“Apa ucapanmu bisa dipercaya?” tanya Niha setelah tangisnya agak mereda. “Demi Allah aku jujur,” jawab Aqsal. “Kalau aku nggak mau pisah, kamu mau apa?” Aqsal terkekeh. Sesekali air matanya masih menitik. Pelukannya kian mengerat. “Kenapa, bukankah dulu kamu yang merengek minta pisah? Kenapa sekarang nggak mau? Apa kamu sudah jadi bucin akut?” Dalam da*a sang suami, Niha mengangguk. “Aku merasa terhina, tidak pantas untukmu. Tapi di sisi lain aku tidak bisa kehilangan kamu. Aku benar-benar payah.” Aqsal mengurai pelukan. Dihapusnya air mata yang masih berderai di pipi Niha. “Lalu kenapa tadi malah mengajukan pisah?” Niha merengek. Ia juga membingkai pipi Aqsal. “Aku berpikir mungkin kamu berhak untuk pria lebih baik, bukan pria penuh noda sepertiku ini. Aku kotor, Niha. Berkali-kali

