Damar!” Raka menyerukan nama kedua temannya dengan begitu kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN