Sementara Argha yang belum mau menikah, dan berencana menggunakan ibu pengganti yang sudah direncanakan, ternyata gagal karena sampel miliknya sudah digunakan karena kesalahan perawat.
"Aku ingin kalian mencari wanita tersebut, aku harus memastikannya, karena dia bisa saja mengandung benihku." Argha menatap tajam ke arah sekelilingnya. Membuat perawat dan dokter gemetar.
"Maaf tuan, aku tidak sengaja, sungguh saya benar-benar tidak sengaja, ampuni saya, jangan laporkan saya. Saya kehilangan izin praktek saya." Dokter Ana berlutut dihadapan Argha, begitu juga perawatnya Mitha.
"Kita lihat nanti dokter, jika wanita itu ditemukan, dan dia tidak menggugurkannya mungkin aku bisa mempertimbangkannya, tapi jika sebaliknya aku pasti akan membuat perhitungan dengan kalian!" Dengan suara rendah namun menekan, Argha menatap tajam ke arah dokter dan perawat tersebut.
"Cari sekarang juga, wanita itu."
"Baik pak." Deni langsung bergegas dan Argha meninggalkan Rumah sakit tersebut.
"Alula Azzahra," gumam Argha, sambil melihat biodata wanita tersebut.
Arga merasa canggung ketika mendengar undangan makan malam dari orang tuanya. Ini bukan kali pertama mereka mengajaknya, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Orang tuanya selalu berusaha menjodohkannya dengan wanita yang mereka anggap sempurna untuknya, dan sepertinya malam itu mereka sudah memilih calon yang tepat.
Setelah beberapa pertimbangan, Arga akhirnya memutuskan untuk datang. Ketika sampai di rumah orang tuanya, suasana terlihat hangat dengan tamu yang telah menunggu. Meja makan dipenuhi dengan hidangan lezat, dan orang tua Arga menyambutnya dengan senyum penuh harapan.
Namun, ada satu hal yang langsung menarik perhatian Arga. Seorang wanita yang duduk di meja makan, terlihat anggun dan cantik dengan senyuman yang sopan, mengenakan gaun elegan. Ia mengenali wanita itu sebagai salah satu teman keluarga yang cukup terkenal di kalangan sosialita.
"Siapa wanita itu?".gumam Argha.
Wanita itu, bernama Bella, terlihat sangat sempurna dengan cara berbicara dan sikap yang penuh perhatian.
"Arga, ini Bella," ibu Arga berkata dengan senyum hangat, memperkenalkan wanita itu padanya. "Dia sangat cocok untukmu, anakku. Kalian bisa saling mengenal lebih baik malam ini."
Arga hanya tersenyum tipis dan menyapa Bella dengan sopan, meski hatinya merasa tertekan. Ia tahu tujuannya berada di sana bukan untuk makan malam atau berbicara soal pekerjaan, tapi lebih kepada perjodohan yang orang tuanya harapkan.
"Saya senang bertemu dengan Anda, Arga," kata Bella, matanya berbinar. "Semoga kita bisa saling mengenal lebih dekat."
Arga hanya mengangguk, mencoba untuk tetap bersikap profesional dan tidak memberikan ekspresi yang menunjukkan ketidaknyamanan. Selama makan malam, Bella tampaknya berusaha keras untuk mencuri perhatian Arga, berbicara tentang berbagai topik yang bisa membuatnya terlihat mengesankan. Arga merasa sedikit canggung, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaksenangannya.
Di satu sisi, ia menyadari bahwa ini adalah bagian dari kehidupan yang diinginkan orang tuanya untuknya—sebuah perjodohan yang seolah-olah sudah diatur, di mana segala sesuatunya tampak sempurna. Namun Argha masih belum bisa melupakan masa lalunya.
Malam itu, Arga terus berusaha fokus pada percakapan, meski pikirannya terus tertuju pada wanita yang kini tengah berusaha membuat jarak antara dirinya dan masa lalunya semakin jauh. Bella, dengan segala kesempurnaannya, tampaknya tidak mampu menggantikan tempat yang pernah diisi oleh seseorang yang telah memberikan kesan mendalam di hati Arga.
Namun, di balik sikapnya yang tampak tenang, Arga tahu ada sesuatu yang sedang bergolak dalam dirinya—perasaan yang ia coba hindari, tapi tak bisa ia pungkiri.
Malam itu pun berlanjut dengan suasana yang serba formal. Arga tahu, meskipun orang tuanya menginginkan kebahagiaannya, ada hal-hal yang lebih dalam yang tidak bisa dipaksakan begitu saja.
Arga merasa semakin tertekan dengan pertemuan yang berlangsung, dan meskipun ia mencoba bersikap santai, hatinya terasa berat. Setelah beberapa saat berbicara dengan Bella, ia merasa bahwa segala sesuatu yang diinginkan orang tuanya tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ia pun akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya.
"Ma, Pa, saya ingin bicara sebentar," kata Arga dengan nada yang serius. Orang tuanya menatapnya dengan perhatian.
"Kenapa, Nak? Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya ibunya dengan lembut, sedikit khawatir.
"Saya minta waktu untuk berpikir dulu," jawab Arga, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meskipun ada rasa gelisah dalam dirinya. "Saya tidak merasa siap untuk melangkah ke arah itu saat ini."
Ayah Arga memandangnya dengan serius. "Arga, kamu sudah dewasa, dan kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Bella adalah wanita yang baik, dan kami percaya dia bisa menjadi pendamping hidupmu."
Arga menghela napas panjang. "Saya mengerti, Pa, Ma. Tapi saya benar-benar ingin mempertimbangkan semuanya. Saya butuh waktu untuk berpikir dan memutuskan dengan kepala dingin, bukan karena tekanan."
Arga terlihat terdiam usai mendengar ultimatum dari Tuan Arya Bimantara, ayahnya. Di ruang makan besar yang penuh kemewahan itu, suara pria tua berwibawa itu bergema keras, penuh tekanan:
> "Kamu anak lelaki satu-satunya, Arga. Kalau sampai kamu tak menikah dan punya keturunan, posisimu sebagai penerus bisa digantikan oleh Aldric. Ingat, ini bukan hanya tentang kamu, tapi tentang masa depan keluarga Bimantara!"
Arga menunduk. Ia memang belum ingin terikat dalam pernikahan yang dijodohkan, apalagi hanya demi warisan. Namun desakan sang ayah membuat pikirannya kacau. Sepupunya, Aldric, memang ambisius dan selalu mencari celah untuk menjatuhkan Arga.
Arga keluar dari rumah megah keluarga Bimantara dengan langkah cepat dan napas tertahan. Sorot matanya tajam menahan emosi. Ia menolak jadi boneka pewaris semata. Duduk di mobilnya, ia segera mengambil ponsel dan menelepon Deni, asistennya yang sudah ia percaya bertahun-tahun.
"Den, soal kasus perempuan yang sempat salah prosedur inseminasi, kamu masih simpan datanya? Aku ingin tahu detailnya. Nama, latar belakang, semuanya."
Deni terdengar terkejut di seberang sana.
"Tuan Arga, memangnya Anda masih tertarik dengan kasus itu? Wanita itu sepertinya sudah bercerai, dan dia sekarang tinggal.di sebuah rumah kost,"
"Justru karena itu aku ingin tahu. Kirim semua data ke emailku sekarang. Aku perlu tahu siapa dia."
"Ini pak,"
Argha langsung menerima file tersebut dan membukanya.
"Alula Azzahra," ucap Argha. Dia merasa pernah mendengar nama itu.
----
Nama Alula Azzahra kini memenuhi benak Argha. Ia tak pernah membayangkan bahwa suatu kesalahan kecil bisa membuat seorang perempuan yang bahkan tak dikenalnya, mungkin saja mengandung anaknya.
Ia mencoba mencari lewat sistem data rumah sakit, namun informasi yang ia terima sangat terbatas. Alula sudah tidak lagi tinggal di alamat yang terdaftar, nomor teleponnya pun sudah tidak aktif.
“Bagaimana mungkin kalian tidak tahu keberadaannya?” tanyanya tajam pada pihak klinik.
Pihak rumah sakit hanya bisa menunduk. Mereka tahu, jika berita ini sampai keluar, reputasi mereka akan hancur. Mereka berusaha melindungi Alula dengan dalih privasi pasien, meski mereka juga menyimpan rasa takut akan gugatan dari Argha.
"Maaf sekali tuan, sungguh ini di luar kemampuan kami melacak.alamat baru Nyonya Alula, karena dia kini sudah bercerai dan tidak lagi bersama suaminya.
Hari-hari berikutnya, Argha menyewa orang untuk melacak keberadaan Alula. Ia bahkan meminta bantuan rekan media untuk mencari data melalui artikel kesehatan dan program fertilitas. Namun, hasilnya nihil.
"Deni, lacak keberadaan wanita, bagaimanapun caranya!" Suara Argha datar namun dengan nada menekan.
Alula seolah menghilang begitu saja. Yang Argha tahu hanyalah satu: perempuan itu kini telah bercerai, dan entah mengandung anaknya atau tidak.
Di sisi lain, Alula tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana, menjauh dari hiruk-pikuk kota dan masa lalunya. Ia tak menyadari bahwa ada seorang pria yang tengah mencarinya karena sebuah kesalahan yang tak pernah ia ketahui.
Namun hidup memang punya cara sendiri mempertemukan dua orang yang ditakdirkan bertemu.
Satu bulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Alula perlahan bangkit dari keterpurukannya. Ia mulai fokus menulis dan menuangkan ide-ide kreatifnya dalam bentuk naskah cerita dan ilustrasi digital.
Saat itu, sebuah kompetisi pencarian bakat kreatif nasional membuka kesempatan bagi penulis dan ilustrator muda. Tanpa banyak harapan, Alula mengirimkan karyanya.
Tak disangka, namanya terpilih sebagai salah satu dari tiga finalis. Tahap terakhir: wawancara langsung dengan dewan juri untuk memastikan orisinalitas karya.
Hari wawancara tiba. Alula datang dengan tampilan sederhana, mengenakan gamis dan kerudung biru lembut. Ia duduk di ruang tunggu bersama dua finalis lainnya. Perasaan gugup bercampur bangga.
Ketika namanya dipanggil, ia melangkah masuk ke ruang panel.
Di hadapannya duduk tiga orang juri.
Salah satunya adalah Argha.
Alula tidak mengenal pria itu. Tapi Argha, begitu melihatnya—terdiam. Nama itu. Alula Azzahra. Ia berdiri pelan, seolah memastikan pandangannya tak salah.
Suasana hening sejenak.
“Karya Anda sangat menyentuh,” ucap Argha akhirnya, mencoba profesional. “Tapi boleh saya tahu, karya ini benar-benar hasil pemikiran Anda sendiri?”
Alula mengangguk dengan tenang. “Ya, Pak. Saya tidak punya apa-apa selain ini.”
Ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Argha yakin: inilah perempuan itu. Perempuan yang selama ini ia cari.
Namun, Argha tak langsung mengatakan apa pun. Ia memutuskan untuk mengikuti alur—karena ini bukan hanya tentang kesalahan rumah sakit. Ini tentang masa depan… yang bisa berubah selamanya.
Berikut kelanjutan cerita dengan plot dramatis:
---
Wawancara berjalan cukup lancar, meski wajah Alula mulai terlihat pucat. Sejak pagi ia belum sempat makan, mual-mual hebat membuat perutnya sulit menerima apa pun. Ia berusaha bertahan, menjawab semua pertanyaan Argha dan juri lainnya dengan tenang.
Namun tubuh punya batas.
Ketika Argha melemparkan pertanyaan terakhir, suara Alula mulai melemah. Pandangannya kabur. Ia berusaha menahan rasa pusing yang kian menggelayut.
Lalu semuanya gelap."Bruk." Tubuh Alula terjatu
"Alula!" seru Argha, bangkit dari kursinya saat tubuh gadis itu tumbang di lantai.
Tim medis perusahaan segera dipanggil. Argha ikut membantu mengangkat Alula ke klinik perusahaan yang berada di gedung yang sama. Wajahnya diliputi kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.
Beberapa saat kemudian, seorang perawat keluar dari ruang pemeriksaan, membawa hasil pemeriksaan awal.
"Pak Argha... pasien dinyatakan hamil. Sudah masuk minggu ke-6"
Argha terdiam. Dunia seolah berhenti sejenak.
Minggu ke-6
Tepat waktunya dengan prosedur inseminasi yang terjadi dua bulan lalu. Tak ada lagi ruang untuk keraguan.
Alula sedang mengandung anaknya.
Ia menatap ke dalam ruang pemeriksaan. Alula masih terbaring, belum sadar, dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya lelah, tapi ada ketenangan yang aneh.
Argha mengepalkan tangannya. Ia harus bicara. Ia harus bertanggung jawab. Tapi ia juga tahu—ia tak bisa langsung mengobrak-abrik hidup Alula lagi… terutama sekarang.
"Apakah dia wanita itu, Alula Azzahra?" Batin Arga berkecamuk. Bagaimanapun Alula baru saja resmi bercerai 2 minggu lalu. Sedang Argha hanya ingin menyewa ibu pengganti untuk mengandung bayinya.
Tapi melihat Alula, dia seperti tidak tega, melihat kondisinya yang lemah, Alula masih belum tahu jika dia hamil, dan bayi yang dikamdungnya bukan benih mantan suaminya.
"Aku harus mengatakannya bagaimana pun caranya," gumam pelan Argha.
••••••••••••
Alula perlahan membuka mata. Cahaya putih dari lampu klinik membuatnya menyipitkan mata. Kepalanya masih sedikit pusing, tapi ia bisa mendengar suara samar-samar dari luar ruangan. Perawat masuk dengan senyum lembut.
“Syukurlah kamu sadar. Kamu sempat pingsan. Sekarang sudah lebih baik, kan?”
Alula mengangguk pelan. “Kenapa saya bisa pingsan?” tanyanya lemah.
Perawat itu menatapnya dengan hati-hati, lalu duduk di sisi tempat tidur.
“Anda hamil nona, Alula. Sudah masuk usia 6 minggu .”
Alula terdiam.
Napasnya tercekat. Ia menatap perutnya yang belum menampakkan apa-apa, lalu menatap perawat itu lagi, berharap ada koreksi. Tapi tidak ada.
“Itu... tidak mungkin. Aku belum merasakan apa-apa…”
Perawat tersenyum lembut. “Setiap orang berbeda. Tapi hasilnya sangat jelas. Kami sudah lakukan dua kali pemeriksaan untuk memastikan.”
Alula menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar—antara syok dan tak percaya. Air mata menggenang di sudut matanya. Selama ini ia mengira program inseminasi itu gagal. Di tengah perceraian dan kesedihannya, ia bahkan sempat kehilangan harapan untuk jadi seorang ibu.
Tapi sekarang…
Dia hamil.
"Akhirnya aku hamil, mas Reinaldi dia... takkan menginginkan bayi ini, dia pasti akan memilih wanita itu."
Sementara itu, di luar ruangan, Argha masih berdiri, memandangi pintu dengan gelisah. Ia mendengar segalanya. Tapi kini pertanyaan besar muncul di kepalanya—bagaimana ia bisa mengatakan yang sebenarnya tanpa menghancurkan hati perempuan itu?
Karena sekuat apapun kebenaran, tak semua orang siap menerimanya begitu saja.
"Tok tok tok." Suara pintu terdengar diketuk.
"Eh, pak Argha, silahkan masuk pak." Alula menyambutnya dengan senyum polos.
"Ada yang ingin...saya bicarakan sama kamu."
"Euuh, terkait desain saya ya pak?" Tanya Alula.
"Bukan!"
"Lalu apa?"
Bersambung...