Mirza terdiam beberapa saat, lalu menjawab dengan suara pelan, tapi mantap, “Baik. Kalau itu keputusanmu, aku akan bantu. Tapi kamu harus bersiap, ini tidak akan mudah.”
Jayne menatap cermin sekali lagi. “Aku sudah hidup dalam ‘tidak mudah’ selama bertahun-tahun. Sekarang saatnya aku yang memilih.”
Setelah menutup telepon, Jayne mengenakan jaket tipis, menyamarkan luka di wajah dengan kacamata hitam besar, dan keluar dari rumah diam-diam menggunakan mobil pribadinya di garasi bawah. Ia pergi ke sebuah rumah sakit swasta yang tidak dikenal publik, meminta layanan pribadi.
Dokter wanita yang menanganinya terkejut saat melihat luka-luka di tubuh Jayne. Tapi Jayne hanya tersenyum tipis dan menjawab singkat, “Saya hanya butuh pemeriksaan dan visum. Dokumennya mohon disimpan rapi … untuk jaga-jaga.”
Hasil visum itu kini tersimpan rapi di laci kecil dalam kamar rahasia Jayne—sebuah ruang kecil di belakang lemari pakaian yang dulu ia desain sendiri sebagai tempat membaca dan menulis. Sekarang, ruangan itu menjadi tempat persembunyian kecil … dan pusat rencananya untuk bebas.
Jayne belum tahu kapan tepatnya ia akan bicara. Tapi malam ini telah menanam benih keberanian di dadanya. Luka di pelipisnya mungkin akan sembuh, tapi luka di hati Ranu akan terus tumbuh jika ia tidak melakukan sesuatu.
Dan Jayne … akhirnya memilih.
***
Beberapa hari kemudian, surat gugatan perceraian itu akhirnya selesai.
Jayne menatap amplop cokelat di tangannya dengan tatapan kosong. Jemarinya bergetar, bukan karena ragu, melainkan karena terlalu banyak emosi yang bercampur: takut, lega, marah, sedih, dan di atas segalanya … perasaan bebas yang perlahan tumbuh.
Ia tidak sanggup mengambil berkas itu langsung ke pengacara pribadi keluarganya, Mirza. Bukan karena ia tak percaya, tapi karena luka lebam di pipi kanan dan pelipis kirinya belum sepenuhnya pudar. Ia tidak ingin membuat segalanya jadi lebih rumit—tidak ingin simpati atau kemarahan orang lain mengaburkan jalur hukum yang ia pilih sendiri dengan sadar.
Jadi, ia minta staf Mirza yang mengantar. Seorang wanita muda bernama Lina, sopan, tenang, dan tidak banyak tanya.
"Apakah surat ini ingin Ibu Jayne sampaikan langsung ke pihak keluarga Raksadipura?" tanya Lina pelan saat mereka bertemu di kafe kecil di pinggiran kota.
Jayne mengangguk pelan. Wajahnya tertutup kacamata hitam besar, dan make up tebal menyamarkan bekas kekerasan yang belum hilang sempurna.
"Ya," jawabnya pelan. "Saya akan sampaikan sendiri."
Pagi itu langit mendung. Awan menggantung kelabu, seakan mencerminkan suasana hati Jayne saat ia turun dari mobil di halaman megah rumah keluarga Raksadipura.
Ia melangkah masuk tanpa ditemani siapa pun. Gaun panjang berwarna gelap menutupi tubuhnya yang masih lemah, dan wajahnya tersaput foundation yang tebal namun tetap anggun. Ia tahu, tempat ini tidak akan menyambutnya dengan hangat. Tapi ia tidak datang untuk disambut. Ia datang untuk menyampaikan keputusan.
Ia berdiri di tengah ruang keluarga yang sunyi. Hanya detak jam dinding tua yang terdengar, pelan tapi menusuk.
Di atas meja kaca, ia meletakkan tumpukan map cokelat berisi berkas yang sudah ia siapkan sendiri—permohonan cerai, hasil visum yang belum ia tunjukkan pada siapa pun, bukti kekerasan verbal Reno yang diam-diam ia rekam selama berbulan-bulan, dan pernyataan pribadi tentang hak asuh Ranu.
Langkah Jayne mungkin mantap, tapi hatinya tetap bergetar. Ia tidak pernah membayangkan akan mengakhiri pernikahan yang dulu ia pertahankan mati-matian. Tapi ia tahu satu hal pasti: bertahan hanya demi terlihat utuh di mata dunia bukan lagi pilihan yang layak.
"Jayne," suara berat itu memecah kesunyian.
Ayah mertuanya, Gatot Raksadipura, muncul dari balik koridor dengan langkah mantap dan wajah mengeras. Di belakangnya, Rahmi—ibu mertua Jayne—mengikut dengan tatapan tajam dan bibir terkatup rapat, wajahnya merah oleh amarah.
"Kamu serius?" tanya Gatot langsung, tanpa basa-basi. Suaranya menekan, dingin. “Cerai? Setelah semua yang keluarga kami berikan padamu?”
Jayne berdiri tenang. Pandangannya tidak gentar, meski tubuhnya masih terasa rapuh.
“Saya tidak pernah minta apa pun dari keluarga ini, Pa,” jawabnya pelan tapi tegas. “Saya menikahi Mas Reno karena saya mencintainya. Tapi dia bukan lagi pria yang sama.”
Gatot mengepalkan tangan. “Semua rumah tangga pasti ada naik turunnya. Itu bukan alasan untuk menyerah.”
Belum sempat Jayne menjawab, Rahmi menyela dengan nada tajam, "Kamu terlalu manja. Reno cuma keras kepala sedikit, bukan berarti kamu harus gembar-gembor ke pengadilan!”
Jayne memejamkan mata sejenak. Menenangkan diri.
“Dia bukan cuma keras kepala, Bu. Dia mabuk. Berkata kasar hampir tiap malam. Menghancurkan barang. Memukul. Bukan hanya sekali dua kali. Dan Ranu ... melihat semuanya. Anak saya mulai meniru cara bicaranya. Dia menirukan bentakan. Meniru ancaman. Saya tidak mau anak saya tumbuh seperti itu.”
Rahmi membelalakkan mata. “Kamu membesarkan masalah!”
“Tidak,” Jayne menatapnya lurus. “Justru selama ini saya mengecilkannya. Menyembunyikan. Membungkam diri. Tapi sekarang saya sadar, diam saya menyakiti anak saya.”
“Ranu tetap darah kami juga!” bentak Gatot. “Kamu enggak bisa seenaknya bawa dia pergi!”
Jayne berdiri tegak, membiarkan diri diselimuti keheningan beberapa detik sebelum menjawab.
“Saya datang ke sini bukan untuk minta izin. Saya datang untuk memberi tahu. Hari ini saya resmi mengajukan gugatan cerai. Dan saya akan memperjuangkan hak asuh penuh atas Ranu.”
Seisi ruangan terasa membeku.
Rahmi mulai menangis, bukan karena duka, tapi karena merasa harga diri keluarga mereka diinjak. Gatot memandangi Jayne seolah ingin menelan keberanian itu bulat-bulat. Tapi Jayne tidak lagi menunduk. Matanya tidak lagi penuh air. Ia tidak datang sebagai korban.
Ia datang sebagai seorang ibu. Dan sebagai seorang wanita yang memutuskan menyelamatkan dirinya sendiri.
“Silakan kalau mau perlawanan hukum, Pa,” tambah Jayne. “Saya tidak takut lagi. Saya sudah cukup lama membungkam diri. Dan sekarang ... saya akan bicara.”
Jayne membalikkan badan, melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang.
Di luar, angin dingin meniup ujung gaunnya. Langit mendung masih menggantung, tapi ada sedikit cahaya di ujung sana.
Dan di dalam d**a Jayne, untuk pertama kalinya dalam enam tahun terakhir, ada sesuatu yang terasa seperti ... napas yang lepas.
Kebebasan.
***
Tak lama setelah percakapan sengit dengan Gatot dan Rahmi di ruang keluarga, Jayne berjalan keluar. Langkahnya perlahan tapi mantap. Ia tidak ingin siapapun melihatnya gemetar, tidak ingin orang lain melihat air matanya jatuh lagi. Hari ini, ia harus tetap berdiri. Sekalipun dalam hati ia sudah lama hancur.
Tapi langkah Jayne terhenti begitu ia mendengar suara pintu kamar terbuka di belakangnya.
Reno muncul—dengan wajah kusut, rambut acak-acakan, dan tubuh masih diselimuti aroma alkohol sisa malam. Kaosnya kusut, matanya merah, dan tatapannya kosong seperti pria yang baru bangun dari tidur panjang tanpa arah.