Abinaya menyemprotkan parfum andalannya. Ia sisir rambutnya hingga terlihat rapi. Kemeja yang ia kenakan modelnya tidak terlalu tua juga tidak terlalu muda untuknya, pas menggambarkan sosok single, mapan, tampan dan hight quality. Ia yakin Fara akan menyukai penampilannya. Malam ini dia mengajak gadis cantik itu berkunjung ke toko buku. Ada beberapa buku yang ingin ia beli. Dosen ganteng itu bersyukur karena Fara mau diajak jalan. Mungkin ini bukan first date karena mereka pernah makan bareng dua kali yang diartikan Abinaya sebagai first date mereka. Namun bagi seorang Abinaya Haidar, jalan-jalan kali ini benar-benar real date untuknya dan Fara karena Abinaya tahu Fara memiliki perasaan terhadapnya meski ia tak pernah mengatakan langsung.
Sebelum berangkat, Abinaya mengirim pesan whatsaap untuk gadis pujaannya itu.
Sayang, Mas bentar lagi ke kostmu. Kamu siap-siap ya.
Tak lama kemudian datang balasan dari Fara.
Mas Abi dari tadi siang manggil sayang terus ke Fara.
Abinaya membalas kembali.
Emang nggak boleh? Fara nggak suka?
Datang satu balasan dari Fara.
Bukannya nggak suka. Fara nggak biasa aja dengernya.
Abinaya tersenyum membaca pesan WA dari Fara. Abinaya membalas kembali.
Makanya dibiasain ya. Ya udah Mas berangkat dulu. Sampai nanti. Muach.
Abinaya melajukan mobil dengan perasaan berbunga. Mendadak ada banyak taman berwarna-warni di dalamnya. Jatuh cinta tu memang berjuta rasanya. Apalagi jika cinta itu berbalas. Semua yang dilakukan atau dilihat selalu mengingatkan padanya. Melihat pepohonan rindang di jalan dengan helaian daun yang tersibak angin, Abinaya teringat pada helaian rambut indah Fara yang melambai-lambai ketika angin berhembus. Melihat gemerlap mega bertabur bintang mengingatkan Abinaya pada mata bening Fara yang berkilau laksana kilauan gemintang. Mendengar desisan angin seketika menggetarkan gendang telinga sang dosen, terngiang suara Fara yang enak didengar. Ia membayangkan suara Fara pasti begitu merdu ketika menyanyikan sebuah lagu. Bahkan saat membaca sticker bertuliskan ‘Parahyangan’ di salah satu mobil di depannya, yang terbaca di benaknya adalah “FARAhyangan’. Semua serba Fara. Abinaya menggeleng dan tersenyum. Ia merasa benar-benar tergila-gila pada gadis itu.
Setiba di depan pintu gerbang kost Fara, Abinaya mengirim pesan w******p.
Fara sayang, Mas Abi udah sampai. Kamu keluar ya.
Tak lama kemudian keluarlah seorang gadis mengenakan blouse motif bunga-bunga berwarna pastel dipadu celana kain berwarna krem yang membuatnya terlihat semakin cantik dan anggun. Saat gadis berambut panjang itu melangkah, Abinaya seperti melihat sebuah gerakan slow motion sang bidadari diiringi lagu One Direction yang berjudul ‘What Makes You Beautiful’. Abinaya keluar dari mobil. Mereka saling berhadapan dan menatap.
“Cantik banget.” Abinaya tersenyum.
Fara tersipu. Ini pertama kali Abinaya mengatakan langsung bahwa ia cantik.
“Udah siap?”
Fara mengangguk, “Iya Mas.”
Abinaya membukakan pintu mobil. Fara masuk ke dalam. Setelah itu Abinaya masuk lewat sisi lainnya. Masing-masing mengenakan seat belt.
“Kita ke toko mana Mas?”
Abinaya tersenyum, “Ke Jalan Merdeka aja. Dekat dengan alun-alun, nanti kita sekalian main ke Masjid Raya. Kalau malam suka remai pengunjung di pelataran.”
Fara mengerlingkan senyumnya yang selalu terlihat seperti oase di mata Abinaya, menyejukkan.
Abinaya melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali ia melirik Fara yang terlihat lebih kalem dibanding saat pertama kali mengenalnya.
“Mas Abi pakai parfum apa ya? Wangi banget.”
“Pakai parfum andalan. Kamu suka nggak wanginya?”
Fara mengangguk, “Iya Fara suka.”
“Mas sengaja pakai parfum ini, wanginya pas buat suasana romantis.” Abinaya menaikkan alisnya.
“Kita kan mau ke toko buku, apa bisa dibilang romantis?” tanya Fara sambil melirik dosen ganteng tapi juga memiliki sisi lain, alay bin lebay.
“Selama bareng kamu, suasana apapun jadi romantis.”
“Mulai lagi recehnya.” Fara tertawa kecil.
“Kamu selalu saja bilang Mas ngegombal, padahal beneran. Semua tentang kamu selalu romantis Far. Mau makan aja Mas selalu inget kamu. Setiap Mas Abi WA nanya udah makan apa belum itu tuh karena Mas juga lagi mau makan. Kamu kan anak kost, pasti suka nggak teratur makan atau senengnya bikin mie intant. Lebih-lebih kalau tanggal tua. Makan nasi rames satu bungkus dipakai buat dua kali makan. Mas kan khawatir juga.”
Fara hanya terkikik mendengar cerocosan Abinaya yang kadang berlebihan tapi semua fakta yang ia paparkan betul adanya. Begitulah suka duka anak kost.
“Mas Abi paham banget sama anak kost ya.”
“Dulu Mas Abi pernah jadi anak kost juga.”
“Mas Abi mau beli buku apa nanti?”
“Buku psikologi. Tapi kayaknya Mas juga butuh novel romantis atau kumpulan puisi.”
Fara memicingkan matanya, “Kenapa tiba-tiba pingin novel romantis dan kumpulan puisi?”
Abinaya mengulas senyum lembutnya disertai tatapan sesejuk samudera, “Biar Mas punya banyak referensi buat gombalin kamu.”
Fara tertawa, “Berarti Mas Abi selama ini emang sengaja gombalin Fara kan?”
“Ya tapi kan Mas beneran suka sama Fara. Suka banget malah. Ampe seing mimpiin Fara.”
“Hmm.. Mas Abi mah lebay banget kalau udah ngegombal. Kira-kira mahasiswa Mas Abi pada tahu nggak kalau dosennya suka ngegombal dan lebay?”
Abinaya terkekeh, “Mereka tahunya Pak Abinaya itu berwibawa, kalem, idealis, cool. Kata mereka Pak Abinaya mirip sama Park Seo Joon, sedang si Gharal nyebut Mas itu Park Jong Jong.”
Fara tertawa mendengar kata “Park Jong Jong”
“Kalau di kampus Mas mesti jaga wibawa. Kalau nggak jaga image dan wibawa ntar mahasiswa kurang respek dan menyepelekan. Apalagi Mas terbilang dosen muda yang mukanya baby face.” Abinaya melanjutkan kata-katanya dan membuat gadis pujaannya itu tak bisa menahan tawa.
Tak terasa mereka telah tiba di pelataran toko buku. Abinaya keluar mobil lebih dulu lalu membukakan pintu untuk Fara. Fara merasa tersanjung karena Abinaya memperlakukannya seperti seorang princess.
Mereka masuk ke dalam toko dan mulai memilih-milih buku. Fara melihat-lihat novel. Rupanya ada beberapa novel karya para author w*****d, salah satu aplikasi menulis dan membaca cerita yang sangat disukai Fara. Sayangnya nggak ada novel dari archaeopteryx_ karena masih anteng bertengger di layar (kasian banget ya..:D).
Abinaya melihat-lihat buku psikologi untuk menambah wawasan. Dia melirik Fara yang begitu serius memilih novel.
“Far kamu mau novel apa? Ambil aja yang kamu suka.”
“Iya Mas. Fara bingung milih mana.”
“Lho Pak Abinaya.”
Tiba-tiba seorang laki-laki dan perempuan menyapanya. Abinaya melirik sumber suara. Mereka adalah mahasiswa dan mahasiswi psikologi yang pernah diajar olehnya.
“Eh, kalian lagi nyari buku?” Abinaya sedikit terbata. Kepergok mahasiswanya sedang jalan bareng pacar memang baru pertama kali untuknya. Ya jelas, selama menjadi dosen statusnya jomblo karatan.
“Iya Pak, pingin beli novel. Ehem.. Pak Abinaya jalan-jalan sama siapa?” Sang mahasiswa berambut keriwil melirik Fara. Fara sedikit menundukkan wajahnya.
“Kepo nih. Ama seseorang spesial pastinya,” jawab Abinaya dengan senyum khasnya.
“Ciyeee Pak Abinaya sudah punya pacar. Jangan lama-lama Pak, segera dihalalkan, kita tunggu undangannya,” canda mahasiswi berjilbab warna peach.
“Doain saja,” ucap Abinaya singkat sembari mlirik Fara yang tak bergeming dan sedikit kikuk.
“Beres Pak. Asal kalau nanti ngajar kita lagi kasih nilai A.” Mahasiswa berambut keriwil itu menaikkan kedua alisnya dan membuat mereka tertawa.
Seusai membeli buku, Abinaya mengajak Fara makan di salah satu restoran makanan Jepang yang sudah bersertifikasi halal. Seorang pelayan laki-laki menghampiri mereka sembari membawa buku catatan.
“Lho Mas Abi.” Sang pelayan laki-laki berperawakan kurus memperhatikan wajah Abinaya seolah memastikan dia tak salah mengenali orang.
Abinaya menatap sang pelayan dengan tatapan menelisik seraya memutar memori dan mengingat-ingat siapa pemuda di hadapannya.
“Si Rangga ya? Adiknya Fandi?”
“Iya Mas.” Pemuda yang bernama Rangga itu tersenyum lebar.
Abinya tersenyum lebar dan beranjak lalu bersalaman dengan pemuda tersebut.
“Jan awakmu wis gedhe ya. Aku mandan pangling,” ucap Abinaya menggunakan bahasa Jawa. (Kamu udah besar ya. Aku agak pangling)
Fara mendelik. Ini pertama kali baginya mendengar Abinaya berbicara dengan bahasa dari daerah asalnya. Rasanya sedikit shock karena suara Abinaya terdengar medok, beda jika sedang bicara dengan bahasa Indonesia.
Rangga tertawa kecil, “Diempani kon ora gedhe. Njenengan wis sukses saiki ya Mas. Ceweknya cakep maning.” Rangga melirik Fara sejenak. (Dikasih makan makanya gedhe. Kamu (njenengan/panjenengan : kamu dalam bahasa krama inggil) sudah sukses sekarang ya Mas. Ceweknya cakep lagi)
Cara bicara Abinaya dan Rangga yang ngapak membuat Fara ingin tertawa mendengarnya.
“Sukses apa lah. Biasa bae. Awakmu kerja neng kene?” tanya Abinaya lagi. (Sukses apanya. Biasa aja. kamu kerja di sini?)
Fara terpekur dan menyadari kalau dosen ini ganteng tapi ngapak dan medok. Cara bicaranya nggak sinkron dengan wajahnya yang mirip oppa Korea.
“Iya Mas. Kerja part time. Aku kuliah juga. Nek ora nyambi kerja ora bisa tuku rokok.” (Iya Mas. Kerja part time. Aku kuliah juga. Kalau nggak sambil kerja nggak bisa beli rokok)
“Lha kepriben sih rika. Kerja malah tujuane nggo tuku rokok. Pantes ora lemu-lemu.” Abinaya menyikut lengan Rangga. Gelak tawa meluncur dari bibir Rangga. (Lha gimana sih kamu. Kerja malah tujuannya buat beli rokok. Pantas nggak gemuk-gemuk).
“Ya ora mung nggo ngrokok sih. Nggo tambah-tambah bayar semesteran. Mas Abi saiki ngajar ya? Aku kuliah neng fakultas MIPA, makane ora tau ketemu njenengan. Jare Mas Fandi, njenengan ngampu psikologi.” (Ya nggak cuma buat merokok sih. Buat tambah-tambah bayar semesteran. Mas Abi sekarang ngajar ya? Aku kuliah di fakultas MIPA, makanya nggak pernah melihat kamu. Kata Mas Fandi, kamu ngajar psikologi)
“Iya aku ngajar Psikologi. Oya aku njaluk nomer WA-mu ya.” Abinaya mengeluarkan smartphonenya. (Iya aku ngajar Psikologi. Oya aku minta nomor WA-mu ya)
“Aku ora duwe WA Mas. Hpku jadul, teyenge mung nggo SMS tok karo telpon biyunge ramane. Hpku sing android didol.” (Aku nggak punya WA Mas. Hpku jadul, bisanya cuma buat SMS sama telepon ibu bapak. Hpku yang android dijual)
“Waduh bocah jaman siki ora duwe WA. Melas temen gagah-gagah Hpne jadul. Nek awakmu gelem, ngesuk tak gawakna Hpku sing ora dienggo tapi esih apik. Gelem ora? Lumayan kena nggo WA-an karo internetan.” (Waduh anak zaman sekarang nggak punya WA. Kasihan amat ganteng-ganteng Hpnya jadul. Kalau kamu mau, besok aku bawain Hpku yang sudah nggak dipakai tapi masih bagus. Mau nggak? Lumayan bisa untuk WA-an dan internetan).
Lagi-lagi Fara tertawa kecil mendengar logat ngapak Abinaya yang begitu kental.
“Wah gelem inyong. Maturnuwun banget kuwelah. Mas Abi kawit mbiyen wonge apikan, ora sombong.” (Wah mau aku. Makasih banget lah. Mas Abi dari dulu orangnya baik, nggak sombong). Rangga melirik Fara, “Mba’e beruntung dapetin Mas Abi.”
“Aku juga beruntung dapetin dia. Btw, aku mau pesen nih. Yang paling best seller apa?”
“Banyak Mas. Tapi yang paling maknyus itu ada sushi, takoyaki sama ramen.”
“Ya udah kita pesen itu ya.”
“Minumnya apa Mas?” Rangga mencatat pesanan di buku catatan.
“Jus aja deh. Fara mau apa?” Abinaya melirik Fara.
“Ehm ikut Mas Abi aja,” jawab Fara.
“Jus strawberry boleh lah.”
“Sip, silakan duduk Mas. Tunggu sebentar ya Mas dan Mba.” Rangga berbalik dan melangkah menuju dapur.
Abinaya duduk kembali. Ia melihat Fara tersenyum-senyum.
“Kamu kenapa Far? Baru pertama kali lihat orang ganteng ngomong ngapak ya?”
Fara tertawa kecil, “Iya Mas. Cara bicara Mas Abi dan Rangga lucu banget.”
“Jadi pelawak berarti cocok ya? Hehe..”
“Mas Abi ternyata lucu banget ya. Fara suka senyum-senyum sendiri baca WA Mas Abi termasuk dengerin Mas Abi ngomong.”
Abinaya tersenyum, “Kamu jadi makin cinta kan sama aku? Nggak rugi mah nrima Mas Abi. Jangankan bikin kamu ketawa, bikin melayang juga bisa.”
Fara tertawa pendek.
Rangga kembali mengantarkan pesanan.
“Silakan dimakan Mas ganteng dan Mba cantik.” Rangga menyunggingkan senyumnya.
“Makasih Rangga.” Abinaya tersenyum.
“Ayo Far dimakan. Nggak usah jaim. Makan aja yang banyak.”
Jauh di dalam hati Fara juga ingin makan banyak-banyak, tapi rasanya sungkan. Fara ini tipikal cewek yang doyan makan tapi untungnya badannya tetap langsing. Dia suka makanan Jepang. Rasanya lelah juga harus bersembunyi di balik image cewek cantik dan feminim yang makan sedikit. Akhirnya Fara memutuskan bersikap santai dan makan seperti biasa. Daripada pulang masih dalam keadaan lapar. Ujung-ujungnya beli nasgor di mamang gerobak.
Abinaya tersenyum menatap Fara yang lahap memakan makanannya. Ia ingat di hari pertama mereka makan bareng, Fara tampak malu-malu dan jaim, sekarang dia sudah mulai lepas. Ketika kamu sudah bisa menjadi diri sendiri bersama seseorang artinya kamu sudah merasa nyaman. Abinaya perlu berusaha lebih agar Fara merasa nyaman bersamanya.
“Far mau Mas suapin?”
Fara mendelik, “Malu lah Mas di ruang terbuka gini.”
“Oh maunya di ruang tertutup?” seringai genit terlukis di wajah Abinaya.
“Ih Mas Abi nih..”
Abinaya tertawa, “Habisnya kamu makannya dikit, Mas jadi gemes pingin nyuapin.”
Fara melahap sushi itu dengan lahap.
“Tenang aja Mas. Fara makannya banyak.”
Abinaya tertawa kecil melihat mulut Fara yang penuh dengan makanan.
Semua makanan yang mereka pesan tandas, habis tak bersisa. Abinaya senang melihat Fara makan banyak dan wajahnya terlihat berseri-seri. Sepertinya kencan malam ini bisa dibilang sukses.
Abinaya mengantar Fara pulang ke kost. Mobil berhenti di depan pintu gerbang kost Fara. Fara menatap Abinaya yang tersenyum lembut ke arahnya.
“Makasih banyak ya Mas. Makasih sudah membelikan novel dan ngajak Fara makan malam.”
“Sama-sama Far. Mas juga makasih banyak sama kamu karena malam ini Mas bahagia banget bisa pergi bareng kamu.”
“Ya udah Fara turun dulu ya.”
Rasanya Abinaya tak rela jika perpisahan sementara ini begitu singkat. Abinaya mencengkeram tangan Fara. Fara terdiam dan menunggu Pak Dosen bicara. Dia menduga dosen ganteng itu hendak mengatakan sesuatu.
Mata mereka beradu dan entah kenapa Abinaya menginginkan sesuatu yang lebih romantis. Entah siapa yang menggerakan, Abinaya mendekatkan wajahnya pada wajah Fara. Fara merasa deg-degan bukan main. Wajah tampan Abinaya seakan membiusnya dan membuatnya tak berkutik.
Abinaya tergugu, ragu untuk melanjutkan atau tidak. Seakan ada bisikan mendengung di telinganya.
Udah sikat aja Bi. Rugi amat pacaran nggak ngapa-ngapain. Cma cium doank nggak lebih. Lihat tuh bibirnya, wuihhh menggoda banget bro. Ranum banget. Cipokable banget. Anak SMP aja udah jago ginian, lo udah 29 tahun masa kalah?
Abinaya masih ragu. Fara bingung melihat sikap Abinaya. Mata itu terfokus pada bibir Fara yang serasa memancingnya untuk sekedar mengecup.
Bisikan lain seolah datang.
Istighfar bro istighfar.. Dia belum halal buat lo. Sekali nyoba ntar lo pingin lebih. Jangan jadi cowok murahan. Kalau lo beneran sayang sama itu cewek harusnya lo jaga baik-baik, jangan disentuh dulu.
Abinaya sedikit mundur. Tapi bisikan jahat kembali menggoyahkannya.
Udah jangan buang waktu. Lo kan udah pernah grepe-grepe dia dan ciuman hot sama dia, emang lo nggak pingin ngulang? Yang sekarang pasti lebih enak rasanya karena dia dalam keadaan sadar.
Abinaya kembali mendekatkan wajahnya. Fara semakin berdebar. Ingin dia menolak tapi rasa-rasanya tubuhnya membeku tak bisa digerakkan.
Jangan Bi, jangan. Lo itu dosen Bi, ingat. Kagak pantas kelakuan lo kayak begini. Lagipula lo Muslim Bro. Katanya pingin taubat nggak mau nyium cewek lagi. Ah manis di bibir doang lo, tapi pikiran lo m***m. Gue kecewa sama lo. Lo nggak pingin Allah marah kan?
Abinaya mengerjap kuat-kuat, “Astaghfirullah..”
Fara menatapnya bingung, “Ada apa Mas?”
“Nggak apa-apa.. Ya udah Fara turun gih...Bahaya kalau kelamaan di sini.”
Fara seolah tahu maskud Abinaya, dia sedikit menunduk. Fara turun dari mobil. Sebelum masuk ke pelataran kost, Fara tersenyum menatap Abinaya.
“Hati-hati di jalan Mas.”
“Ya, makasih sayang. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Perasaan Fara berbunga-bunga mendengar Abinaya memanggilnya sayang. Dia melangkah masuk ke kost dengan gempuran rasa yang menggelora.. Apa begini rasanya benar-benar jatuh cinta? Karena saat dia menyukai Gharal, sensasinya tidak seperti ini, benar-benar mendebarkan sekaligus membahagiakan.
Abinaya bersiap melajukan mobilnya, tapi satu pesan WA menghentikannya. Dia membaca satu pesan WA dari Fara yang sudah masuk ke dalam kost.
Makasih banyak Mas Abi, hati-hati ya. Muach.
Abinaya tersenyum bahagia. Fara bisa juga bertingkah alay. Mendadak ia seperti kembali ke masa SMA, benar-benar kasmaran sampai terlihat seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri. Sejenak ia lupa akan umur. Rasanya tak sabar untuk segera membawa Fara ke pelaminan.