Raya kesal dengan Fajar, tidak sedikit pun suami palsunya itu berniat membantu. Rumah ini dipenuhi debu yang cukup tebal, belum lagi daun -daun kering yang ikut menyelinap masuk ke dalam rumah dan teronggok di sudut dapur. Sapu yang digunakan Raya tidak berdaya membersihkan daun basah yang cukup berat. Tangkai sapu itu sudah patah, tampaknya Bu Asni sengaja meninggalkan barang-barang yang memang tidak layak lagi untuk digunakan.
Raya membuka jaketnya, menyisakan kaos tak berlengan yang mulai basah oleh keringat. Dua jam dia hilir mudik membersihkan rumah itu dan sekarang dia lelah dan merasa lapar.
Raya duduk di samping Fajar, menatap dongkol laki-laki yang selalu berwajah dingin dan bermulut pedas itu. Mereka harus berfikir bagaimana cara mengisi perut, Raya tidak membawa se-sen pun uang saat kabur karena dia tidak terbiasa membawa uang cash dan tidak sempat mengambil kartu ATM nya. Sekarang Raya menyesal dengan kecerobohannya itu.
"Aku lapar," ucap Raya, seakan-akan dia berbicara pada dirinya sendiri.
"Itu urusanmu," jawab Fajar ketus, Fajar sibuk meluruskan badannya dan memejamkan mata.
"Carikan aku makanan!" teriak Raya.
"Aku bukan pembantumu, jangan bersikap seenaknya padaku!" Fajar menjawab juga dengan teriakan melebihi kerasnya suara Raya.
"Kau itu suamiku."
"Berhenti mengatakan aku ini suamimu, kau membuatku ingin muntah," hardik Fajar. Mata agak sipitnya membesar memarahi Raya.
Raya mendengkus, percuma saja berbicara dengan manusia yang tak memiliki perasaan seperti Fajar. Raya mencoba kasur kapuk yang terasa keras dan apek di kamar yang dia klaim sudah menjadi kamarnya. Mencoba melupakan rasa lapar yang menderanya, dia masih ingat terakhir kali makan adalah kemaren pagi, itupun cuma beberapa sendok dan dimuntahkan kembali.
Raya meringis, semakin lama semakin pedih rasa perutnya, dia bangkit tergesa-gesa pergi ke dapur memeriksa apa saja yang bisa dimakan, tapi nihil. Tidak ada apa pun di dapur itu, hanya piring dan gelas plastik pudar yang tertata rapi di atas rak kecil.
Tiba-tiba Raya mencium aroma makanan dari arah ruang tamu. Benar saja, laki-laki dingin yang bernama Fajar tengah asik menikmati sebuah makanan yang diyakini dari bentuknya seperti nasi uduk, dia makan dengan lahap tanpa mempedulikan Raya.
Raya geram kemudian mendekati Fajar, sekali tarik bungkusan kertas berisi nasi itu sampai di hadapannya. Fajar melotot dengan pipi menggembung dipenuhi nasi.
"Itu nasiku."
"Aku juga lapar," jawab Raya.
"Kau usahakan sendiri, jangan merampas punya orang," hardik Fajar. Mata bulat Raya memandangnya tajam, kemudian cairan bening berkumpul di pelupuk matanya dan jatuh tak berdaya ke pipinya.
Dia menyodorkan kembali nasi uduk milik Fajar, bibirnya bergetar menahan suara tangis.
"Kau sekarang mengerti, kan? Kenapa aku melarang wanita manja sepertimu ikut denganku." Fajar kembali melahap nasinya dengan semangat.
"Menjadi miskin itu tidak mudah, kau bahkan bisa kehilangan nyawa demi sesuap nasi, saat kalian orang kaya membuang-buang makanan, kami menghargai sebutir nasi yang tersisa, jadi pulanglah ke rumahmu! tak ada gunanya kau menempel padaku, pernikahan kita tidak benar-benar terjadi." Fajar melipat kertas nasinya dengan santai, meneguk air mineral yang entah didapatkannya dari mana.
Raya diam tak menanggapi, dia sudah memilih untuk pergi dari rumah, maka pantang baginya untuk kembali, walaupun nanti dia akan mati kelaparan.
"Apa yang kau tangisi? tempatmu bukan di sini, aku terbiasa hidup seperti gelandangan dan semua ini takkan menjadi beban bagiku, sedangkan kau? Putri raja yang selalu dimanja dan dilayani setiap saat." Suara Fajar terdengar mencemooh.
"Kau jahat," kata Raya.
"Aku tau, tak perlu kau ingatkan!"
"Kau tak punya hati," lanjut Raya.
"Itu benar, " jawab Fajar santai sambil membuka bajunya, menyisakan tubuh kotak-kotak yang mulai berkeringat kepanasan.
"Kenapa ada manusia sepertimu?" Jerit Raya, air mata mengering di pipinya.
"Sudahlah! aku berniat tidur. Pergilah ke kamar barumu! jangan menggangguku!" Fajar menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
Raya menangis memegang perutnya, bayi milik Marsel itu memang tidak tau diri, dia merasakan lapar saat tak ada yang bisa dimakan.
Raya berbalik membelakangi Fajar, berniat melupakan rasa lapar dengan kembali tidur, tapi langkahnya berhenti saat pergelangan tangannya ditahan oleh tangan Fajar. Raya berbalik menatap Fajar penuh tanya.
Laki-laki itu mengeluarkan satu bungkus nasi yang masih utuh kehadapan Raya.
"Ini punyamu, jika aku berbagi denganmu maka aku tidak akan kenyang."
Raya menatap sebungkus nasi yang tergeletak di atas meja, air mata kembali turun deras, dia tidak melakukan apapun selain cuma melihat bungkusan itu.
"Kau aneh." Fajar beranjak pergi keluar dari rumah.
Raya membuka nasi itu dengan tangan bergetar, menyatukan jarinya untuk meraup nasi, bahkan dia belum pernah menggunakan jari itu untuk menyuap nasi, dia terbiasa dengan sendok dan garpu, alhasil nasi yang dibawa ke mulut jatuh satu satu di sela-sela jari Raya.
Raya makan sambil menangis, nasi ini terasa lebih enak dari pada makanan apapun di rumahnya, dia sudah membulatkan tekad untuk melepaskan diri dari ayahnya, dia harus siap dengan semua resiko yang akan dihadapinya.
Bahkan ini baru hari pertama, tapi rasanya sangat berat. Sebungkus nasi itu tandas dalam waktu beberapa menit. Raya mencuci tangannya dengan air yang sudah berada di ember besar di dekat dapur. Pagi tadi ember itu masih kosong, mungkin Fajar yang mengambil air dan mengumpulkannya kedalam ember besar itu.
Raya masuk ke dalam kamar, menahan gejolak perutnya mulai terasa. Raya berdoa dalam hati, jangan sampai makanan yang sudah ditelannya keluar lagi, di sini sebutir nasi sangat berharga, jika perutnya kosong kembali dia tidak tau akan memakan apa lagi untuk mengisinya.
Raya mulai mengantuk, mata lelah yang berbulu lebat miliknya akhirnya terpejam dengan bekas air mata yang mengering.
***
Fajar mendengar penjabaran Pak Sultan, seorang kepala adat yang sangat dihormati dan disegani di desa ini. Orangnya sangat bijak dan arif, dialah orang yang pertama kali dijumpai oleh Fajar untuk melaporkan jika dia mulai menjadi warga di desa ini.
Tujuan Fajar menemui pak Sultan, adalah sebagai tempat bertukar cerita berkaitan dengan kelanjutan hidupnya ke depan. Di sini ijazahnya tidak laku, semua warga secara umum berladang kopi dan berkebun, mereka hidup sederhana tanpa kemajuan yang berarti.
Adat istiadat masih dipegang teguh di sini. Segala permasalahan akan dirembukkan oleh beberapa tokoh masyarakat dan diputuskan oleh kepala adat yaitu pak Sultan sendiri.
"Anak muda, kau terlalu tampan untuk menjadi warga di sini, apa kau yakin akan menjadi pekerja kasar sementara kau punya peluang menjadi lebih baik diluar sana?"
Fajar mengangguk sejenak. "Saya sudah yakin pak, bekerja apapun asalkan mendapatkan uang."
Dia butuh makan dan beras tidak dibeli dengan daun.
"Sebenarnya ada pekerjaan yang lebih cepat mendapatkan uang, namun saya yakin nak Fajar tidak akan mampu melakukannya."
"Apa itu pak? Saya tidak keberatan asal menjanjikan." Fajar bersemangat.
"Desa kita ini berada di sepanjang aliran sungai besar, sumber daya alam cukup banyak, batu alam, pasir dan tanaman rempah, dari kota banyak para pemilik toko bahan bangunan yang mencari pasir disini untuk dijual. Penambang di sini masih sedikit karena jumlah warga laki-laki dewasa tidak seberapa, anak muda-muda lebih memilih untuk merantau."
"Saya mau pak, jika menambang pasir lebih cepat mendapatkan uang."
Fajar begitu bersemangat. Pak Sultan mengangguk maklum, sambil berfikir apa yang membuat pemuda kota ini lebih memilih menetap di sini dan hidup susah padahal orang di sini lebih banyak merantau ke kota.