Mulai Ngidam

1810 Kata
Kabar tentang Alula yang tampaknya mendapatkan perhatian khusus dari Arga mulai menyebar dengan cepat di antara para staf. Dalam beberapa hari setelah kejadian malam itu, Alula merasakan perubahan kecil di lingkungan kerjanya. Beberapa dari rekan-rekannya yang biasanya tidak terlalu memperhatikan, kini mulai memandangnya dengan tatapan yang berbeda. Ada bisik-bisik yang tidak bisa disembunyikan, terutama di kalangan staf wanita. Di ruang istirahat, beberapa wanita dengan cepat membicarakan hal itu. "Kamu lihat tadi? Arga antar Alula pulang malam-malam. Biasanya dia nggak peduli sama siapa pun." kata Sarah, salah satu staf desain yang cukup dekat dengan Alula, sambil melirik Alula yang baru masuk ke ruangan. "Iya, aku juga dengar. Kayaknya mereka punya hubungan lebih dari sekadar rekan kerja deh." jawab Maya, yang duduk lebih jauh, tapi tetap ikut terdengar obrolannya. Alula mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya, tetapi ada yang terasa berbeda. Setiap kali ia melintas di ruang terbuka, beberapa wanita tampak diam-diam mengamati langkahnya, beberapa bahkan bisik-bisik. Rasanya tak nyaman, meskipun ia tahu bahwa hal itu adalah dampak dari perhatian yang tak biasa dari Arga. Hari itu, saat mereka sedang bekerja bersama di ruang rapat, Arga yang biasanya dingin dan tak menunjukkan ekspresi lebih dari profesionalitasnya, kali ini memberikan perhatian lebih kepada Alula dalam sebuah diskusi mengenai desain proyek terbaru. "Alula, kamu sudah revisi bagian ini, kan?" tanya Arga, menatapnya lebih lama dari biasanya. Para staf lain yang ada di ruangan itu saling berpandangan. Ada rasa ingin tahu yang membuncah di antara mereka. Bahkan beberapa dari mereka mulai mempertanyakan apakah selama ini Arga menyimpan rasa pada Alula, mengingat sikapnya yang berbeda. Tapi Alula, yang mulai merasa tidak nyaman dengan perhatian tersebut, berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. "Iya, Pak. Semua sudah siap." jawabnya dengan tenang, meskipun di dalam hati ia merasa sedikit cemas. Setelah rapat selesai, beberapa rekan wanitanya mulai mendekatinya, mengajukan pertanyaan yang lebih personal. "Alula, kamu dan Pak Arga dekat banget ya sekarang?" tanya Linda dengan senyum yang agak menggoda. Alula mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kami hanya bekerja sama, Linda. Tidak ada yang istimewa." Namun, meskipun Alula berusaha menjaga jarak, ia tak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh. Perhatian Arga yang tak biasa itu membuatnya ragu-ragu. Ia tak ingin terjebak dalam gosip atau drama kantor, tapi di sisi lain, ia merasakan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sementara itu, di balik pintu ruang kerjanya, Arga yang selalu menjaga jarak dan tidak pernah terlibat dalam percakapan pribadi, tetap memperhatikan Alula dengan cara yang berbeda—meskipun ia berusaha menjaga sikap profesional. Kini, Alula merasa ada ketegangan baru di antara mereka berdua, sebuah garis tipis antara perasaan yang mungkin mulai tumbuh, dan batasan yang harus mereka pertahankan di tempat kerja. "Ingat Alula, dia perhatian karena bayi dalam kandunganmu!" Alula berbisik. Hari ini, Alula harus mempresentasikan desain proyek untuk klien penting. Ia sudah mempersiapkan segalanya dengan matang, menghabiskan berjam-jam untuk menyusun presentasi yang sempurna. Namun, saat ia membuka laptopnya untuk memulai, tiba-tiba terjadi masalah yang sangat mengejutkan. "Mana file presentasinya? Kok nggak ada?" gumam Alula dengan panik, mengklik beberapa kali file yang seharusnya sudah ada di layar. Detak jantungnya semakin cepat saat ia menyadari bahwa file yang sudah ia persiapkan tidak ada di foldernya. Ia mencoba mencari di beberapa lokasi lain, namun tetap tidak bisa menemukannya. Tubuhnya mulai keringat dingin, sementara waktu terus berjalan. Manajer proyek, Pak Darmawan, yang sudah menunggu di depan, mulai terlihat kesal. "Alula, waktunya sudah habis. Kenapa presentasinya belum siap? Kamu harusnya sudah mempersiapkan lebih baik!" suaranya mulai meninggi, menambah ketegangan yang sudah ada. Alula berusaha tetap tenang meski dalam keadaan panik. "Pak, saya benar-benar sudah mempersiapkan file itu. Mungkin ada masalah teknis pada laptop saya. Saya akan coba mencari lagi." Namun, Pak Darmawan tidak terlihat senang dengan alasan tersebut. "Ini bukan pertama kalinya. Kamu selalu punya alasan. Klien sudah menunggu, dan kamu malah tidak bisa menunjukkan apa yang sudah kamu buat. Ini sangat mengecewakan." Alula merasa terpojok. Dia mencoba menjelaskan lebih lanjut, "Saya benar-benar minta maaf, Pak. Saya tidak tahu kenapa file itu hilang. Saya sudah bekerja keras untuk mempersiapkan semuanya." Namun, Pak Darmawan tetap tidak menerima alasan itu. "Tidak ada alasan untuk ini, Alula. Kamu tidak bisa membiarkan hal seperti ini terjadi, terutama dalam pekerjaan yang sebesar ini. Kamu harus lebih bertanggung jawab." Mata Alula terasa panas. Ia merasa sangat tersudutkan, dan meskipun ia tahu ini bukan kesalahannya, ia tidak bisa membela diri lebih jauh. Semuanya terasa seperti berantakan di depan matanya. Sebagian staf lain yang ada di ruang presentasi mulai berbisik-bisik, beberapa dari mereka mengamati dengan tatapan yang kurang bersahabat. Saat itu, Arga, yang mendengar keributan dari luar ruang presentasi, masuk ke dalam dengan wajah serius. "Ada apa ini?" tanyanya dengan nada dingin namun penuh perhatian. Pak Darmawan segera menjelaskan situasinya. "Alula gagal menyiapkan presentasi tepat waktu. File-nya hilang entah ke mana." Alula melihat Arga meliriknya sejenak sebelum akhirnya menatap Pak Darmawan. "Saya akan menanggung tanggung jawab atas kejadian ini." Arga berkata dengan tenang. "Namun, saya ingin memberi Alula kesempatan untuk mencari solusinya terlebih dahulu." Pak Darmawan terlihat sedikit bingung, namun tidak bisa berbuat banyak. "Ini bukan waktunya untuk memberi kesempatan, Arga. Klien sudah menunggu." Arga tetap bersikap tenang. "Saya akan bicara dengan klien, dan kita akan pastikan mereka tetap tenang. Alula, jika ada yang bisa dilakukan, saya akan bantu." Alula menatap Arga dengan rasa terima kasih yang sulit diungkapkan. Meskipun situasi ini sangat tidak menyenangkan, Arga tetap memberi dukungan, tidak seperti yang lain. Namun, Alula tahu bahwa hal ini akan mempengaruhi cara orang melihatnya. Jika tidak segera menemukan solusi, ia bisa saja kehilangan kepercayaan dari banyak pihak. Dengan perasaan cemas, ia mulai mencoba untuk mencari file tersebut dengan segala cara, sementara Arga membantu menghubungi klien untuk mengatur ulang waktu presentasi. "Saya sudah mengatur ulang jadwal presentasinya, kamu jangan khawatir." Argha mengangguk pelan, mengisyaratkan pada Alula agar jangan panik. "Terima kasih pak." Di tengah kecemasan dan ketegangan yang mencekam, Alula merasa untuk pertama kalinya, ada seseorang yang peduli dan memberinya kesempatan. Akhirnya presentasi bis dilaksanakan dengan baik. Alula nampak percaya diri. Setelah kejadian yang menegangkan itu, Alula kembali fokus pada pekerjaannya. Meskipun masih ada rasa kecewa yang mengganjal dalam dirinya, dia berusaha untuk tetap profesional. Dia menyadari bahwa dunia kerjanya tidak akan berhenti hanya karena masalah pribadi, dan ini adalah kesempatan besar untuk membuktikan kemampuannya. Suatu hari, Arga mengundangnya untuk makan siang bersama. "Alula, saya ingin kamu ikut makan siang dengan saya dan beberapa arsitek dari proyek baru. Mereka sedang mengerjakan desain untuk proyek besar yang akan kita jalani, dan saya ingin kamu ikut berbicara soal desain interiornya." Alula sempat ragu. Meskipun ia merasa lebih nyaman bekerja dalam kesendirian atau dengan tim kecil, undangan ini adalah kesempatan untuk membuktikan kemampuannya di hadapan para profesional lain, apalagi Arga mempercayainya. "Baik, Arga. Saya akan ikut," jawab Alula, meskipun dalam hatinya ada rasa cemas. Ia belum terbiasa berinteraksi dalam lingkungan seperti ini setelah lama tidak bekerja. Makan siang itu berlangsung di restoran mewah yang biasa dipilih oleh Arga untuk bertemu dengan klien atau rekan bisnis. Meja besar dengan pemandangan indah dari jendela membuat suasana makan siang terasa sedikit lebih formal. Saat Alula datang, Arga sudah berada di sana, duduk di samping dua arsitek lainnya yang sangat tampak profesional dan penuh percaya diri. "Selamat datang, Alula," sapa Arga sambil memberi kursi untuknya. Alula duduk di hadapannya, sedikit terintimidasi oleh suasana yang cukup berbeda dari apa yang biasa ia hadapi. Namun, Arga yang duduk di sampingnya memberikan rasa tenang, memberikan senyum ringan seolah memberi semangat. Mereka mulai berbicara mengenai proyek yang akan datang. Arsitek yang ada di meja itu tampaknya sangat antusias mengenai desain yang akan digunakan, dan setiap diskusi melibatkan berbagai ide dan opini. Alula mendengarkan dengan seksama, mencatat beberapa hal yang menarik, dan sesekali mengemukakan pendapatnya mengenai desain interior yang akan dipilih untuk proyek tersebut. Namun, meskipun pembicaraan tersebut berjalan lancar, Alula merasa sedikit canggung. Dia sadar bahwa meskipun dia bisa mengikuti percakapan itu, dia juga merasa sedikit tersisih karena dua arsitek lainnya lebih dominan dalam diskusi. Setelah beberapa saat, salah satu dari arsitek itu melihat ke arah Alula dan bertanya, "Alula, menurutmu bagaimana? Kami ingin mendengar pendapatmu tentang desain interior yang kami usulkan." Alula terkejut, namun dia memutuskan untuk berbicara. "Saya pikir desain ini sangat modern dan futuristik, tetapi kita juga perlu mempertimbangkan kenyamanan bagi penghuninya. Terkadang, estetika bisa berseberangan dengan kenyamanan. Saya rasa kita bisa menambahkan beberapa elemen yang lebih hangat dan lebih personal, agar ruangan ini tidak terasa terlalu kaku." Arga tersenyum puas mendengar jawaban Alula, dan sepertinya dua arsitek lainnya pun menyadari bahwa pendapatnya sangat berharga. Pembicaraan itu kemudian berlanjut dengan lebih fokus pada sisi desain yang lebih nyaman namun tetap elegan. Saat makan siang berakhir, Arga memberikan beberapa pujian pada Alula. "Terima kasih atas masukannya, Alula. Itu sangat berguna." Alula merasa lebih percaya diri setelah pertemuan itu. Ia bisa melihat bahwa Arga sangat menghargai pendapatnya, dan itu memberinya dorongan untuk terus berkembang dalam pekerjaannya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. " "Alula, ada apa, kok enggak makan?"Tanya Argha. "Saya...cuma mau makan rujak tumbuk pak, kayanya segar, pedes dibanding dengan makanan di restoran mewah ini." Alula sambil memegang perutnya. "Tapi ..kamu harus mendapat nutrisi, ingat kamu mengandung anak saya!" Argha menunjuk ke arah perut Alula. "Ini anak saya, sebaiknya anda tidak usah berlebihan." Alula mencebikkan bibirnya. Dia lupa jika Argha atasannya. "Huhh, baiklah, kita akan cari rujak tumbuk itu, tapi makanlah steak ini sedikit, untuk asupan gizi kamu dan bayi kita." "Kita? ini anakku, kamu cuma benih aja pak!" Alula lebih sensitif sekarang. Emosinya naik turun. "Baik, kalau begitu ayo kita nikah, supaya aku bisa memiliki bayi itu ." Argha menegaskan, kali ini dia menatap tajam ke arah Alula. " Tidak mau, aku belum masa idah, 2 bulan lagi, masa idahku selesai. Lagipula menikah itu bukan main-main." Argha teringat pesan sang ayah, dan ini merupakan jalan untuknya mendapat apa yang dia inginkan dan menguatkan posisinya. "Baiklah, kalau begitu setelah anak itu lahir kita bercerai, dan kita membuat surat kontrak pernikahan. Bagaimana, apakah kamu setuju?" "Aku baru saja terluka, karena dikhianati, bagaimana mungkin aku harus menerima perceraian kedua kalinya." Alula dengan suara bergetar. "Lalu? kamu maunya apa? "Sudah ahh, aku makin mual disini." Alula berdiri dari tempat duduknya. "Oke, pikirkanlah, satu milyar akan aku berikan untukmu, asalkan kamu mau menikah denganku, setidaknya... sampai anak itu lahir jika kamu mau." Alula berlalu pergi dan Argha mengejarnya. "Hei... tunggu!" Argha bergegas menghampiri Alula. "Ayo aku antar." "Kemana?: "Katanya mau makan rujak tumbuk, ayo.." Alula nampak tak menjawab. Argha membukakan pintu untuknya. "Silahkan nyonya," ujar Argha dengan tersenyum tipis. "Enggak perlu berlebihan begitu, aku enggak suka." Argha melajukan mobilnya menyusuri jalanan, mencari pedagan rujak tumbuk. "Berhenti! Itu dia, ayo turun." Argha menghentikan mobilnya. Alula dengan mata berbinar. "Pak, saya mau rujaknya satu ya, yang pedas, eh tapi... sebentar pak." Alula menghentikan ucapannya. "Ada apa neng." "Pak Argha, kayaknya...anak kamu, mau rujak tumbuk... tapi papanya yang numbuk. Ayolah." "Hahhh, aku... suruh numbuk?" Argha terperanjat. "Iya ... ayolah... Apakah Argha bersedia mengikuti keinginan Alula ? bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN