“Zam, kakakmu ada di sini!” teriak Ustaz Sauqi. Aku melotot ke arahnya. Aku sudah lemas, tidak mungkin bisa berlari menghindar lagi. Tidak lama berselang, Nizam datang dengan napas terengah-engah. Remaja yang wajahnya penuh keringat ini mencekal lenganku dan menatapku lekat. “Aku bener-bener nggak bisa ninggalin Mbak sendiri. Maaf, Mbak, maaf. Jangan hukum aku kayak gini.” Mataku memanas. “Mbak minta aku belajar yang rajin, kan? Tapi bagaimana bisa semua itu kulakukan sementara pikiranku terus mengkhawatirkan Mbak dan Mbak pergi dariku dalam keadaan marah.” “Saya tahu, saya telah salah bicara. Timing-nya nggak tepat. Saya juga minta maaf.” Ustaz Sauqi ambil suara. Aku bernapas panjang, lalu menatap Nizam. “Zam, di usiamu ini, kamu memang hanya perlu belajar. Biar Mbak yang pikirkan

