Abinaya mengembuskan napas kekecewaan setelah pembicaraan alotnya dengan Zahira tak menghasilkan kesepakatan yang disetujui kedua pihak. Maryam yang turut serta menjadi saksi perbincangan diantara mereka pun ikut merasa pening. Baik Abinaya maupun Zahira keukeuh dengan pendapatnya masing-masing. Abinaya baru tahu Zahira ini tipikal keras kepala, bahkan lebih keras dibanding Fara.
“Maaf Mas, aku tetap pada keputusanku. Aku tak akan mengatakan apapun pada orangtuaku. Karena kenyataannya bukan aku yang menginginkan perjodohan ini berakhir. Mas Abi yang menginginkannya. Kalau Mas Abi cukup gentle, katakan terus terang. Nggak usah minta aku yang ngomong duluan untuk nolak perjodohan ini. Kenapa Mas Abi nggak berani untuk ngomong langsung?”
Abi menghela napas dan menenangkan diri sendiri sebelum membalas kata-kata Zahira.
“Kan aku udah bilang Za. Kalau kamu yang nolak, kehormatanmu lebih terjaga. Kalau misal aku yang nolak, sebagai pihak keluarga perempuan, ayah bundamu pasti malu dan nggak terima.”
Zahira menyeringai, “Kehormatanku atau kehormatan Mas Abi? Aku bakal dicap anak yang nggak nurut sama ayah bunda dan pandangan bapak ibu Mas Abi juga bakal berubah ke aku. Mereka pasti akan kecewa sama aku Mas. Mereka pasti mikir aku tega menolak Mas.”
“Sama kayak aku lah Za. Kalau aku yang nolak, ayah bundamu juga pasti bakal mandang aku negatif.”
Zahira tertawa kecil, lebih tepatnya tertawa sinis.
“Mas Abi ini egois ya. Seenaknya aja minta aku nolak sementara nama Mas Abi akan terselamatkan. Aku yang akan kena getahnya Mas.” Zahira menaikkan intonasi suaranya hingga pengunjung coffee shop yang lain melirik ke arahnya.
Maryam mengamati kedua cangkir di hadapan Zahira dan Abinaya yang sama sekali belum disentuh. Dia melirik Zahira dan Abinaya bergantian. Kedua insan tersebut memasang tampang cemberut dan mereka berpegang pada egonya masing-masing.
“Lebih baik diminum dulu kopinya untuk mendinginkan kepala.” Maryam bergantian menatap Zahira dan Abinaya.
“Lebih baik kita pulang saja. Pembicaraan ini nggak akan menemukan titik temu,” tandas Zahira.
Abinaya terdiam. Sungguh, berbicara dengan Zahira seolah hanya membuang waktu. Satu realita yang diketahui Abinaya adalah selain ambisius, Zahira ini keras kepala dan enggan mengalah. Jelas bukan karakter yang cocok untuknya karena terkadang Abinaya pun bisa sedemikian keras kepala.
“Za, terus solusi terbaik gimana? Pembicaraan kita belum selesai.”
“Terserah Mas Abi lah. Aku sudah punya gambaran bagaimana aku harus bersikap. Dan rasanya baru kali ini aku bertemu dengan laki-laki keras kepala dan egois kayak Mas Abi. Aku bener-bener nggak ngerti kenapa ayah bunda begitu menyukai Mas Abi. Aku nyesel pernah memikirkan Mas Abi hingga menggalau kayak anak SMA. Dan gara-gara perjodohan ini, aku jadi ngerasa kayak bukan diri aku. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa kesulitan saat mengulang hafalanku karena aku nggak bisa fokus. Beberapa ayat lupa mungkin karena aku terlalu memikirkan Mas Abi atau karena aku kesal pada Fara yang akhirnya jadi penyakit di hati.”
Abinaya membelalakan matanya, “Kenapa kamu seolah menyalahkanku Za? Kamu yang gagal mengendalikan emosimu, jangan menyalahkan orang lain.”
“Aku nggak menyalahkan siapapun Mas. Aku menyalahkan diri sendiri. Mungkin aku bisa menyelesaikan soal ujian. Tapi untuk urusan asmara aku nol. Dan kini aku mengerti kenapa temanku bilang, orang mau pintar kayak apa, pendidikan setinggi apapun, pangkat sebagus apapun, saat jatuh cinta mereka bisa jadi buta. Anggap saja aku mungkin jadi buta karena jatuh cinta sama Mas Abi.” Zahira beranjak. Maryam ikut beranjak.
“Permisi Mas, Assalamu’alaikum.” Zahira berlalu dengan ketusnya.
“Wa’alaikumussalam.” Kepala Abinaya terasa semakin pening.
Tiba-tiba Zahra bersinggungan dengan seorang laki-laki yang tengah berjalan memasuki coffee shop. Tanpa sengaja telapak tangannya menyenggol telapat tangan Zahira.
“Maaf,” ucap laki-laki itu singkat.
Zahira mengelap tangannya dengan tissue.
“Lain kali lebih berhati-hati Mas. Kita ini bukan mahram. Mas tadi menyenggol saya.” Zahira yang memang sedang kesal bertambah bad mood melihat ekspresi wajah sang laki-laki itu datar, seakan tanpa rasa bersalah.
Sang pria terlihat kikuk dan merasa bersalah, “Saya mohon maaf, saya nggak sengaja.” Pria tersebut sedikit menunduk.
“Jangan-jangan anda sengaja menyentuh saya,” ucap Zahira ketus.
Laki-laki itu mengernyitkan dahi, “Astaghfirullah ngapain saya sengaja nyentuh Mba? Cuma nambah dosa saja.”
Zahira tergugu. Dia kembali melanjutkan langkahnya dan meninggalkan coffee shop tanpa bicara apa-apa lagi. Abinaya menggeleng melihat kelakuan Zahira yang tak selembut pembawaannya. Rupanya Zahira ini jauh lebih galak dan emosional.
******
Atmosfer malam ini terasa begitu hangat bagi kedua orangtua Abinaya juga orangtua Zahira. Namun bagi Abinaya dan Zahira malam ini adalah malam yang begitu mendebarkan karena sudah dipastikan perjodohan ini akan ditolak. Hanya saja keduanya enggan untuk bicara lebih dulu.
“Jadi gimana nih kelanjutan perjodohan ini? kalau dua-duanya udah cocok lebih baik disegerakan. Namanya pernikahan itu baiknya disegerakan.” Saputra tersenyum dan melirik putrinya yang sedari tadi belum mengeluarkan satupun suara.
“Gimana Abi? Kapan kamu siap melamar Zahira? Atau langsung saja kita membicarakan tanggalnya.” Pramesti melirik anaknya yang sedari tadi menekuk wajahnya.
Abinaya tersentak dan lidahnya serasa kelu. Ia merangkai kata yang tepat untuk menyatakan penolakannya.
Merasa geram dan greget dengan sikap diam Abinaya, Zahira memberanikan diri untuk bicara.
“Tidak akan ada pernikahan antara kami.”
Semua yang ada di ruangan tercengang. Pramesti tak habis pikir, jauh-jauh Abinaya dan Zahira pulang ke Purwokerto, ternyata hanya untuk membatalkan perjodohan.
“Zahira kenapa kamu berkata seperti itu?” Windri merasa tak enak pada Susilo dan Pramesti. Ia tak menyangka Zahira bisa selancang ini.
“Mas Abi tidak mencintai saya. Dia sudah memiliki calon lain. Jadi untuk apa perjodohan ini diteruskan?”
Pramesti dan Susilo menatap Abinaya dengan amarah yang terpendam.
“Abi kamu bener-bener nggak mau menuruti nasehat bapak ibu.” Susilo merasa malu dan ia menatap putra sulungnya dengan rasa kecewa yang teramat besar.
“Jadi benar apa yang dikatakan Zahira kalau Abi sudah punya calon sendiri?” Saputra menatap tajam Abinaya. Dia merasa Abinaya telah merendahkan putrinya karena menolaknya.
Abinaya mengangguk, “Ya saya sudah punya calon sendiri.”
“Kalau Abi memang sudah punya calon sendiri kenapa dari awal Pak Susilo dan Bu Pramesti menyetujui perjodohan ini? Padahal saya sudah bilang ke sebagian tetangga kalau Zahira sebentar lagi akan dilamar. Pasalnya ada beberapa yang berniat melamar.” Saputra menggeleng dan kecewa berat.
“Abi, sudah berapa kali Ibu bilang, Ibu nggak setuju kamu sama Fara.” Pramesti begitu terpukul. Hubungan baik yang terjalin antara dua keluarga terancam bubar.
“Maafkan saya Pak, Bu. Maafkan saya Pak Saputra dan Bu Windri, maafkan saya Zahira, saya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini.” Abinaya mengedarkan pandangan, menyapu ke semua yang ada di ruangan. Abinaya bisa melihat ada gurat-gurat kekecewaan di wajah semua yang duduk di ruang itu.
“Apa yang kurang dari Zahira hingga kamu menolak anak saya?” pertanyaan Saputra begitu menghujam.
Abinaya terhenyak. Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan Saputra.
“Selama ini banyak yang datang untuk meminta Zahira, tapi Zahira tidak merasa sreg. Baru kali ini ada laki-laki yang menolak anak saya. Ini penghinaan untuk keluarga kami.” Saputra bicara dengan tegas dan suaranya terdengar menggelegar.
“Maafkan anak saya Pak. Abi nggak bermaksud merendahkan Zahira. Abi mungkin mata hatinya tertutup, nggak bisa melihat istimewanya Zahira.” Pramesti merasa sudah tak punya muka lagi berhadapan dengan Zahira dan keluarganya.
“Atas nama Abinaya kami mohon maaf Pak, Bu. Semoga semua ini tidak merusak hubungan keluarga yang sudah terjalin dengan baik.” Susilo sedikit menundukkan wajahnya.
Saputra dan Windri yang sudah terlanjur kecewa tak menanggapi apapun. Acara malam ini rusak dan berakhir dengan kepulangan Abinaya dan keluarganya yang ditanggapi dingin.
******
“Abi, Ibu kecewa sama kamu. Kecewa banget. Kamu lihat kan tadi? Pak Saputra dan Bu Windri kecewa sama kita. Jelaslah mereka merasa terhina. Zahira yang punya banyak kelebihan bisa kamu tolak gitu. Lebih-lebih kalau mereka tahu calon pilihan kamu itu cewek yang pernah akrab sama dunia malam dan video ciumannya pernah viral, mereka akan merasa lebih terhina lagi.” Pramesti menatap Abinaya tajam.
Abinaya tak membalas apapun dan memilih menerima semua amarah ibunya.
“Kamu mana tahu perasaan Ibu? Ibu yang melahirkanmu. Ibu menyayangimu dan berharap kamu mendapat pendamping yang sholehah, baik dan berpendidikan. Coba bayangkan jadi Ibu. Nggak ada ibu yang rela anaknya menikahi perempuan nakal seperti Fara.”
“Bu, kenapa Ibu selalu memandang rendah Fara? Abi juga nggak sempurna Bu. Abi pun punya banyak cela. Setidaknya kasih Ibu kesempatan untuk mengenal Fara lebih dekat. Orang nggak dilihat dari masa lalunya Bu. Yang terpenting adalah dirinya yang sekarang, yang sedang memperbaiki diri.”
“Sudah cukup Bi. Silakan jika kamu ingin menikahi Fara, silakan! Tapi jangan harap Ibu mau merestui. Sampai kapanpun Ibu nggak akan merestui!” Pramesti berlalu dari hadapan Abinaya dengan terisak. Abinaya kian merasa bersalah. Bagaimanapun juga dia tak mau dicap anak durhaka.
Rasanya benar-benar dilema. Di satu sisi dia ingin menikahi Fara, di sisi lain dia tak sampai hati mendengar ibunya tersedu dan ia tak ingin menyakiti perasaan ibunya.
******
Setelah kembali dari Purwokerto, Abinaya mengajak Fara jalan-jalan di mall agar pikiran Fara kembali segar setelah seminar hasil. Abinaya bersyukur Fara dapat melalui seminar hasil dengan lancar meski kemarin dia sedang berada di Purwokerto dan tak bisa menemani Fara saat mengurus segala sesuatunya.
Mereka melihat-lihat baju di salah satu toko. Abinaya memilah-milah kemeja sedang Fara melihat-lihat blazer. Saat dia memandang ke arah depan, tiba-tiba tatapannya dikejutkan dengan dua sosok tak asing yang tengah berbelanja di toko seberang. Kia dan Gharal sedang melihat-lihat sepatu. Hatinya mencelos kala melihat Kia duduk, sedang Gharal memakaikan sepatu di kaki Kia. Mereka terlihat begitu manis. Perhatiannya terfokus pada perut Kia yang membuncit. Saat ini dia tak lagi menyimpan benci, justru ada rasa haru menyeruak melihat betapa manis pasangan itu dan ia bisa merasakan ketulusan diantara keduanya. Bohong jika dia sudah bisa bersikap biasa saat melihat Gharal. Masih ada sepercik desiran. Bukan karena dia masih mencintai pria itu. Hanya saja terlalu banyak kenangan yang ditinggalkan Gharal dan ia belum mampu melenyapkan sepenuhnya.
Fara tersenyum tipis. Dia menyesal dulu pernah membujuk Gharal untuk menceraikan perempuan mungil itu. Rasanya dia sedikit bisa berdamai dengan masa lalu dan mungkin proses ini akan terasa lebih mudah jika ia mencoba berteman baik dengan Kia. Abinaya menyadari Fara tengah mematung dan tatapannya tidak tertuju pada pakaian di hadapannya. Abinaya mencoba mengikuti ke arah mana tatapan gadis itu bermuara. Abinaya cukup kaget melihat Gharal dan Kia tengah memilih-milih sepatu. Kini ia menyadari masih ada sisa cinta Fara untuk Gharal di hatinya.
******