Flora melangkah keluar dari ruang makan dengan elegan, dagu sedikit terangkat, nafasnya ringan seperti baru saja selesai menikmati kemenangan kecil. Pintu ruang makan hampir tertutup saat ia berhenti.
Ada sesuatu Sebuah dorongan halus dalam dirinya. Ia menoleh kembali. Tangannya menahan daun pintu. Matanya menyipit sedikit.
Flora lalu membuka pintu selebar dua jari—cukup untuk mengintip tanpa ketahuan.
Di dalam ruangan Anita berdiri mematung selama beberapa detik setelah Flora pergi. Suara langkah majikannya memudar di lorong. Pelayan lain sudah bergegas keluar setelah memastikan semua bersih.
Tinggallah Anita. Sendirian. Dengan piring bekas Flora di meja.
Ia menelan ludah. Lapar itu tidak main-main.
Perutnya berkerut seolah meninju bagian dalam tubuhnya.
Ia memandang pintu, menunggu, memastikan tidak ada yang kembali. Tidak ada suara langkah. Tidak ada Ratna.
Anita mengusap perutnya sekali… dua kali…
Lalu ia melakukan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak pernah bayangkan.
Ia menarik kursi tempat Flora duduk tadi. Perlahan. Takut-takut.
Kursi mewah, penuh aroma parfum halus nyonya rumah.
Anita menatap piring itu—piring mahal, dengan sisa potongan salmon dan saus lemon butter yang masih berkilau.
“Sedikit saja…” bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.
Ia duduk.
Kursi itu terasa begitu lembut di bawah tubuhnya yang sudah lelah bekerja seharian. Untuk sesaat, ia menutup mata, membiarkan rasa lega yang sangat singkat mengalir.
Lalu ia mengambil garpu.
Dengan tangan bergetar, ia memungut sisa salmon yang tidak disentuh. Ia memasukkannya ke mulut.
Begitu rasa lembut salmon dan hangatnya saus menyentuh lidahnya, mata Anita berkaca-kaca. Ia menutup bibir, menahan isak kecil. Entah karena nikmat, entah karena malu. Ia makan perlahan, takut ketahuan, tapi tidak bisa berhenti.Karena itu satu-satunya makanan sejak pagi. Dan itu terasa seperti surga.
Dari balik pintu Flora menyaksikan semuanya.
Satu alisnya naik sedikit. Bibinya menekuk menjadi senyum yang begitu pelan namun sangat tajam. Ada rasa puas yang menelusup ke dalam dirinya. Sangat puas.
“Dulu kau memperlakukanku seperti sampah yang tak pantas duduk di meja makan. Sekarang lihatlah… kau bahkan makan dari piring bekas yang kutinggalkan.”
Flora memiringkan kepala, senyum dingin menghiasi wajah cantiknya. Ia membiarkan Anita menikmati sisa-sisa makanannya layaknya seseorang yang sedang mencuri nafas terakhir. Dan Flora berjalan pergi dengan hati yang semakin mantap, Balas dendamnya berjalan sempurna.
Anita semakin tidak bisa menahan diri. Begitu ia merasakan potongan salmon pertama, godaan itu menghancurkan seluruh kewaspadaannya. Ia mengambil potongan lain—lebih besar, lebih cepat.
Garpu bergetar di tangannya. Nafasnya terengah. Tenggorokannya kering karena terlalu lapar. Ia melahap semuanya tergesa-gesa, seolah takut makanan itu akan menghilang dari piring kapan saja. Sisa saus lemon ia seret dengan roti yang tersisa, lalu memasukkannya ke mulut tanpa berpikir.
Dan justru karena itu Ia tersedak.
Matanya membelalak. Tenggorokannya tertahan setengah potong roti. Ia memegangi dadanya, terbatuk keras namun harus menahan suaranya agar tidak terdengar. Ia memeluk perutnya, wajah memerah, air matanya keluar karena panik dan sesak.
Ia meraih gelas air yang ditinggalkan pelayan, menenggaknya cepat. Akhirnya makanan itu turun dengan paksa.
“Ya Tuhan…” Anita berbisik sambil menahan batuk kecil. “Hampir mati aku…”
Ia baru saja hendak mengambil nafas ketika—
Suara langkah kaki. Mendekat. Anita membeku. Darahnya seperti berhenti mengalir.
“Ratna? Atau… Nyonya?”
Panik menyambar seluruh tubuhnya. Dalam sekejap, Anita bangkit dari kursi Flora, hampir menjatuhkan sendok. Ia merapikan napkin bekas Flora, menghapus sisa saus di bibirnya, lalu berlari kecil ke sudut ruangan tempat ia sebelumnya bekerja.
Ia mengambil lap dan mulai menggosok meja samping dengan sangat cepat. Tangannya gemetar, tetapi ia berusaha menormalkan napas.
Pintu terbuka.
Ratna masuk dengan wajah datar khasnya.
“Anita.” Suaranya tegas.
“Ya, Bu?” Anita menjawab tanpa menoleh, pura-pura sibuk.
Ratna mengamati ruangan. Meneliti meja makan. Lalu melihat Anita yang tampak sangat fokus.
Hening sesaat yang menegangkan.
Lalu Ratna berkata, “Bagus. Kamu sudah di sini. Setelah ini, kamu bersihkan area pantry.”
Anita menunduk cepat. “Baik, Bu.”
Ratna berjalan melewati meja makan, tidak menyadari napkin yang sedikit berubah posisi, atau piring yang sudah berkurang satu gigitan terakhir.
Anita dalam hati bersyukur. Benar-benar bersyukur.
Kalau Ratna datang sepuluh detik lebih cepat atau Flora memutuskan kembali ke ruangan Ia bisa kehilangan pekerjaan itu. Atau lebih buruk dipermalukan habis-habisan.
Sesaat setelah Ratna keluar lagi, Anita melepaskan nafas panjang dan memegangi dadanya.
“Ya ampun… aku benar-benar hampir celaka…”
Dan tanpa ia sadari di lantai dua, dari atas balkon dalam rumah itu Flora sedang bersandar pada pegangan, menatap ke bawah.
Ia mendengar sedikit suara-suara tadi. Ia melihat gerak-gerik Anita yang terburu-buru menyembunyikan dosa kecilnya.
Senyum Flora muncul lagi. Tenang. Dalam. Dan penuh kepuasan.
Permainan baru saja dimulai.
Sore harinya, cahaya matahari mulai meredup, menyisakan semburat jingga yang menembus kaca jendela koridor rumah mewah itu. Anita berjalan gontai menuju kamarnya—kamar kecil di pojok lantai satu, jauh dari hingar-bingar kemewahan rumah Kaindra. Nafasnya naik turun, bahunya terasa seperti membawa beban berton-ton.
Setelah memastikan tak ada yang memanggil atau memerintahkannya lagi, ia mendorong pintu kamarnya perlahan. Kamar itu sempit, hanya cukup untuk sebuah ranjang kecil, lemari mungil, dan kipas tua yang berdecit tiap kali diputar.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Anita hampir roboh.
Seluruh tubuhnya terasa remuk—punggungnya pegal karena membungkuk terlalu lama, tangannya gemetar akibat menggosok furnitur dan lantai tanpa henti. Matanya perih, bukan hanya karena debu, tetapi karena menahan perasaan yang tak bisa dikeluarkan di depan siapapun.
Ia duduk di tepi kasur, meremas ujung selimut yang sudah memudar warnanya. Perutnya masih perih karena makanan yang ia lahap diam-diam, terlalu cepat, terlalu terpaksa. Tenggorokannya belum sepenuhnya pulih dari rasa tersedak tadi.
“Capek banget…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Ia mencoba mengangkat kepalanya, namun pandangannya memburam. Nafasnya tersengal kecil. Lelah itu bukan hanya di tubuh—tapi menumpuk di hatinya. Sehari penuh ia merasa seperti bayangan masa lalunya terus mengejek: dulu ia merasa menjadi seseorang, kini ia bahkan tak berhak menikmati sisa makanan tanpa takut ketahuan.
Dan bayangan Flora… senyum tipis wanita itu… membuat hatinya semakin mengecil.
Anita memejamkan mata sejenak.
Detik berikutnya tubuhnya tumbang ke atas kasur, tanpa sempat melepas scarf lusuh di lehernya. Kain itu menutupi pipinya yang lembap oleh peluh. Dalam hitungan napas, kelopak matanya terpejam sepenuhnya.
Ia tertidur begitu saja.
Bukan tidur yang nyaman—lebih seperti tubuhnya menyerah setelah dipaksa bekerja tanpa henti. Napasnya berat, sesekali tersengal. Kedua tangannya menggenggam selimut seolah mencari kehangatan yang tak pernah ia dapatkan di rumah itu.
Di luar kamar, suara langkah pelayan lain berseliweran, namun perlahan tenggelam dalam gelap yang menelan kelelahan Anita.
Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia bisa beristirahat… meski hanya sementara.
Di sisi lain rumah itu mobil mewah berhenti tepat di depan pintu utama rumah Kaindra. Suara pintu terbuka, disusul derap langkah tegas yang sudah sangat dikenal seluruh penghuni rumah.
Kaindra baru pulang.
Ratna dan beberapa pelayan lain segera merapikan posisi, menunduk hormat ketika lelaki itu masuk. Aura Kaindra selalu membuat ruangan terasa mengecil—tinggi, dingin, penuh wibawa yang membuat siapapun otomatis menjaga sikap.
“Selamat malam, Tuan,” ucap Ratna cepat.
Kaindra hanya mengangguk tipis lalu bertanya singkat, “Flora di atas?”
“Ya, Tuan. Nyonya sedang bersiap di kamar.”
Tanpa membuang waktu, Kaindra berjalan menuju lift pribadi. Dahi Ratna sedikit berkeringat, memastikan segalanya sesuai. Ruang tamu sudah bersih mengkilap, ruang keluarga tertata rapi, meja makan sudah dihias elegan dengan peralatan makan perak, dan aroma wangi dari diffuser mahal memenuhi seluruh rumah.
Flora menginginkan sore ini sempurna. Tanpa cela. Tanpa ruang salah sedikit pun.
Lift terbuka, memperlihatkan lorong mewah lantai atas. Kaindra melangkah menuju kamar utama. Ia mengetuk sekali.
“Masuk,” suara Flora terdengar lembut namun berwibawa.
Kaindra mendorong pintu dan segera mendapati sosok istrinya masih mengenakan pakaian santai mahalnya, rambut sedikit di gerai, wajah segar—ia baru berganti pakaian, bersiap menyambut keluarganya.
Flora sedang memilih aksesori di meja rias ketika melihat Kaindra dari cermin. Senyumnya muncul perlahan.
“Kamu sudah pulang Sayang?” ucapnya sambil membalikkan badan.
Kaindra mendekat, mencium keningnya lembut. “Ratna bilang keluargamu jadi datang sore ini.”
Flora mengangguk kecil. “Iya. Ayah, ibu, dan adikku. Aku ingin semuanya sempurna. Mereka harus melihat aku hidup bahagia… sangat bahagia di sini.”
Nada ‘sangat’ itu mengandung banyak cerita masa lalu—kegetiran, penghinaan yang ia terima, dan kini balasan atas semua itu.
Kaindra memahami tanpa perlu banyak bertanya. “Sudah siap?”
“Sebentar lagi,” jawab Flora sambil mengambil satu anting berlian kecil. “Ratna sudah memastikan rumah bersih? Tidak ada kekacauan?”
“Katanya semua sudah beres.”
Kaindra memperhatikan Flora, menyentuh pipinya lembut. “Kamu tidak perlu tegang. Ini rumahmu. Mereka akan bangga melihatmu.”
Flora menghela nafas pelan, lalu menatap suaminya. “Aku cuma ingin menunjukkan semuanya berubah. Termasuk aku.”
Kaindra memegang tangannya. “Aku di sini.”
Flora tersenyum, lebih hangat dari biasanya.
Tak lama kemudian, Ratna mengetuk pintu.
“Nyonya, seluruh persiapan sudah selesai. Tinggal menunggu kedatangan keluarga Nyonya.”
Flora menatap Kaindra. “Ayo kita sambut mereka. Agar mereka tidak perlu menunggu di luar.”
Kaindra mengangguk, lalu membuka pintu untuknya.
Flora berdiri, elegan dan berwibawa, dan bersama suaminya ia berjalan menuju lift. Aura rumah berubah—lebih hidup, lebih tegang, lebih berkelas.
Di bawah sana… Anita masih terlelap tanpa tahu bahwa ia dan Flora tinggal satu atap.