Masalah Karena si 'Om'

1042 Kata
Author POV Jeni duduk diam disamping Juan yang fokus dengan jalanan dihadapannya, tak ada diantara mereka yang sejak tadi berinisiatif memulai pembicaraan. "Situ gak bakal nemuin aku lagikan?" Jeni menghembuskan nafas lelah melirik Juan. "Kenapa memangnya?" "Ya.. Emang mau lanjut ketemuan denganku?" Jeni menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil, dia bicara lambat. "Apa salahnya?" Juan menjawab cuek tak melirik Jeni sedikitpun. "Aduh om! Aku mohon, jangan memperibet ini semua!" Jeni bangkit dari kegontaiannya karena sudah begitu geram. "Jangan panggil saya om!" "Emang pantesnya di panggil om! Emang gak kesel apa ngadapin aku?? Aku tahu om pasti sibuk, jadi gak usah habisin waktu untuk hal gila ini. Aku mohon!!" dan Jeni sudah tak bisa meredam kekesalannya, ia ingin mengeluarkan segala sesuatu yang membuatnya sakit hati. "Saya hanya menjalankan apa yang ayah kamu minta," Juan tampak tak terpengaruh dengan aksi Jeni yang bicara penuh emosi, ia masih bersikap normal. "Huhuhu! Tapi aku gak mau sama om-om, huaaaa!! Ayah jahaaat! Emang om gak malu apa dijodohin sama anak muda?!" Jeni meronta-ronta asal yang membuat Juan menyempatkan juga untuk melihat manusia di sampingnya. "Saya belum setua itu untuk malu. Kamu salah jika memanggil saya dengan sebutan om," jelas Juan sambil sekilas tertawa ringan, sedangkan Jeni masih stres seperti akan bunuh diri. "Aku gak peduli! Om itu kayak bodyguard! Huaaaa!! Intinya aku gak mau dijodohin. Aku mohon om..nyerah aja, jangan mau disuruh ketemu aku lagiiii," Jeni memohon sambil menguncang-nguncang lengan Juan. "Berhenti menarik lengan saya!" tegur Juan karena Jeni yang semakin kuat menarik-narik tangannya yang sedang mengemudi, ini tentu membahayakan. "Om aku mohon..emang aku pernah salah apasih sama om sampai om segini jahatnya padaku?" rengek Jeni berlanjut tak menghiraukan teguran Juan. "Berhenti! Atau saya minta ayah kamu untuk segera menikahkan kita!?" "Om gila ya!???!!!!" teriak Jeni segera melepaskan tangannya dari Juan. Dia sungguh dibuat gila seutuhnya oleh Juan malam ini. Juan hanya tersenyum miring melihat Jeni yang makin frustasi, "Ini tampak menarik," * "Jangan manpir!" celetuk Jeni jutek saat mereka sudah sampai dirumahnya. "Siapa yang niat mampir?" balas Juan cuek menunggu Jeni yang sedang mengambil tasnya bersiap keluar. "Argh! Menyebalkan!!" rutuk Jeni sesegera mungkin membuka pintu mobil dan membantingnya keras. Jeni kaget saat baru keluar mendapati ayahnya yang mendekat, oh!bukan mendekat pada Jeni, ia malah mencari Juan. "Sudah sampai? Ayo kamu turun dulu," panggil ayah tanpa mengacuhkan Jeni. "Ayah!" ujar Jeni kesal. "Tidak usah pak," tolak Juan membuka jendela mobil. "Ah, ayolah..sudah lama kita tidak bertemu," ayah makin memaksa Juan. Juanpun tersenyum dan mengangguk, melihat itu tentu semakin membuat Jeni geram, dengan kesal ia masuk duluan ke rumah. Ayah dan Juan tampak masuk dengan tenang sambil mengobrol ringan dan duduk di ruang tamu, menyadari itu ibu langsung mencegat Jeni yang tampak ingin masuk ke kamar. "Eh kok langsung masuk? Gak sopan, kamu kasih Juan minum dulu," "Ah ibu, aku capeeeeeek," rengek Jeni sambil mengacak-acak rambutnya. "Udah gak usah ngelak, pergi ke dapur!" "Huhuhuhu.." Jeni tak bisa lagi menolak, ia berjalan ke dapur sambil merungut dan ingin menangis dengan nasibnya sendiri. Selang beberapa lama, Jeni datang juga dengan segelas air putih dan meletakkannya di depan Juan. "Air putih?" ibu kaget melihat apa yang diberikan Jeni. "Lebih sehat, lagian tadi juga baru minum," jawab Jeni datar ingin pergi lagi, namun ditahan oleh ibu. Ayah hanya geleng-geleng dan kembali mengajak bicara Juan bicara, "Gimana tadi?" Sebelum menjawab Juan menyempatkan diri melihat Jeni sekilas, "Berjalan baik, tidak ada masalah," Jeni langsung melotot mendengar jawaban Juan, bagaimana bisa ia bisa berpikir pertemuan tadi berjalan baik? "Benarkah?" ayah seolah tak percaya, "Bagaimana bisa??" Juan hanya tertawa ringan dan Jeni menggontai lemas. "Sudah lumayan lama kita tidak bertemu ya?" "Hm..benar juga sih pak, saya akhir-akhir ini sering berada diluar kota," "Ah, jangan panggil bapak disaat seperti ini," "Oh, iya om," "Heleh, om om manggil om," celetuk Jeni pelan meledek yang langsung diikuti cubitan dari ibu. "Om gak percaya tadi ini kamu, kamu pakai brewok sekarang, terlihat menjadi lebih tua, hahaha," canda ayah yang juga dibalas tawa oleh Juan. "Emang tua juga," Jeni masih tak henti-hentinya bicara sendiri, ia tak peduli dengan pandangan tajam ibu yang mendengarkannya. Juan mengusap pelan dagunya, "Benarkah? Saya tak sempat cukuran, saya juga baru tadi sore balik kesini," jelas Juan. "Oh? Maaf, om tidak tahu kamu baru pulang, pasti kamu masih lelah. Waktu istirahatmu harus tersita menemui Jeni. Jeni tidak membuatmu makin capekkan?" ayah kembali melirik Jeni yang tampak duduk tidak tenang, anaknya jelas-jelas melihatkan kalau ia sedang tidak senang. "Tidak terlalu. Uhm..maaf om saya mesti pulang, ini sudah malam," Juan meminta izin untuk pamit. Ayah langsung bangkit dengan cepat dari duduknya, ia paham jika Juan sebenarnya sedang kelelahan, "Baiklah, terima kasih kamu nyempetin mampir," "Memang sudah seharusnya," Dan mereka berjalan keluar mengantarkan Juan, kecuali Jeni. Jeni sudah terlalu lelah karena tekanan batin malam ini. Setelah beberapa saat, ayah dan ibu masuk dan mendapati Jeni yang sedang berbaring asal diatas sofa. "Kamu kenapa gak antar Juan kedepan?" tanya ayah kembali duduk di sofa. "Males!" "Tumben pertemuan kali ini kamu yang letoy, bukan si cowoknya?" goda ayah pada Jeni yang masih tengkurap di depannya. Mendadak Jeni bangkit dengan wajah kesal menatap ayah, "Itu anak temen ayah yang mana sih modelnya macam gitu!?" "Siapa bilang itu anak temen ayah?" "Terus anak siapa? Anak tukang bubur??" "Itu rekan kerja ayah," "What!!!????" Jeni melotot kaget, "Pantesan om om! Ayah gila apa ya ngejodohin anak cewek satu-satunya sama om om??" "Om om apanya? Kelewatan kamu," "Udah keliatan tuanya gitu, aku gak mau!!" Jeni kembali merengek sambil memukul-mukul bantal di pahanya. "Oh.... Jadi, ceritanya kamu kalah.., ingat perjanjian kita kan?" goda ayah menyenderkan tubuhnya ke sofa dan menatap Jeni seraya tertawa. "Bukan kalah! Hanya saja..... Ah ayah! Ini masalah di cowoknya, emang ayah tega apa ngebiarin aku sama om-om!?" Jeni begitu bingung harus bagaimana cara mengungkapkan pemikirannya kepada ayah. "Kenapa tega?? Ayah kenal baik siapa itu Juan, lagian dia gak pantas kamu panggil om," jelas ayah berusaha memberi pemahaman pada Jeni. Ibu mengangguk mengamini ucapan ayah, "Iya.. Kamu bikin malu aja, kok manggilnya om? Panggil mas kek, abang kek, kakak kek, atau sayang kek," "Panggil kakek lebih pantas, hahahaha. Panggil sayang!? Ueekkk!! Ogah ah!" "Sekarang bisa ngomong begitu, nanti kepincut baru tahu rasa!" ibu mencoba memperingatkan Jeni yang seolah meledek Juan. "Gak bakal!" "Kamu bisa ngomong sekarang," ledek ayah lagi yang hanya dibalas tatapan sinis oleh Jeni
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN