Mataku melebar saat Nizam berbicara ngawur seperti itu. Sepertinya, adikku itu sangat marah. Aku menggandeng lengannya, mencari tempat agak jauh agar percakapan kami tidak didengar oleh Ustaz Sauqi. “Zam, dengerin Mbak. Mbak mau ke rumah Mas Aqsal diam-diam untuk mengambil surat nikah buat daftar gugatan cerai, bukan mau piknik sampai kamu harus ikut. Habis itu Mbak balik, lalu baru Mbak urus di pengadilan agama. Karena kalau Mbak minta secara baik-baik, mungkin tidak akan dikasih. Dan kalau mengurus di kepolisian, takut ribet. Langkah ini dulu aja Mbak ambil. Kalau sudah mentok, baru nanti ngurus di kepolisian." “Tapi itu sangat berisiko, Mbak. Emang Mbak tahu di mana Mas Aqsal menyembunyikannya?” Aku menggeleng. “Tapi Mbak akan berusaha.” “Sekarang ikut aku dulu. Karena kalau Mbak ne

