Setelah kejadian ciuman paksa itu nampak Reinaldi berdiri di depan cermin.Reinaldi menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Wajahnya tampak kusut, air masih menetes dari dahinya, mengalir perlahan ke dagu. Tangan besarnya mencengkeram sisi wastafel, seolah hanya itu yang bisa menahannya tetap berdiri tegak malam ini.
"Kenapa gue jadi kayak gini?" desisnya lirih.
Dia memejamkan mata, dan bayangan Angel perlahan hadir di benaknya. Angel — perempuan ambisius, elegan, dan penuh strategi. Mereka sudah saling kenal sejak masa kuliah bisnis, dan menjalin hubungan profesional hingga menjadi pasangan.
Enam bulan.
Itu janji mereka.
Setelah Reinaldi berhasil secara resmi duduk sebagai CEO utama menggantikan ayahnya, barulah dia akan menikahi Angel.
Semua sudah mereka rancang — bahkan undangan pra-wedding sudah dibicarakan diam-diam.
Namun sekarang...
Baru seminggu setelah pernikahan kontraknya dengan Faiza, hatinya mulai goyah.
Kenapa?
Bukankah Faiza hanya istri di atas kertas?
Hanya demi menyelamatkan citra keluarganya dan menjalankan strategi bisnis keluarganya yang konservatif?
Tapi mengapa setiap kali melihat Faiza menunduk sopan, atau menyiapkan makanannya dengan hati-hati, atau menatapnya diam-diam dari balik hijabnya... ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar?
Apalagi saat tadi... bibir mereka bersentuhan.
Itu bukan hanya nafsu. Itu emosi.
Ada sesuatu yang meledak dan tak bisa dia cegah.
“Gila…” bisiknya serak, membasuh wajahnya sekali lagi. “Gue bahkan nggak bisa ngelupain tatapan dia.”
Tangannya memukul pelan wastafel.
Dia merasa seperti pengkhianat. Bukan hanya pada Angel… tapi juga pada dirinya sendiri.
Pria yang katanya mampu kendalikan emosi, fokus pada target, dan tegas mengambil keputusan...
Sekarang malah luluh oleh wanita yang bahkan tidak pernah mencintainya — dan mungkin juga tak pernah mau mencintainya.
Reinaldi menghela napas panjang.
Lalu mengambil ponselnya, menatap layar sejenak.
Ada chat dari Angel yang belum sempat dia balas.
“Sayang, kamu baik-baik aja kan di villa itu? Aku yakin cewek itu nggak berani macem-macem. Love u.”
Reinaldi menatap pesan itu lama. Tapi jemarinya tak sanggup membalasnya malam ini." Bagaimana bisa gua tertarik sama Faiza jelas - jelas Angel lebih seksi dan ... jujur Faiza jauh lebih cantik, kecantikannya alami dan juga polos," gumam pelan Reinaldi.
"Arrrrgh, gua benci.... kenapa gua bisa lepas kendali, gimana kalau dia benci sama gua gara-gara kejadian tadi? Angel ... gak boleh tahu tentang ini,"
Ponsel Reinaldi tiba-tiba bergetar di atas meja nakas. Ia baru saja duduk di ranjang, mengenakan kaos tidur dan masih memikirkan ciuman yang dia berikan pada Faiza—istri kontraknya yang perlahan-lahan mulai mengusik hatinya.
Nama Ayahnya muncul di layar: "Dad - Direktur Utama".
Reinaldi sempat ragu mengangkat. Tapi dia tahu, kalau tak diangkat sekarang, ayahnya akan menelepon berkali-kali atau malah muncul besok pagi dengan wajah dingin dan nada bicara yang menusuk.
Dia menarik napas panjang lalu menggeser tombol hijau.
“Halo, Ayah.”
Suara berat dan tegas terdengar dari seberang, tak ada basa-basi.
> “Reinaldi, Ayah ingin kejelasan.”
“Tentang apa, Yah?”
“Tentang istrimu. Faiza. Bulan depan, Ayah ingin mendengar kabar kalau dia hamil.”
Reinaldi membeku. “Apa?”
> “Kita bukan keluarga yang menikah untuk main-main, Reinaldi. Ayah sudah cukup memberi kelonggaran dengan pernikahanmu yang mendadak dan hanya 'formalitas'. Tapi sekarang Ayah ingin hasil. Dalam waktu enam bulan, Faiza harus hamil.”
“Yah, tapi—”
“Kamu CEO sekarang, kamu punya tanggung jawab pada nama besar keluarga. Dan calon pewaris. Itu harga yang harus kamu bayar untuk jabatanmu.”
Klik. Telepon ditutup sepihak.
Reinaldi terdiam lama. Suasana kamar tiba-tiba terasa seperti menjebaknya.
Enam bulan.
Faiza harus hamil?
Tangannya langsung terangkat menutup wajahnya sendiri.
Skenario ini makin rumit. Bukan hanya Angel yang masih menunggu janji lamaran, tapi kini ayahnya menuntut keturunan dari pernikahan kontraknya dengan Faiza.
Padahal… mereka bahkan tidur di kamar terpisah. Tidak ada niat sejak awal untuk benar-benar menjadi suami istri.
Tapi sekarang?
Reinaldi berdiri dan mondar-mandir di kamar.
Pikirannya kacau.
Antara ingin memenuhi tuntutan ayahnya… atau setidaknya bicara jujur pada Faiza tentang tekanan ini. Tapi… bagaimana Faiza akan menanggapinya?
Dan… yang lebih membuatnya risau:
Apakah ia ingin Faiza hamil hanya demi tuntutan keluarga?
Atau… karena jauh di lubuk hatinya, dia mulai ingin memiliki bagian dari Faiza yang akan bertahan selamanya?
---
Langit malam sudah menghitam sempurna. Jarum jam menunjukkan pukul 02.30 dini hari, tapi mata Reinaldi sama sekali tak bisa terpejam. Ia sudah mencoba berbaring, memejamkan mata, mengganti posisi bantal, bahkan sempat menyalakan aromaterapi—tetap saja, pikirannya kacau.
Bayang-bayang suara sang ayah terus terngiang:
“Dalam waktu enam bulan, Faiza harus hamil.”
Kata-kata itu seperti beban tak kasatmata yang menindih dadanya.
Reinaldi bangkit dari ranjang, melangkah pelan ke luar kamar. Langkahnya tak tahu arah—hanya mengikuti kata hati. Sampai akhirnya, ia berhenti di depan pintu kamar Faiza.
Ia ragu sejenak. Tapi cahaya lampu kecil dari dalam kamar membuatnya terdorong membuka pintu perlahan.
Faiza sedang duduk di atas sajadah, masih mengenakan mukena putih dengan wajah bersinar karena wudhu dan ketenangan habis sholat Tahajud. Suaranya lirih melantunkan doa-doa dengan kepala menunduk. Reinaldi terpaku di ambang pintu. Entah kenapa, pemandangan itu membuat dadanya hangat… dan sedikit malu.
Faiza baru sadar kehadiran Reinaldi ketika ia selesai berdoa dan menoleh.
“Mas Reinaldi? Ada apa malam-malam begini?” tanyanya lembut.
Reinaldi terdiam, menunduk sejenak, lalu mendekat dan duduk di pinggir ranjang.
“Aku nggak bisa tidur.”
Faiza tersenyum simpul. Ia melepas mukena, melipatnya rapi lalu duduk di ranjang, menatap suaminya yang terlihat berbeda malam ini—matanya tampak lelah dan gusar.
“Kenapa? Banyak pikiran?”
Reinaldi menatap mata Faiza. Ada kehangatan di sana. Dan entah kenapa, malam itu, Reinaldi merasa ingin jujur.
“Ayah menelepon tadi. Dia... menuntut sesuatu dariku. Dari kita, sebenarnya.”
Faiza menatapnya tanpa bicara, menunggu lanjutan kalimat itu.
“Ayah ingin bulan depan ada kabar... kalau kamu hamil. Dan kalau bisa, dalam enam bulan ini, harus benar-benar terjadi.”
Faiza terdiam.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Wajahnya tak menampakkan ekspresi kaget, tapi jelas pikirannya sedang berpacu.
“Mas, kita ini pernikahan kontrak. Aku pikir kita sepakat untuk tidak melibatkan hal-hal seperti itu…” ucap Faiza hati-hati.
“Aku tahu,” jawab Reinaldi cepat. “Tapi semuanya mulai berubah sejak… aku mulai merasa nyaman di dekatmu. Dan saat Ayah menuntut hal itu, aku malah bingung… karena aku juga nggak yakin apakah ini hanya karena tekanan... atau karena aku mulai ingin sesuatu yang lebih nyata antara kita.”
Hening beberapa saat.
Faiza menghela napas pelan. “Aku bisa ngerti, Mas. Tapi semua ini cepat sekali. Baru seminggu kita menikah.”
Reinaldi menatap Faiza penuh harap. “Bolehkah malam ini… aku tidur di sini? Aku nggak akan ganggu. Aku cuma butuh... kamu. Butuh bicara. Butuh... tenang.”
Faiza terdiam. Tapi akhirnya mengangguk pelan.
Reinaldi berbaring di sisi ranjang, di atas selimut tipis. Faiza ikut merebahkan diri, membelakangi Reinaldi. Tak ada sentuhan. Tak ada niat melanggar batas. Hanya dua orang yang sedang sama-sama bingung… dan lelah.
Dan entah bagaimana, dalam keheningan itu, Reinaldi akhirnya tertidur dengan damai. Untuk pertama kalinya sejak menikah… dia tertidur di ranjang yang sama dengan Faiza. Bukan karena kewajiban. Tapi karena hatinya menemukan tempat berlabuh malam itu.
---
Reinaldi berjalan keluar kamar dengan rambut masih berantakan, mengenakan kaos tipis dan celana tidur. Aroma sarapan yang sedap menyambutnya, membuat perutnya bergemuruh.
Di meja kecil dekat jendela, Faiza duduk sambil menyusun beberapa dokumen dan paspor, wajahnya tenang tapi tak terlalu banyak bicara. Ia mengenakan gamis panjang dan hijab santun berwarna lembut, berbeda dari biasanya. Tatapan matanya masih sedikit redup, sisa dari demam malam tadi.
“Udah bangun?” tanya Faiza datar tanpa menoleh.
“Iya…,” gumam Reinaldi, mengusap lehernya yang tegang. “Kamu masak?”
“Bukan. Itu catering villa,” jawab Faiza singkat. Ia tetap sibuk berkemas, seolah tak mau membuka percakapan lebih jauh.
Reinaldi mengangguk pelan, duduk dan mulai menyendok nasi goreng dari piringnya. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah Faiza yang tampak lebih dingin dari biasanya.
“Kamu masih demam?” tanyanya.
Faiza menoleh sekilas, “Udah turun. Cuma pusing dikit. Nggak usah khawatir, toh ini juga tinggal sehari lagi. Setelah ini, semua kembali ke realita.”
Kalimat itu menohok Reinaldi. Ia tahu maksud Faiza. Tentang kontrak. Tentang perasaan yang tidak boleh berkembang. Tapi kenapa hatinya terasa tidak tenang?
“Faiza…” panggilnya pelan.
Faiza menghentikan kegiatannya, menatap Reinaldi.
“Kalau… kalau kamu beneran hamil nanti, kamu bakal gimana?” tanya Reinaldi lirih, suara seraknya nyaris tenggelam dalam keheningan.
Wajah Faiza mengeras. “Itu gak akan terjadi, Mas. Kontrak kita jelas. Dan aku gak akan jatuh ke lubang yang kita sepakati untuk tidak kita gali.”
Reinaldi terdiam. Nafasnya pelan. Ia sadar, meskipun pernikahan ini legal, tapi hatinya mulai tidak netral. Dan itu berbahaya. Terutama… untuk Faiza. Terlebih lagi, dengan ancaman ayahnya yang ingin cucu secepatnya, waktu hanya enam bulan.
"Suka mengada-ada ya tuh laki-laki tua, enak banget minta cucu. udah kaya minta beli mobil , huffft, tapi... kalo punya anak dari Faizq pasti cantik, and ganteng."
Sore ini mereka akan pulang. Tapi sepertinya perasaan Reinaldi baru saja mulai tersesat di antara kontrak dan kenyataan.
Reinaldi masih menatap kosong ke piring sarapannya yang setengah habis. Detak jam dinding terdengar jelas di ruang villa yang hening itu. Suara koper ditutup Faiza menyadarkannya.
Tanpa menoleh, Faiza berkata lirih, “Mas… aku punya ide.”
Reinaldi menoleh cepat. “Ide apa?”
Faiza menarik napas pelan, lalu duduk di seberang Reinaldi. Tatapannya tenang namun tajam, seperti seseorang yang sudah memikirkan kemungkinan dari berbagai sisi.
“Daripada Mas terus tertekan karena Papa Mas menuntut istri hamil dalam waktu enam bulan… kenapa nggak kita pura-pura aja?” ucap Faiza pelan.
Reinaldi mengernyit. “Pura-pura hamil?”
Faiza mengangguk. “Iya. Kita tinggal di apartemen sendiri, nggak satu rumah dengan keluarga. Jadi nggak ada yang benar-benar bisa memastikan, kan? Aku bisa pakai baju longgar, pura-pura mual kalau lagi ada acara keluarga, dan kita sesekali ke dokter—dokter kenalan yang bisa kerja sama buat simulasi ini.”
Reinaldi mengusap wajahnya, berpikir cepat. Ide itu memang gila. Tapi di sisi lain… juga masuk akal.
“Kalau sampai enam bulan ke depan mereka nggak curiga, dan Mas bisa buktikan Mas sukses pegang perusahaan, kita bisa bilang kandungan gagal berkembang atau keguguran,” lanjut Faiza tanpa ekspresi. “Setidaknya itu ngulur waktu. Dan kita tetap sesuai kontrak.”
Reinaldi terdiam cukup lama. Ia melihat Faiza di hadapannya. Wanita itu terlihat begitu tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang sedang menyusun kebohongan sebesar ini. Tapi Reinaldi tahu, ini bukan tentang ketenangan. Ini tentang pertahanan. Tentang batas.
“Mas setuju?” tanya Faiza akhirnya.
Reinaldi menatap mata Faiza, mengangguk pelan. “Baik. Kita jalanin rencana ini.”
Namun jauh di lubuk hati Reinaldi, ada suara lain yang berbisik:
"Kalau semua ini hanya pura-pura… kenapa aku berharap itu nyata?"