"Assalamualaikum. Mas Adit, maaf, mas Adit pulang jam berapa?"
Pesan itu masuk ke ponselnya menjelang jam 5 sore. Adit mendesah. Pekerjaannya menumpuk. Tapi entah mengapa ia tak bisa menyelesaikan secepat biasanya. Dibalasnya cepat pesan itu
"Malam."
"Kira-kira jam berapa? Biar aku gak kecepetan atau terlambat siapin makan malam."
Adit menimang pekerjaannya yang belum kelar. Dia enggan bertukar pesan. Dia tak ingin terlalu banyak berkomunikasi dengan perempuan itu. Dia akan membangun dinding dengan gadis itu. Perempuan pilihan ibunya. Tapi jarinya seakan tak sinkron dan sudah mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. "7 paling cepat."
"Baik. Aku tunggu. Take care."
Adit menyorongkan ponselnya di meja. Menatap lesu layar laptopnya. Gambarnya belum selesai. Dan dia benar-benar tak punya ide. Otaknya terasa bebal. Satu persatu kawannya berpamitan pulang. Ponselnya kembali berdering. Satu panggilan masuk. Sebuah nama terlihat di sana. Dia menggeser tombol hijau.
"Halo."
"Hai. Katanya sudah balik kantor. Cepet amat?" Suara itu begitu renyah. Sedikit mengejek.
"Banyak kerjaan."
"Aku aja masih libur. Pengantin barunya udah berangkat aja. Gak pengin honeymoon nih Bang?"
"Happy banget lo ya kayaknya kalau gue menderita."
Terdengar tawa renyah di sana. "Oops, situ yang nikah kok situ juga yang menderita. Ya udah lanjutin kerjaannya. Aku mau hang out dulu. See you soon sweetheart. Jangan ngangenin aku lho, suami orang."
Kalimat terakhir Arneta tampak mengganggunya. Benarkah ia merindukan wanita itu. Perempuan cantik yang kelewat independent menurut ibunya. Wanita karir yang perfeksionis. Modern. Mandiri. Tipe perempuan yang tidak akan pernah direstui ibunya untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. Arneta tahu betul itu. Dan entah bagaimana dia seakan tak terluka sama sekali. Apa ia tak punya hati? Atau apa memang benar yang ibunya katakan.
“Perempuan itu tidak pernah tulus mencintai kamu, Mas” kata ibunya suatu hari dengan panggilan sayangnya. Wanita itu entah bagaimana seakan mampu melihat kedalaman hati orang lain. Dan Adit selalu percaya, ibunya tak pernah salah menilai jika menyangkut kebahagiaan anak-anaknya. Tapi, benarkah ia bahagia kini?
"Ya udah. Nikah aja sana sama dia. Aku masih belum mau ribet dengan ibumu itu, Dit. Kalau kamu mau sama aku ya this is me. Terima my whole life atau tidak sama sekali. Lagian aku juga baru 26 tahun kok. Kamu aja kali yang kelewat tua."
Dan di sinilah Adit. Memilih melepas wanita itu. Arneta adalah kekasih yang sempurna. Tapi menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya, Adit sendiri bahkan tak yakin.
Adit melirik jamnya. 15 menit lagi maghrib. Dia mengemasi laptop dan membereskan mejanya. Lalu beranjak pulang.
*
Adit masuk ke apartementnya. Dia mendongak ke atas, dan dilihatnya bayangan Nayla sedang mengenakan mukena. Dia memberi salam membuat perempuan itu tergopoh menjawab dan bergegas turun menyambutnya. Adit meletakkan tas dan pantatnya di sofa.
"Maaf Mas," Nayla berdiri di hadapannya mengulurkan tangannya. Adit menyambutnya. Membiarkan perempuan itu mengecup kembali punggung tangannya seperti pagi tadi. Entah kenapa seakan ada candu di sana diperlakukan demikian. Seakan ada sebuah tempat istimewa untuknya. Membuat egonya sebagai laki-laki serasa ditempatkan sebagaimana mestinya. Dan ada sesuatu yang sedikit memberi ketenangan. Merilekskan otot-otot yang menegang seharian. Inikah yang disebut rumah?
"Aku belum siapin makan malam. Rencananya bada maghrib baru kusiapkan biar gak dingin ketika Mas pulang nanti."
"It's oke."
"Mas mau kusiapkan air untuk mandi?"
"Aku bisa sendiri, Nay."
Nayla tersenyum. Mengangguk pelan. "Mas mau solat bareng?"
"Aku mau mandi dulu."
"Kalau gak lama mandinya bisa aku tunggu."
"Iya."
Adit beranjak ke atas lalu mengambil baju gantinya. Dia terkesiap mendapati isi lemarinya sudah rapi. Hati-hati ia mengambil celana pendek dan kaos oblongnya. Lalu menghilang di kamar mandi.
Nayla mengambil kesempatan untuk meracik makan malam mereka. Dan Adit selesai begitu Nayla memasukkan isi sopnya ke panci.
"Ayo, Nay." Adit melongok ke bawah.
"Iya," ia mengecilkan api kompornya lalu mencuci tangannya. Dan segera naik ke atas menuju tempat solat di sisi ranjang, berdiri di belakang Adit. Lebih tepatnya satu sisi tempat tidur yang kini ia alih fungsikan sebagai tempat solat mereka. Ia tak tahu di bagian ruangan mana biasanya Adit melaksanakan kewajibannya.
Tak seperti pagi tadi ketika Nayla masih duduk khusuk saat Adit berbalik. Kali ini, wanita itu sudah tak ada di belakangnya, lalu tak lama tercium samar harum udang goreng. Adit tersenyum tipis. Sepertinya ia tak perlu repot lagi mencari makanan.
Laki-laki itu turun dengan santai dan meluruskan kakinya di sofa sambil memainkan handphonenya. Menscroll sosial medianya. Termasuk sosial media Nayla. Betapapun ia tak ingin terlalu dekat dengan gadis itu, tapi ia harus tahu gadis semacam apa yang tinggal dengannya. Gadis itu punya beberapa akun i********: yang ia kelola, semuanya akun bisnis kecuali satu akun dengan menggunakan namanya yang tampaknya adalah akun pribadinya. Adit menscroll akun pribadi istrinya yang tidak terkunci, tak satupun ada foto Nayla di sana. Akun itu menjadi semacam blog tempat ia menuliskan lintasan-lintasan pikiran dan perjalanan hidupnya.
"Sudah siap, Mas".
Adit melirik. Nayla mengenakan gamis bunga-bunga warna hijau mint. Rambutnya lurus tergerai melewati pundak. Mereka duduk berhadapan dalam diam. Hingga Adit memulai lebih dulu.
"Kamu ngapain seharian tadi?"
"Beberes. Sambil ngurus toko."
Adit mengangguk. Ia tahu dari ibunya, bahwa Nayla punya satu toko online yang ia rintis sejak beberapa tahun lalu. Bahkan sekarang ia sudah punya ruko sejak setahun lalu. Adit tidak tahu bahwa itu adalah ruko kedua orangtuanya yang sedianya mereka persiapkan untuk anak laki-lakinya itu seandainya saja mau pulang dan menetap di kota kelahirannya. Ruko itu bisa ia jadikan kantor konsultan arsitektur untuknya.
"Nay, kalau kamu mau keluar."
"Iya, Mas. Aku tahu. Mas sudah menuliskan dengan jelas di weeding aggreement kita," Nayla memotongnya dengan lembut tapi tegas.
Adit mengangguk. Mereka makan dalam diam. Dan ketika laki-laki itu hendak bangkit membawa piring kotornya, Nayla mencegahnya.
"Biar aku yang bereskan, Mas."
Adit hanya mengangguk. Merebahkan tubuhnya di sofa sebentar. Lalu beranjak menuju ruang kerjanya tepat setelah Nayla selesai membereskan meja makan dan perkakas yang kotor.
"Mas Adit mau kubuatkan sesuatu?"
Adit menatapnya. Wajah tulus di hadapannya membuatnya enggan. "Kopi boleh. "
Nayla mengangguk. Seketika aroma wangi memenuhi apartemen kecil itu. Dan wangi itu kelak menjadi candu tersendiri buat Adit.
Nayla mengetuk ruang kerja Adit. Mengantarkan satu cangkir kopi.
“Masuk.”
Dia hendak membuka handle pintu. Tapi kemudian ia teringat perkataan laki-laki itu, ia tak boleh masuk ke ruang kerjanya. “Yakin Mas aku boleh masuk?”
Adit mendesah. Bahkan ia sendiri yang lupa kalau ia pernah melarang padahal baru satu hari. Dia mengalah bangkit. Lalu membuka pintu dan mengambil kopinya.
“Aku di atas jika Mas Adit membutuhkan sesuatu.”
Laki-laki itu hanya mengangguk. Nayla lalu naik ke atas, mengambil handphone dan buku kecil, duduk di atas ranjang. Dia tampak melakukan beberapa hal bergantian. Melihat layar ponsel. Menulis. Mengetikkan sesuatu. Begitu berulang kali.
***