Aku hanya terpejam sejenak sambil mengembuskan napas panjang. Malas meladeni orang sepertinya. Terserah dia. Aku tidak lagi peduli. Aku tidak ubahnya boneka yang seenaknya dimainkan olehnya. Aku hanyalah tawanan dan mirisnya hanya bu*ak pemuas naf*u. Serendah itu aku baginya. “Aku belum Magrib. Nanti kalau ada masjid tolong berhenti,” pintaku. “Jangan bilang kalau kamu mau kabur!” bentak Mas Aqsal. “Pikiranmu itu sesekali harus digosok pake gosokan panci biar sedikit bersih! Suudzon terus! Aku hanya ingin salat!” Mas Aqsal justru tertawa, lalu berbisik, “Kamu tambah cantik kalau marah.” “Hah, pria kejam sepertimu nggak pantas bicara manis.” Bibirnya tersungging sebelah. “Nggak sabar mengulang kejadian tadi pagi,” bisiknya. “Mau luka di kepalamu itu aku jadikan lebih parah? Biar geg

