Together We Are Strong

2282 Kata
Fara terisak di bawah bantal. Ia sengaja membenamkan kepalanya di bawah bantal agar tak ada temannya yang mendengar. Air mata itu mengalir deras dan kedua matanya kian sembab. Ia tak menyangka pada akhirnya ia menjadi salah satu penghuni kost yang patah hati di saat menyusun skripsi. Kata salah satu kakak angkatannya, selama lima tahun berturut-turut salah satu penghuni kost selalu saja ada yang patah hati di saat tengah disibukkan dengan skripsi. Rasanya sungguh sakit luar dalam dan ia sama sekali tak bisa fokus dengan skripsinya. Bahkan saat Gharal meninggalkannya, ia tak sesakit ini. Teringat di memorinya kala kakak angkatannya yang telah wisuda menangis tersedu-sedu karena putus cinta. Padahal ia tengah dituntut untuk berkonsentrasi menghadapi seminar dan sidang. Benar-benar stres luar biasa. Dan sekarang ia mengalaminya. Lidya mengetuk pintu kamarnya. Fara mengusap air mata yang sedari tadi membanjir. “Ya masuk,” ucapnya parau. Lidya masuk ke dalam dan mengamati wajah Fara yang masih digenangi sisa-sisa air mata. Ia menduga Fara tengah bermasalah dengan Abinaya. “Far kamu kenapa? Kamu habis nangis ya? Pasti ada masalah sama Pak Abinaya.” Fara mengangguk. Diantara teman satu kostnya, Lidya yang paling dekat dengannya. Rasanya dia sudah tak sanggup menyimpan semua masalahnya sendiri. Berbagi cerita dengan teman setidaknya bisa sedikit meringankan beban. “Aku putus sama Mas Abi.” Fara menunduk dan jari-jarinya menghapus air mata yang masih berlinang. Lidya melongo kaget, “Bukannya kamu dan Pak Abinaya jadian belum lama, kok udah putus aja?” Fara kembali sesenggukan. Lidya mengusap punggung temannya. “Kalau kamu nggak mau cerita nggak apa-apa. Udah jangan sedih lagi.” “Aku nggak pantes buat Mas Abi Lid. Orangtua Mas Abi sudah punya calon buat Mas Abi. Kemarin waktu aku ketemu sama orangtuanya dan calon pilihan orangtuanya, aku merasa benar-benar disudutkan dan sama sekali nggak dipandang sama ibunya mas Abi. Calonnya Mas Abi ini lulusan Al Azhar, hafizah, cantik, sholehah, pinter masak dan pembawaannya percaya diri, elegan. Aku jauh banget dibandingkan dengannya.” Lidya terdiam sejenak. “Tapi kan selama Pak Abinaya tetap memilihmu, kalian bisa terus berjuang kan? Kenapa harus putus?” Lidya mengernyitkan alisnya. “Aku yang mutusin. Aku nggak bisa terus lanjut meski Mas Abi mau berjuang untukku. Ibunya Mas Abi memintaku secara personal untuk menjauh dari Mas Abi. Beliau bilang, beliau ingin Mas Abi memiliki istri dari keluarga yang harmonis, keturunan orang yang baik dan beliau nggak mau anaknya punya istri yang pernah punya skandal ciuman dengan cowok dan dilihat banyak orang. Dia nggak mau kerabat dan teman-temannya tahu kalau calon istri anaknya w************n yang bergaya hidup seperti orang barat.” Suara Fara semakin tercekat. “Astaghfirullah bicaranya pedes banget ya. Yang sabar ya Far. Kalau menyangkut orangtua emang berat. Tapi kalau kalian jodoh, nggak akan kemana.” Lidya menatap sahabatnya trenyuh. “Far, berarti ibunya Pak Abinaya tahu soal rekaman itu ya. Atau ada yang bilang ke dia soal rekaman itu?” Lidya memicingkan matanya. Fara menggeleng, “Entahlah aku juga nggak tahu. Yang pasti aku nggak bisa untuk terus maju sementara ada seorang ibu yang nggak rela anaknya menikah dengan gadis yang tidak ia sukai. Aku nggak mau Mas Abi bermasalah dengan keluarganya kalau nekat menikahiku.” Lidya terpekur. Ia membayangkan posisi Fara memang begitu sulit. Fara menggenggam tangan Lidya, “Lid, interaksi fisik antara laki-laki dan perempuan itu pada akhirnya hanya akan merugikan perempuan. Contohnya kasusku dan Gharal. Memang Gharal kena imbas dari hancurnya karirnya. Tapi sekarang orang mungkin sudah melupakan. Saat dia comeback ke i********:, nyatanya masih banyak yang mengelu-elukannya. Apalagi dia dan Kia hormanis banget, makin banyak yang menyukai mereka. Sedangkan aku? Sampai detik ini masih saja orang menyebutku pelakor, cewek nggak bener, dan imbasnya sekarang, mau menikah pun ada saja kendalanya karena kesalahan di masa lalu.” Fara tertunduk dan menitikkan air mata. Fara kembali membuka mata dan menatap Lidya tajam, “Seandainya saat aku masuk Islam, aku nggak kembali clubbing dan serius mempelajari Islam, mungkin aku bisa lebih paham tentang batasan antara laki-laki dan perempuan non mahram. Aku nyesel banget Lid. Aku maklumi ibunya Mas Abi yang menolakku mentah-mentah. Di matanya pastilah aku begitu rendahan. Aku nggak bisa sepenuhnya menyalahkannya.” Lidya membalas genggaman itu dengan lebih erat. “Apapun komentar negatif orang tentangmu, kamu harus yakin, Allah selalu memberikan ampunan pada hambaNya yang bertaubat. Masih banyak kok yang mendukungmu dan menerimamu dengan segala cerita masa lalumu. Justru aku bangga banget sama kamu. Fara yang dulu begitu bengal, seenaknya, semena-mena, galaknya minta ampun, sekarang sudah banyak berubah menjadi Fara yang lebih sabar, tenang, kalem dan aku benar-benar melihat usahamu. Aku akan selalu support kamu.” Fara tersenyum. Ia bersyukur memiliki sahabat sebaik Lidya yang tak meninggalkannya kendati dirinya tengah berkubang dalam kondisi terburuk sekalipun. Fara memeluk sahabatnya erat dengan isak tangis keharuan. Lidya mengelus rambut Fara dan menenangkannya. “Sudah jangan sedih lagi ya. Kamu harus tetap semangat,” sahut Lidya. Fara mengangguk, “Terima kasih untuk segalanya Lid. Terima kasih sudah menjadi sahabat baikku.” ******* Malamnya Fara sama sekali tak bisa berkonsentrasi untuk merevisi skripsi. Padahal dia harus mempersiapkan diri menghadapi seminar hasil. Air matanya masih saja berlinang. Perasaannya hancur lebur. Hatinya tercabik. Jauh di lubuk hati terdalam ia sangat mencintai Abinaya dan kini ia harus menguburnya, berusaha untuk melenyapkannya. Terbayang semua moment indah dan percakapan chatnya di WA bersama Abinaya. Moment indah itu hanya berlangsung singkat. Ia tak mengerti kenapa jatuh cinta selalu berakhir menyakitkan baginya. Ada rasa trauma mendalam untuk kembali jatuh cinta. Ia tak ingin lagi mengenal cinta jika harus mengenalkannya pada arti kehilangan. Ada satu pesan WA masuk ke ponselnya. Fara segera mengambil iphonenya dan ia berharap Abinaya yang mengirim pesan itu. Rona kebahagiaan terpancar di wajahnya kala ia membaca pesan Abinaya, tapi di sisi lain juga ada luka yang begitu perih karena ia tak sanggup untuk membalasnya. Fara, please jangan putusin Mas. Kali ini Mas mohon, pertimbangkan semuanya baik-baik. Mas akan memperjuangkan semuanya. Mas hanya butuh kesediaan kamu untuk terus bersama. Mas nggak bisa lagi membuka hati untuk orang lain. Mas cuma pingin nikah sama kamu Far. Please balas pesan ini. Fara terdiam. Matanya terpejam sesaat. Dia ingin membalasnya tapi dia teringat akan perkataan ibu Abinaya. Pernikahan sejatinya untuk menyatukan dua keluarga. Tentu akan sangat menyakitkan jika dia tetap menikah dengan Abinaya sementara ibunya sama sekali tak mau memandangnya dan bahkan sudah terang-terangan menyebutnya murahan. WA dari Abinaya kembali menyemarakkan ponselnya. Fara sayang... Please kasih Mas kesempatan. Mas beneran sayang sama Fara. Mas ingin kisah kita nggak berakhir seperti ini. Mas ingin kita menikah. Mas akan terus berjuang meyakinkan bapak ibu. Fara... Apa Fara udah nggak sayang lagi sama Mas? Fara emang beneran ingin putus? Fara nggak mau kasih Mas kesempatan? Far.. Mas kangen banget sama Fara... Kangen baca-baca WA dari Fara... Kangen denger suara Fara.. Mas kangen banget... Fara semakin terisak. Isakannya bahkan terdengar semakin keras. Hatinya benar-benar sakit dan ia pun tak tega membaca pesan Abinaya yang menunjukkan betapa kalutnya dirinya. Nada dering telepon membuatnya terkesiap. Ada satu panggilan dari Abinaya. Dadanya berdebar dan deg-degan bukan kepalang. Ingin rasanya mendengar suara Abinaya tapi ia menahan diri untuk tidak mengangkatnya. Ponselnya terus berdering. Fara masih saja mendiamkannya sementara tangisnya semakin menganak sungai. Abinaya belum mau menyerah, ia terus mencoba menghubungi Fara. Hingga akhirnya Fara mengangkat telepon itu. “Assalamu’alaikum sayang..” Mendengar suara Abinaya justru membuat Fara semakin bersedih. Dia menjawab salam dengan suara yang tak jelas karena bercampur dengan deru tangis yang semakin menyayat. Kontrol dirinya pecah dan tanpa ia sadari tangisnya semakin mencekat. Abinaya merasa sakit mendengar isak tangis Fara yang tak jua berhenti. Abinaya membisu menunggu sampai gadis yang dicintainya menghentikan tangisnya. Sungguh rasanya ia ingin berada di sebelah Fara dan menghapus air matanya. Ia tahu, Fara masih sangat mencintainya. Setelah suara Fara terdengar tenang, Abinaya memberanikan diri berbicara lebih dulu. “Fara... kamu nangis-nangis terus ya? Mas juga sedih banget. Mas mohon Far, kasih Mas kesempatan. Mas Abi bakal serius memperjuangkan kamu.” “Maafkan Fara Mas, Fara nggak bisa.” Abinaya mengembuskan napas, “Kamu bilang nggak bisa, tapi Mas tahu jauh di dasar hati, kamu belum ingin melepas Mas. Jangan bohongi perasaanmu Far.” Fara terisak. “Kamu masih cinta sama Mas kan?” Fara tak menjawab. “Kalau kamu masih cinta, bisa nggak kamu keluar sekarang?” Fara terbelalak, “Keluar?” Suara Abinaya terdengar lembut dari ujung telepon. “Iya, Mas ada di dalam mobil, di depan kostmu.” Fara kaget bukan main. Rupanya Abinaya ada di depan kostnya. “Please Far, keluar ya... Mas tunggu di depan.” Fara segera keluar kamar. Ia bergegas melangkah ke depan. Sama seperti Abinaya, Fara pun begitu merindukannya. Saat Fara membuka pintu, ia melihat Abinaya berdiri terpekur di dekat mobilnya. Mata mereka beradu. Mereka saling menatap dari jarak yang agak jauh dengan gemuruh rasa yang saling berkejaran. Antara rindu, cinta, takut kehilangan, semua bercampur menjadi satu... Abinaya masuk ke pelataran kost dan melangkah mendekat. Fara yang masih saja terisak tak tahan lagi dengan hanya mematung di depan pintu. Ia berlari dan menghambur ke dalam pelukan Abinaya. Fara menangis sesenggukan dalam pelukan dosen ganteng itu. Sudut mata Abinaya pun berkaca. “Maafkan Fara Mas... Fara nggak ingin kehilangan Mas Abi.” “Mas Abi juga nggak ingin kehilangan Fara,” ujar Abinaya lembut sembari mengusap-usap kepala Fara. Abinaya melepas pelukannya dan meraih tangan Fara lalu menggenggamnya erat. “Please jangan lagi mutusin Mas ya. Jangan lagi ninggalin Mas. Mas bener-bener kalut kayak orang gila. Mas nggak bisa bayangin kalau mesti jalani semua tanpa Fara.” Bulir-bulir bening masih menetes di pipi Fara. Abinaya menyekanya dengan jari-jarinya. “Fara mesti janji mau berjuang bareng Mas Abi ya.” “Mas Abi nggak nyesel milih Fara? Mas Abi serius mau memperjuangkan Fara?” Abinaya tersenyum, “Kalau Mas nggak serius, Mas nggak mungkin datang ke sini.” Fara tersenyum. “Mas selalu berdoa agar kita berjodoh. Mas bilang gini setiap kali berdoa, ya Allah kalau memang Fara adalah jodohku, tolong dekatkanlah. Kalau ternyata Fara bukan jodohku, tolong buatlah jadi jodoh dan terus deketin jangan dijauhin.” Fara tertawa kecil. “Mas Abi dalam keadaan seperti ini masih saja bisa melucu.” “Biar nggak terlalu tegang Far. Pokoknya kamu tenang aja ya. Kita akan berjuang bersama untuk mendapat restu.” Fara mengangguk. Kini hatinya lebih tertata dan ia semakin yakin untuk berjuang bersama Abinaya demi mendapat restu orangtua Abinaya. ****** Abinaya duduk saling berhadapan dengan Zahira, sementara saudara sepupu Zahira yang bernama Maryam duduk di sudut lain di coffee shop langganan Abinaya. Abinaya sengaja janjian bertemu dengan Zahira karena ingin membicarakan sesuatu. Saat Lidya memberitahu dirinya bahwa Fara begitu terluka karena ucapan ibunya yang begitu pedas, Abinaya curiga Zahira lah yang memberitahu ibunya tentang video viral Fara dan Gharal yang dulu sempat merebak. Pasalnya adiknya tak tahu menahu mengenai kasusnya dan ibunya bukan tipikal yang sktif di media sosial. Kini Abinaya mengerti penyebab utama Fara sempat minta putus darinya. Fara sendiri tak pernah bercerita tentang kata-kata pedas yang dilontarkan ibunya terhadapnya. “Zahira jujur saja, kamu kan yang bercerita pada ibu tentang video viral Fara dan Gharal?” Zahira tercenung sejenak. Ia tak bisa mengelak. “Aku melakukan itu karena aku nggak ingin Mas Abi terjebak cinta perempuan yang suka clubbing itu Mas. Dia perempuan yang akrab dengan dunia malam Mas.” “Dia sudah berhenti clubbing Za. Dia sudah banyak berubah. Aku ingin berjuang bersamanya untuk sama-sama memperbaiki diri,” tegas Abinaya.’ Zahira mengembuskan napas, “Apa yang bikin Mas Abi memilih Fara? Mas Abi sudah tahu kan ibu ingin Mas Abi beristrikan dengan seorang hafizah? Mas, aku bahkan berpakaian lebih sopan darinya. Aku menutup auratku, aku seorang hafizah, pendidikanku bagus dan lulus dengan nilai yang istimewa, aku bisa menjaga diriku,. Kenapa Mas Abi memilihnya yang jelas-jelas pernah berciuman dengan laki-laki lain dan video ini viral? Atau Mas Abi memang lebih suka cewek yang nakal dan liar ya?” Abinaya memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi. Ditatapnya Zahira begitu tajam. “Kamu tahu Za, apa yang salah padamu?” Zahira mengernyit. “Kamu sombong Za. Kamu selalu merasa paling baik dan merendahkan orang lain. Kamu pasti paham ada hadits yang menyatakan bahwa tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Zahira tertegun dan kata-kata Abinaya terdengar begitu menusuk. “Sombong itu ada dua, sombong terhadap haq atau kebenaran dan sombong terhadap makhluk. Sombong terhadap makhluk itu adalah jika dia merendahkan dan meremehkan orang lain, menganggap dirinya lebih mulia dari orang lain, membanggakan diri sendiri. Hafalan Al-Qur’an dan Haditsku memang tidak sebanyak dirimu, tapi aku hafal beberapa. Aku ingat dalam surat Luqman ayat delapan belas, Allah berfirman “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. Ada lagi dalam surat An nahl ayat 23, salah satu penggalan kalimat dalam ayat tersebut, “Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” Zahira tercekat. Ia memikirkan lebih jauh tentang argumen Abinaya yang menilai dirinya sombong. “Maaf Za, aku nggak bermaksud bicara frontal. Tapi agaknya kamu perlu intropeksi diri. Dan aku nggak suka kamu merendahkan Fara. Dia seorang muallaf yang butuh tuntunan dan dia berhak atas kesempatan untuk memperbaiki diri. Ingat Za, orang yang kita pandang buruk hari ini, bukan berarti dia akan terus buruk, mungkin saja di kemudian hari, dia berubah menjadi orang yang lebih baik dari kita.” Zahira tak bisa berkata-kata lagi. Mendadak lidahnya serasa kelu.” “Saya permisi dulu. Terima kasih untuk waktunya. Assalamu’alaikum.” Abinaya beranjak dan meninggalkannya yang diam terpekur sembari mengamati langkah Abinaya yang semakin jauh... “Wa’alaikumussalam,” jawab Zahira pelan sementara sosok yang begitu ia kagumi telah hilang dari pandangannya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN