BAB 4

2222 Kata
Masa kini .... Merlin merasa sangat tidak nyaman berada di sini. Sejak ia resmi menyandang status sebagai menantu di keluarga Farhan Abimanyu, tidak ada satu orang pun yang dapat menerima kehadirannya. Semua sangat jelas, mulai dari bagaimana reaksi dan bagaimana cara mereka berbicara kepada wanita itu. Terlebih sang suami yang memperlakukannya seakan dia adalah wanita yang menjijikan sejak hari pertama mereka menikah. Berada di sini, Merlin sama sekali tidak mengharapkannya. Hanya saja semua ini ia lakukan demi sang jabang bayi yang saat ini bersemayam di dalam rahimnya. Semua Merlin lakukan agar anaknya mendapatkan keluarga yang utuh dan diakui oleh keluarga konglomerat ini. Karena Merlin sangat tahu, bagaimana rasanya hidup di bawah garis kemiskinan dan berjuang mati-matian untuk mendapatkan sedikit rupiah demi bertahan hidup. “Uhm, meski sekarang kamu adalah Istriku dan aku tidak tahu di dalam rahim kamu memang benar anakku atau bukan. Yang jelas, jika kamu berbohong tentang semua ini dan mempermainkan keluargaku, kamu tanggung sendiri akibatnya nanti.” Raka menatap Merlin dengan tajam. Pria itu duduk di atas ranjang yang berukuran king size, sedangkan yang menjadi lawan bicaranya itu hanya berdiri dengan kepala yang menunduk. Bukan seperti ini seharusnya yang didengar oleh seorang istri dari suaminya saat mereka baru saja resmi menjadi pengantin baru. Akan tetapi, memang apa yang bisa Merlin harapkan? Sebuah pernikahan yang bahagia kah? Jelas hal tersebut adalah hal yang paling mustahil Merlin dapatkan saat ini. Menikah tanpa adanya rasa cinta, memang siapa yang akan mendapatkan bahagia? Usai mengatakan sebuah kalimat yang tidak nyaman untuk didengar. Dengan merasa tidak bersalah sedikit pun Raka mengusir Merlin dari ruangan tersebut. “Kamu bisa pergi dari sini sekarang. Aku ingin istirahat,” ucapnya dengan nada suara dingin dan datar. Merlin mengangguk kemudian membuka langkah keluar dari ruangan kamar yang seukuran dengan rumahnya itu. Kekayaan keluarga Farhan Abimanyu memang tidak perlu diragukan lagi. Beberapa anak perusahaan dan kantor cabang mereka yang tersebar di mana-mana. Membuktikan betapa kaya raya keluarga itu. Merlin berjalan dengan gontai keluar dari kamar. Wanita itu bingung ingin ke mana dan melakukan apa. Beberapa hari berada di kediaman mewah ini, entah kenapa ia merasa sudah seribu tahun mendekam di sana. “Merlin ....” suara itu adalah milik Imelda. Wanita paruh baya itu memanggil Merlin untuk menghampirinya yang saat ini tengah duduk di ruang utama. Merlin membuka langkah menghampiri Imelda. “Ada apa, Bu?” ujarnya begitu sopan. Kedua mata Imelda membulat dengan sempurna. “Apa? Kamu bilang apa tadi? Heh, jangan pernah berpikir untuk memanggilku dengan sebutan itu. Panggil aku ‘Nyonya’ karena sampai kapan pun kamu tidak akan pernah diakui sebagai menantu di dalam keluarga ini,” balas Imelda dengan begitu tajam. Merlin meneguk saliva dengan berat. Kemudian menjawab, “Uhm, maafkan saya, Nyo..nya,” ujarnya kemudian. “Aku hanya ingin memberi tahu, di rumah ini kamu akan menggantikan Mbok Darmi melakukan tugasnya. Karena saat ini kamu masih bekerja, aku beri kamu waktu satu minggu untuk resign dari pekerjaan kamu itu.” “Ta..tapi, Nyonya. Saya harus bekerja untuk—” kalimat Merlin tertahan sebab Imelda dengan cepat memotongnya. “Untuk melunasi hutang-hutang ayah kamu, ‘kan?” tanya Imelda dengan tatapan meremehkan, “Kamu tenang saja. Kami sudah melunasi semua hutang kamu sejak kamu menandatangani surat perjanjian itu. Dan untuk membayarnya kembali, kamu hanya perlu bekerja untuk keluarga ini. Melayani kami seperti Mbok Darmi,” lanjutnya menjelaskan. Merlin merasa sangat terkejut mendengar berita ini. Entah ia harus merasa senang dan lega atau merasa sebaliknya. Di satu sisi semua hutang-hutangnya sudah dibayar lunas oleh keluarga Farhan Abimanyu. Namun di sisi lain, Merlin seakan menggadaikan dirinya pada keluarga konglomerat ini. Namun seperti yang sudah-sudah. Memang orang seperti Merlin bisa apa selain menerima semuanya? “Baik, Nyonya. Saya sangat berterima kasih atas kemurahan hati kalian,” sahutnya dengan getir. Berusaha untuk tegar meski saat ini hatinya sedang teriris. “Ya sudah, kebetulan hari ini Mbok Darmi belum belanja mingguan. Besok kamu pergi ke pasar dan belanja. Ini uangnya.” Imelda menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada Merlin, “Kamu ajak saja Mbok Darmi besok, jadi kamu tahu apa saja yang perlu dibeli dan tidak,” lanjutnya lagi. Merlin menerima lembaran uang yang diberikan Imelda kepadanya lalu pamit undur diri. Diliriknya jam yang menempel di ruangan itu, menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima. Entah di mana Merlin akan tidur malam ini. Ia telah diusir oleh Raka yang merupakan suaminya sendiri dari kamar mereka. Karena tidak ada tujuan di mana ia akan tidur malam ini. Merlin memilih untuk duduk di tepi kolam renang yang dihiasi cahaya lampu temaram. “Apa bedanya aku berada di sini dan di rumahku yang dulu? Keduanya sama-sama tidak membuatku merasa nyaman.” Suara lirih Merlin saat mengucapkan kalimat tersebut seakan bilah sembilu yang mencabik hatinya sendiri. Meski hatinya terasa sangat sakit luar biasa. Namun Merlin sama sekali tidak bisa meneteskan air matanya. Merlin lelah dan muak dengan takdir yang selalu mempermainkan dirinya. Hingga untuk menangis saja ia tidak memiliki daya upaya. Tenaganya sudah terkuras habis untuk meratapi bagaimana takdir sangat tidak adil atas hidupnya. Angin malam terus berhembus dengan kencang. Bahkan suara gemuruh guntur dan cahaya kilat sudah menghiasi langit yang hitam pekat. Malam ini akan hujan. Sama seperti hati Merlin yang sedang dirundung badai. ‘Jderrr!’ Suara petir yang begitu nyaring berhasil membuat Merlin beranjak dari duduknya dari tepi kolam renang. Hembusan angin malam yang terus bertiup seakan memberi tahu jika malam ini ia adalah penguasanya. Hingga kemudian, rintikan air hujan pun mulai turun membasahi bumi. Merlin memilih untuk masuk ke dalam rumah. Saat wanita itu masuk dengan mendekap erat tubuhnya sendiri, ia berpapasan dengan Mbok Darmi. Wanita tua itu menyapa Merlin dengan sangat ramah bahkan ia memberikan sebuah senyuman yang tulus untuk Merlin. “Malam, Non Merlin,” sapa Mbok Darmi. “Malam juga, Mbok,” balas Merlin tak kalah ramah, “Oh, iya Mbok. Besok saya akan berbelanja ke pasar. Bisa Mbok Darmi menemani saya? Karena saya tidak tahu apa yang harus dibeli dan tidak,” lanjutnya. “Loh, belanja ke pasar kan tugas Mbok, Non. Kenapa Non Merlin yang ingin melakukannya?” ujar wanita tua itu. Merlin tersenyum dengan lebar. “Mulai besok, saya yang akan mengambil alih tugas Mbok Darmi,” sahutnya. “Apa? Mbok tidak salah mendengar, Non?” Mbok Darmi memastikan jika ia tidak salah mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Merlin kepadanya. “Tidak, Mbok. Mulai besok saya yang akan melakukan semua pekerjaan Mbok Darmi. Hal itu atas kemauan saya sendiri, Mbok,” ujar Merlin berbohong. Tidak mungkin dirinya menjelekkan Imelda di depan Mbok Darmi, bukan? “Wah, jangan, Non! Apa Mbok akan dipecat?” ada sedikit kekhawatiran terselip pada diri Mbok Darmi. “Tidak, Mbok. Mbok Darmi tidak akan dipecat, hanya saja Mbok tidak harus bekerja dengan keras lagi seperti dahulu karena ada saya yang akan meringankan pekerjaan Mbok.” Merlin menjelaskan dengan pelan. “Oalaaah. Mbok pikir, Mbok akan dipecat. Tapi, Non—” “Maaf ya, Mbok. Saya harus potong pembicaraan ini. Sampai ketemu besok pagi ya, Mbok” Merlin menyanggah kalimat Mbok Darmi kemudian berjalan melalui wanita tua itu menuju ke kamarnya. Sesaat Merlin sudah berada di depan pintu kamar Raka. Wanita itu berpikir seribu kali terlebih dahulu untuk membuka daun pintu tersebut. Jujur, Merlin sangat takut Raka akan marah. Tapi jika tidak di dalam sini. Lalu di mana dia akan tidur? Dengan sangat hati-hati, Merlin membuka daun pintu kamar itu. Ketika daun pintu tersebut sudah terbuka setengah, lantas wanita itu segera masuk ke dalam kamar. Sesaat ia baru saja akan menutup pintu tersebut, suara Raka sudah menyambutnya dengan sangat tidak nyaman. “Heh ....” Lagi-lagi kalimat seperti itu yang keluar dari mulut Raka saat memanggil dirinya, membuat Merlin merasa sedikit kesal karenanya. “Uhm, namaku bukan ‘Heh’ jadi bisa kamu panggil dengan namaku saja?” Ini adalah kalimat terpanjang pertama yang keluar dari mulut Merlin sejak beberapa hari ia berada di sini. Karena selama ini mereka semua tidak membiarkan Merlin berbicara dengan kalimat yang panjang lebar. “Oke. Jadi, siapa namamu tadi? Aku melupakannya,” balas Raka dengan nada datar dan juga dingin. Kedua tangan Merlin bergetar sebab menahan agar emosinya tidak meluap keluar. Sungguh keterlaluan apa yang diperbuat oleh Raka dan juga ibunya—Imelda. Tidak bisakah mereka sedikit lebih menghargai seseorang? Bagaimana bisa Raka melupakan nama yang telah disebutnya saat hari pernikahan yang telah berlangsung beberapa hari yang lalu itu? “Merlin ...,” jawab Merlin memberi tahu namanya. Begitu singkat, tidak ada intro nada apa pun sama seperti yang dilakukan oleh Raka kepadanya. “Okay, Merlin. Jadi, apa yang kamu lakukan di kamarku?” tanya Raka yang masih duduk di atas kasur berukuran king size miliknya. “Aku akan tidur. Memangnya untuk apa lagi aku berada di sini?” balas Merlin berusaha untuk menepis sikap Raka yang menjengkelkan. “Apa? kamu ingin tidur di sini? Bersamaku? Hei, Jangan bermimpi kamu!” Raka membalas dengan jengkel. “Jadi, tolong beri tahu di mana aku harus tidur sekarang?” Merlin memberanikan diri untuk bertanya meski saat ini ia sangat kehilangan muka. “Terserah! Di mana pun! Asal jangan di kasur yang sama denganku,” balas Raka dengan begitu dingin. Merlin meneguk saliva dengan berat. Kedua matanya berkeliling menatap seisi kamar yang begitu luas ini. Tidak masalah jika ia tidak tidur dengan nyaman di atas kasur. Lagi pula, Merlin juga tidak ingin berada di satu kasur yang sama dengan Pria asing itu. Ya, memang mereka adalah sepasang suami istri sekarang. Namun, jika dilihat bagaimana hubungan mereka saat ini dan bagaimana hubungan pernikahan itu terjadi. Apa bedanya mereka dengan sepasang orang asing? “Uhm, kalau begitu. Boleh aku tidur di situ?” Merlin menunjuk sofa bed yang berada di samping kasur Raka. Tangan Raka mengikuti ke mana arah tangan wanita yang merupakan istrinya itu menunjuk. Sejenak Raka hanya berpikir. Apakah ia akan mengizinkan wanita itu untuk tidur di sana atau tidak. “Oke, kamu boleh tidur di sana.” Memberikan izin kepada Merlin untuk tidur di sana adalah bentuk rasa kemanusiaan dari Raka untuk Merlin. Pria itu berpikir, bagaimana jika memang benar di dalam rahim wanita itu adalah benih keturunan darinya yang sedang bersemayam di dalam sana. Maka dari itu, setidaknya hal itu adalah yang terbaik yang bisa Raka lakukan sekarang. *** Suara rintik hujan dan gemuruh guntur terdengar sangat gaduh di luar sana. Hawa dingin dari turunnya hujan malam ini berpadu dengan udara dingin yang dihasilkan oleh air conditioner yang saat ini menunjukkan angka 20 derajat celcius. Merlin terus mendekap tubuhnya yang saat ini menggigil kedinginan. Tidur dalam keadaan tanpa selimut saat udara dingin seperti ini, Merlin benar-benar tidak terbiasa. Kedua mata wanita itu terbuka dengan spontan. Diliriknya ke samping, di mana Raka tengah tertidur dengan sangat pulas. “Hhh ... nyaman sekali dia tidur di bawah balutan selimut yang tebal itu. Sedangkan aku di sini menggigil kedinginan,” lirih Merlin seraya mengusap perutnya, “Jika saja bukan karena kamu, Nak. Mama tidak akan pernah ingin berada di kediaman ini bersama dengan mereka.” Merlin terus gelisah. Semakin ia merasakan hawa dingin itu semakin ia menggigil sekarang. Diturunkannya kedua kakinya dari atas sofa bed. Lalu berjalan menuju lemari pakaian Raka, barangkali di dalam sana ada selimut untuknya. Baru saja Merlin akan membuka pintu lemari pakaian suaminya itu. Suara datar Raka mengejutkannya. “Apa yang kamu lakukan? Astaga, baru beberapa hari kamu di sini dan kamu sudah berani untuk mencuri, huh?” cecar Raka menuduh Merlin. Tentu saja Merlin tidak terima dituduh seperti itu. Dengan cepat ia berniat untuk menyanggahnya namun Raka kembali bersuara dan tiba-tiba beranjak turun dari ranjangnya. Menangkap lengan Merlin kemudian mencengkeramnya dengan kuat. Raka membuat jarak mereka sangat tipis sekarang. “Cepat letakkan barang apa saja yang sudah kamu ambil dari dalam lemari itu,” ucap Raka dengan penuh penekanan. Merlin meringis kesakitan sebab cengkeraman tangan Raka sangat kuat. “Tolong ... lepaskan terlebih dahulu,” mohon nya. Bukannya melepaskan cengkeraman itu, Raka malah semakin mengeratkan nya. “Kamu ingin aku melepaskan tanganku? Kembalikan dulu barang yang sudah kamu ambil dari dalam lemari ini.” Raka masih berujar dengan topik yang sama. Merlin menggeleng kuat. “Sungguh, aku tidak mengambil apa pun. Aku berniat mencari selimut karena aku sangat kedinginan. Aku bahkan belum membuka lemari ini,” balasnya sungguh – sungguh. Raka berdecih pelan. “Kamu pikir aku akan percaya begitu saja? Cepat berikan apa yang sudah kamu ambil!” Raka bersikeras. “Aku benar-benar tidak mengambil barang apa pun. Tolong percayalah,” mohon Merlin mengiba. “Buka pakaian kamu!” Sesaat Merlin tersentak kaget mendengar kalimat Raka yang menyuruhnya untuk membuka pakaian. “Apa? Tapi, untuk apa? Aku tidak mau!” Merlin menolak cepat. “Kamu pasti menyembunyikan barang itu di dalam pakaian kamu. Maka dari itu, buka pakaian kamu sekarang!” suara Raka yang penuh penekanan dan memaksa itu membuat kedua mata Merlin terasa panas. Wanita itu hendak menangis sekarang. Diintimidasi dan tidak dipercayai seperti ini, membuat Merlin benar-benar tidak memiliki pilihan selain menuruti perintah dari Raka. “Oke, aku akan membuka pakaianku sekarang. Akan aku buktikan bahwa aku tidak mengambil barang apa pun dari lemari ini.” Dengan kedua mata yang dipenuhi genangan air mata, Merlin segera melucuti pakaiannya di hadapan Raka. Hingga saat ini keadaan wanita itu benar-benar polos tanpa adanya sehelai benang pun membalut tubuhnya. Air mata menetes bersamaan dengan ia menurunkan pakaian tersebut ke atas lantai. “Kamu merasa puas sekarang?” tanya Merlin dengan suara getir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN