Meski Zaviya sempat terpesona dengan ketampanan pria yang dijodohkan dengannya tapi dia pandai menutupi dan tetap bersikap seolah tidak ingin dijodohkan.
Jadi ketika papa Arjuna dan ayah Archio meminta dia dan Svarga pindah meja agar bisa ngobrol dan saling mengenal, Zaviya hanya diam sambil menunduk menikmati makan malamnya.
Di sisi lain Svarga memiliki tugas untuk membuat gadis di depannya ini mau menikah dengannya demi membuktikan kalau dia bukan penyuka sesama jenis.
Demi Tuhan, hal ini membuatnya pusing tujuh keliling.
Lebih baik Svarga ditempatkan di perusahaan yang nyaris bangkrut untuk dia kelola agar kembali bangkit dan lebih maju dari pada bicara dengan perempuan yang keinginannya susah ditebak.
Zaviya mendongak menatap Svarga yang ternyata sedang menatapnya.
Zaviya bisa menilai kalau Svarga bukan menikmati kecantikan parasnya namun tatapan pria itu seperti sedang berpikir.
“Ada sesuatu di wajahku?” Zaviya tidak tahan untuk tidak bertanya.
Svarga menggelengkan kepalanya.
“Terus kenapa liatin aku kaya gitu?” Zaviya memprotes galak tapi dengan cara paling menggemaskan.
Svarga menggelengkan kepalanya lagi.
“Kamu bisa bicara? Kamu ngerti bahasa Indonesia enggak?” Zaviya bertanya sambil menelengkan kepalanya dan mata yang menatap fokus wajah pria tampan yang seperti gagu itu.
Svarga menganggukan kepalanya pelan tanpa suara dengan tatapan sinis.
“Ini cewek berisik banget.” Svarga membatin.
“Terus kenapa dari tadi angguk sama geleng kepala terus?”
Dan Svarga tetap bungkam masih menatap lekat Zaviya.
“Kamu memang ganteng, tapi aku enggak mau ah kalau gagu … pacar aku enggak seganteng kamu tapi bisa ngomong ….” Zaviya menjeda untuk melihat reaksi Svarga yang masih seperti tadi.
“Tadi ayah aku sama papa kamu nyuruh kita ngobrol, kan?”
Sekarang Svarga merespon dengan mengangkat kedua alisnya, memberi kesan kalau dia malas mendengar celotehan Zaviya.
Kalau bukan untuk membuktikan dia bukan penyuka sesama jenis kepada sang papa, mungkin dia sudah pergi meninggalkan Zaviya agar bicara sendiri.
“Kalau ngobrol itu dua arah, kalau satu arah namanya khotbah, kalau banyak arah namanya ghibah … ini aku kaya khotbah dari tadi ngomong tapi kamunya malah ngangguk sama geleng kepala doank.” Wajah Zaviya memberengut.
“Sorry … aku enggak tahu mau ngomong apa.”
Bingo!
Pancingan Zaviya berhasil, sengaja pura-pura marah untuk membuat si tampan Svarga bereaksi.
Dan akhirnya Svarga mengeluarkan suara beratnya juga.
Duh, suaranya membuat bulu kuduk Zaviya merinding.
“Kita dijodohin, menurut kamu gimana?” Zaviya melontarkan pertanyaan lagi.
“Gimana … gimana maksudnya?” Svarga malah balas bertanya.
“Ya Tuhaaaaaaan, Zaviya bisa kena darah tinggi kalau kaya gini terus.” Zaviya menggeram di dalam hati.
“Kamu terima perjodohan ini?” Zaviya melontarkan pertanyaan lagi.
Semestinya Svarga yang bertanya sebagai pihak yang melamar Zaviya tapi malah Zaviya yang bertanya kepada Svarga.
Dan Svarga hanya memberikan anggukan kepala.
“Kamu?” Svarga balas bertanya.
“Aku pikir-pikir dulu.” Zaviya jual mahal.
Walaupun hati kecil Zaviya memuja ketampanan Svarga tapi dia harus berlagak tidak tertarik dengan Svarga.
“Sampai kapan?” Setelah lama mereka diam, Svarga bersuara lagi.
“Apanya?” Kening Zaviya mengerut dalam.
“Kamu … mikirnya sampai kapan?” Svarga bertanya lebih jelas.
“Enggak tahu … aku punya pacar, pacar aku udah ngelamar aku dan aku bilang ‘iya’ … aku harus bilang sama pacar aku duku kalau aku harus nikah sama kamu karena dijodohin.”
Svarga mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Ribet!” Hati kecilnya mengeluh.
“Tapi kamu mau?” Svarga bertanya lagi.
“Mau apa?” Zaviya balas bertanya sambil menghentakan kaki dan wajah mengerut karena gemas—Svarga bertanya sepotong-sepotong.
“Mau dijodohkan … menikah denganku?” Raut wajah Svarga serius sekali seakan membuat Zaviya menerima perjodohan ini adalah target perusahaan yang harus dia capai tahun ini.
“Apa?” Zaviya bertanya pura-pura tidak mendengar apa yang Svarga sampaikan.
“Apa kamu mau menikah denganku?” Svarga bertanya lagi kini dalam satu kalimat lebih jelas.
“Budek apa ya nih cewek?” Svarga mengumpat di dalam hati.
“Boleh,” kata Zaviya kemudian tersenyum dan Svarga baru sadar kalau dia sedang dijebak oleh Zaviya agar mengucapkan kalimat untuk melamarnya.
“Licik!” Hati Svarga kembali mengumpat.
“Kalau mau cepet, kamu harus ngomong sama pacar aku … minta aku sama dia.” Zaviya mencetuskan ide gila.
“Apa-apaan lagi ini?” Svarga kembali mengeluh di dalam hati.
Dia lebih sering bicara di dalam hati dari pada di dunia nyata.
“Kamu selesaikan dulu urusan kamu sama pacar kamu itu.” Svarga sedang menolak ide gila Zaviya.
“Oke … tapi aku butuh waktu.” Zaviya sedang berdrama.
“Berapa lama?” Svarga butuh kepastian.
“Satu atau mungkin dua tahun.” Zaviya menjawab kelewat santai.
Svarga membuang tatapan ke arah lain agar Zaviya tidak melihat ekspresi kesalnya.
Zaviya melanjutkan makan malam dengan tenang tidak peduli bila Svarga sedang kesal setengah mati.
Dia juga tidak membahas apapun lagi hingga makan malam itu selesai.
Zaviya ingin melihat kesungguhan Svarga untuk menjadikannya seorang istri meski sesungguhnya dia yang jatuh cinta lebih dulu karena ketampanan pria itu.
Dia lupa dengan Argo, alasan kabur ke Jakarta adalah karena tidak ingin dijodohkan dan untuk mempertahankan cintanya kepada Argo
Tapi Argonya sendiri tidak ada action saat Zaviya memberitahunya kalau dia telah dijodohkan.
Pria itu bahkan tidak menghubunginya selama Zaviya di Jakarta, padahal Zaviya sudah berharap banyak ketika Argo berani melamarnya di depan seluruh keluarga.
“Baik kalau begitu, kita akhiri blind date kali ini … selanjutnya kalian bisa komunikasi secara langsung ya,” kata papa Arjuna yang tampak puas dengan pertemuan malam ini.
Tidak terlihat penolakan dari Zaviya karena raut wajahnya sekarang tidak semasam ketika dia baru datang tadi.
Mungkin ketampanan Svarga telah mengalihkan dunianya.
Papa Arjuna merasa bangga di dalam hati.
“Sudah bertukar nomor ponsel dengan Svarga?” Ayah Archio bertanya pada putrinya.
“Belum.” Zaviya menggelengkan kepala.
“Kasih nomor ponsel kamu donk, Svarga.” Papa Arjuna terdengar kecewa.
Svarga merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel, mengotak-ngatik sebentar lantas mengarahkan layarnya yang menampilkan kode QR untuk ponsel Zaviya scan.
Sepersekian detik saja mereka sudah bertukar nomor ponsel dalam aplikasi pesan.
“Oke … sampai nanti Zaviya.” Dan papa Arjuna memberikan anggukan kepala bersama senyum penuh makna kepada ayah Archio.
“Sampai ketemu lagi om Juna.” Zaviya membalas.
“Om Archi.” Svarga pamit, kepalanya menunduk sedikit tanda hormat.
“Ya … hati-hati Svarga.” Ayah Archio mengangkat tangannya.
Svarga menatap Zaviya yang kebetulan sedang menatapnya tanpa senyum tidak seperti ketika membalas salam perpisahan dari papa Arjuna barusan.
Pria itu lantas pergi tanpa sepatah katapun sementara ayah Archio dan Zaviya naik ke dalam mobil MPV Premium yang sudah terparkir di depan mereka.
***
“Menurut kamu, Svarga gimana?” Ayah Archio meminta pendapat Zaviya.
“Enggak gimana-gimana.” Zaviya menjawab acuh tak acuh.
“Kamu suka enggak sama dia? Menurut kamu ganteng enggak?”
Zaviya mengembuskan napas panjang menunjukan kalau dia malas membahas hal ini, dia harus terlihat tidak antusias agar ayah tidak merasa menang telah memisahkannya dengan Argo.
“Ganteng sih … tapi gagu, enggak banyak ngomong dan sekalinya ngomong pendek-pendek … Zaviya ‘kan enggak ngerti, Yah.”
Ayah Archio tergelak. “Nanti seiring berjalannya waktu juga dia akan berubah … yang penting kamu suka dulu sama dia.”
Zaviya mengalihkan tatapnya ke depan.
“Zaviya minta waktu ya, Yah … Zaviya harus ngobrol dulu sama mas Argo … Mas Argo ‘kan saudara kita … sepupu dekat Zaviya jadi Zaviya harus pelan-pelan ngomongnya sama dia kecuali kalau Svarga mau bantuin ngomong sama mas Argo.”
“Ngomong gimana? Nanti Ayah aja yang ngomong sama Argo.”
“Yaaaah, ini urusan kami … Ayah jangan ikut campur … mas Argo enggak jahat … dia mencintai Zaviya tulus … dia juga ingin membahagiakan Zaviya … jadi kalau Svarga bisa ngomong sama mas Argo dan berjanji akan membahagiakan Zaviya … mungkin mas Argo bisa tenang.”
Ayah Archio menatap malas Zaviya. “Bilang aja kamu enggak ada nyali mutusin Argo.”
“Bukan enggak ada nyali, Yah … Zaviya enggak enak hati sama mas Argo, Zaviya sayang sama dia karena dia sayang banget sama Zaviya … dia memperlakukan Zaviya seperti Ratu, dia selalu bisa mengerti Zaviya, dia akan mengusahakan apapun yang Zaviya inginkan hanya satu yang enggak berani dia lakukan demi Zaviya ….” Zaviya menjeda.
“Apa?”
“Mengecewakan Ayah … dia enggak mau mengecewakan Ayah … dia udah menduga kalau ayah enggak merestui hubungan kami.” Zaviya melanjutkan.
Ayah Archio tersenyum, tangannya mengusap kepala Zaviya lembut.
“Jelas saja dia menduga kalau Ayah enggak akan merestui hubungan kalian … karena Ayah tahu bagaimana dia memperlakukan karyawan perempuan di kantor.” Ayah Archio hanya bisa mengatakannya di dalam hati karena tidak ingin melukai perasaan Zaviya yang kadung percaya kalau Argo benar mencintainya.
Sama halnya dengan ayah Archio dan Zaviya yang sedang membahas blind date barusan, di mobil Svarga pun—papa Arjuna meminta pendapat tentang Zaviya.
“Dia berisik mungkin itu kenapa telinganya kurang dengar …,” jawab Svarga meski dia tahu kalau Zaviya bukan kurang dengar tapi hanya ingin menjebaknya saja.
Papa Arjuna tergelak. “Tapi Cantikan?”
Svarga malas menjawab.
“Menurut papa dia yang berisik cocok untuk kamu yang pendiam … kalian akan saling melengkapi.”
Svarga merotasi bola matanya.
“Jadi bagaimana? Kamu udah bisa membuatnya menerima lamaran kamu?”
“Kenapa Papa enggak bertanya apa aku bersedia dijodohkan dengan dia?” Svarga tidak percaya kalau sang papa tidak peduli sama sekali dengan perasaannya.
“Kalau kamu pasti nurut apa kata Papa ‘kan? Papa tahu yang terbaik untuk kamu Svarga.”
Kalimat klise yang sering dikatakan orang tua untuk memaksa anaknya melakukan apa yang mereka inginkan.
Tapi menolak Zaviya dengan mencari perempuan lain pun—Svarga belum tentu bisa mendapatkannya dalam waktu dekat apalagi kalau harus kawin kontrak seperti kakak sepupunya.
Dia beruntung bila mendapatkan perempuan yang juga mencintainya dengan tulus seperti yang terjadi dengan kakak sepupunya tapi bagaimana kalau yang dia ajak kawin kontrak hanya ingin memerasnya saja?
Mama Kejora pasti akan masuk rumah sakit karena serangan jantung.
Sedangkan Zaviya adalah pilihan papa, beliau pasti sudah yakin dengan keputusannya memilih Zaviya.
Dan bila ternyata keputusan papa salah, maka papa yang akan menanggung akibatnya.
“Kamu cuma punya waktu seminggu untuk membuat Zaviya say yes.” Papa Arjuna memberi ultimatum.
“Enggak bisa setahun atau dua tahun, Pa?”
Agar Svarga tidak perlu bicara dengan kekasih Zaviya untuk memintanya melepaskan Zaviya untuk bisa dia nikahi.
“Enggak! Seminggu!” ujar papa Arjuna tegas.
“Kalau aku enggak sanggup?”
“Maka fix, kamu Guy.”
Svarga mengembuskan napas jengah sambil mendelik setelah menatap malas papa Arjuna.