Aku tersenyum, tetapi mataku menangis. “Lihatlah, bahkan kamu pun sudah mulai berbuat kasar ke Mbak.” Kudorong tubuh Nizam agar ia keluar. kemudian kukunci pintunya dari dalam. Tubuhku merosot di pintu. Aku benci semua keadaan ini. “Mbak, maafin aku. Mbak jangan keras kepala seperti ini. Jangan gegabah. Kita akan ziarah ke kuburan Mama Elena, tapi nanti, oke? Sekarang buka dulu pintunya.” Gedoran dan teriakan Nizam masih jelas terdengar. Aku tidak peduli. Aku keras kepala katanya? Aku hanya ingin bertemu dengan Mama meski sudah berupa gundukan tanah. Apa itu salah? Kematian Mama bisa juga ada andilku di dalamnya. Kalau saja aku tidak meminta Mas Aqsal menikah lagi, kalau saja istri baru Aqsal bukan Dinda, tetapi wanita yang lebih salihah dan bisa menggantikan posisiku merawat Mama, mu

