“Ikuti saya,” pinta Ratna.
Ratna melangkah masuk terlebih dahulu, dan Anita mengikutinya dengan langkah kecil namun penuh rasa ingin tahu. Begitu menjejakkan kaki di dalam rumah, Anita hampir kehilangan kata-kata.
Lantai marmer putih mengkilap. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya lembut. Sofa mewah, karpet tebal, dan segala sesuatu terlihat mahal—bahkan terlalu mahal untuk disentuh.
“Ini ruang utama,” Ratna menjelaskan tanpa berhenti berjalan. “Mulai hari ini, salah satu tugas Anda adalah memastikan area ini selalu bersih. Tidak ada debu, tidak ada bekas kaki, tidak ada noda bahkan debu.”
Anita menelan ludah. Rumah itu… besar sekali. Mustahil dibersihkan sendirian. Tapi Ratna terus bicara dengan nada tegas namun tenang.
“Di sini, pekerjaan dibagi. Ada yang khusus memasak, ada yang khusus mencuci pakaian, ada yang merapikan kamar Tuan dan Nyonya, dan ada pula yang mengurus taman serta gudang.”
Mereka melewati koridor panjang dengan pintu-pintu kayu mahal di kanan kiri.
“Dan Anda, Bu Anita,” lanjut Ratna sambil meliriknya sekilas, “akan ditempatkan sebagai petugas kebersihan area umum. Artinya, Anda bertanggung jawab terhadap ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, teras depan, serta beberapa ruangan kerja.”
Anita mengangguk-angguk walau wajahnya terlihat kaget.
“Jadi saya bersihkan semuanya, Bu?”
“Tidak semuanya,” Ratna mengoreksi. “Tapi sebagian besar area besar, iya. Dan hasilnya harus bersih sempurna.”
Nada suaranya tegas. “Keluarga Kaindra punya standar tinggi. Kalau pekerjaan Anda tidak sesuai standar… akan dievaluasi.”
Kata “dievaluasi” itu membuat Anita sedikit kaku. Tapi ia mencoba tersenyum. “Iya, Bu. Saya ngerti.”
Ratna kembali berjalan. “Bagus. Kalau begitu, mari saya tunjukkan kamar Anda.”
Mereka berbelok ke area samping rumah. Koridor berubah—lebih sederhana namun tetap rapi dan bersih. Di ujungnya, Ratna membuka sebuah pintu lebar.
Deretan kamar kecil berjejer rapi di dalam lorong panjang. Pintu-pintu kayu bercat coklat muda. Setiap kamar tampak memiliki nama kecil tergantung di depannya.
Suara obrolan para ART terdengar samar-samar. Ada yang tertawa, ada yang sedang menata seragam, ada yang menyapu.
“Ini area kamar pegawai,” Ratna menjelaskan. “Semua asisten rumah tangga tinggal di sini. Ada yang bagian memasak, ada yang bagian laundry, ada yang khusus menjaga kamar Nyonya dan Tuan, dan ada juga yang hanya bertugas mengurus alat kebersihan.”
Anita mengamati satu per satu dengan mata membulat. “Banyak sekali orangnya… “pikirnya. “Kaya hotel aja!”
Ratna berhenti di depan sebuah pintu. “Ini kamar Anda.”
Pintu dibuka. Kamar itu sederhana namun jauh lebih rapi dan bersih dibandingkan rumah Anita sendiri. Ada satu tempat tidur single, lemari kecil, meja lipat, dan jendela kecil dengan tirai tipis.
Anita mengangkat dagu sedikit, merasa cukup puas.
“Jadwal kerja Anda akan saya berikan setelah briefing sore ini,” ucap Ratna. “Oh, dan satu hal, Bu Anita.”
Anita menoleh cepat. “Iya, Bu?”
Ratna menatapnya dengan sorot mata tajam namun profesional.
“Di rumah ini, disiplin adalah segalanya. Tidak boleh terlambat, tidak boleh membantah, dan tidak boleh bekerja asal-asalan. Semua harus rapi, bersih, dan sesuai instruksi.”
Anita mengangguk mantap, walau dalam hatinya ia mendesis.
“Aku bisa kok. Aku bisa kerja lebih bagus dari yang lain. Siapa tahu nanti aku naik posisi jadi kepala ART kayak Bu Ratna…”
Ratna tidak tahu apa yang dipikirkan Anita.
Ia hanya tersenyum tipis dan berkata,
“Baik. Silahkan istirahat sebentar. Nanti saya panggil untuk berkeliling dan bertemu Nyonya.”
Anita membeku. Nyonya. Nyonya Kaindra. Ia sama sekali belum tahu bahwa nyonya itu… adalah Flora.
“Ba- baik,” jawab Anita.
Begitu Ratna pergi, Anita masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Ia menghembuskan napas panjang—antara kagum, cemas, dan merasa dirinya seperti orang penting hanya karena berada di rumah semewah itu.
Kamar itu kecil, tapi bersih. Terlalu bersih bahkan. Dindingnya putih, lantainya licin, dan sprei tempat tidurnya wangi.
“Hmm… lumayan,” gumamnya sambil duduk di tepi ranjang. Ia mengelus-elus sprei, senyum puas terbit di wajahnya. “Jauh banget dari rumah.”
Ia mengambil ponsel yang dari tadi disimpan di tas, lalu menekan nomor Bara.
Telepon tersambung hanya dalam dua nada dering.
“Halo, Bu?” suara Bara terdengar agak terburu-buru. “Ibu sudah sampai?”
Anita langsung membusungkan d**a meski Bara tidak bisa melihatnya.
“Sudah! Kamu harus lihat tempat kerja ibu, Bara… rumahnya gede banget! Kayak istana!”
Bara diam sejenak. “benarkah?”
“Iya!”
“Dari gerbangnya aja udah kayak pintu kerajaan. Terus masuk ke dalam… astaga, marmer semua! Lantainya luar biasa!” Ia terkekeh bangga, seperti baru saja memenangkan sesuatu.
Dan Bara hanya bisa menghela napas samar di seberang. “Ibu hati-hati kerja di sana, ya.”
“Ibu ini pintar kok, Kamu tuh yang selalu khawatir berlebihan.”
Anita duduk lagi di tempat tidur. “Oh, iya. Ibu dapat bagian kebersihan sebagian besar ruangan di rumah ini ibu yang akan bersihkan.”
Bara terdengar agak kaget. “Kebersihan? Kalau rumahnya sangat luas ibu akan lelah.”
“Biarin! Ibu kuat!” Nada suara Anita terdengar sangat percaya diri. “Ibu cuma bersihin ruang keluarga, ruang tamu, ruang makan, terus ruang kerja. Gampang!”
“Bu… biasanya itu justru ruangan yang besar”
“Ya biarin! Ibu bisa!” Anita memotong dengan cepat, tak mau terlihat lemah. “Yang penting ibu dapat kerja bagus, tinggal di kamar bersih, dan makan gratis!”
Ia tersenyum puas, matanya berbinar membayangkan semua fasilitas.
“Kamu seharusnya bangga Ibu bisa kerja di rumah sekeren ini! Harusnya kamu cari perempuan yang bisa dinikahi biaf ibu gausah kerja.”
Bara terdiam lama.
“Bu… tolong jangan bahas itu lagi.”
Anita mengangkat alis, tapi ia tetap tersenyum angkuh.
“Yaudah, yaudah. Yang penting, Ibu sekarang kerja di rumah orang kaya. Siapa tahu… nanti Ibu bisa naik posisi, jadi kepala ART. Orang yang sekarang itu cuma sedikit lebih tua dari Ibu. Bisa lah digeser.”
Bara menghela nafas lebih panjang kali ini. “Bu… jangan aneh-aneh. Kerja baik-baik saja.”
“Iya, iya.”
“Nanti kalau sudah ketemu Nyonya rumahnya, Ibu kabarin lagi.”
Ia menutup telepon tanpa memberi kesempatan pada Bara untuk menjawab.
Anita menatap kamarnya sekali lagi, senyum lebar tak bisa ia tahan.
“Enak banget hidup kayak gini…”
Ia tidak sadar, beberapa kamar dari situ, para ART lain sedang saling berbisik—menduga-duga apakah pekerja baru ini bisa bertahan atau tidak.
Dan ia juga belum tahu bahwa wanita yang akan masuk ke ruang briefing nanti, yang akan menyapanya sebagai Nyonya rumah adalah Flora.
Menantunya sendiri. Korban yang dulu ia siksa. Dan hari itu… adalah awal dari neraka yang akan kembali membakar masa lalunya.
Satu jam kemudian.
Koridor utama rumah itu berubah seperti aula kecil. Semua pegawai sudah berjejer rapi membentuk dua barisan panjang—para asisten rumah tangga di sebelah kiri, petugas keamanan di sebelah kanan. Seragam mereka senada: hitam dan putih, sangat rapi, sangat bersih, membuat suasana terasa formal dan penuh tekanan.
Anita berdiri di barisan paling ujung, masih tampak canggung. Tatapannya tidak bisa berhenti menyapu ke kiri dan kanan.
“Astaga… semuanya pakai seragam?” Ia melirik ke bawah, melihat dirinya yang hanya memakai pakaian kasual pemberian Ratna untuk sementara. “Seperti pegawai hotel berbintang lima… bukan rumah biasa.”
Para ART perempuan memakai dress hitam selutut dengan apron putih. Para pria memakai kemeja putih bersih dengan celana formal hitam. Sepatu mereka seragam, mengkilap, tak ada noda sedikitpun.
Dan di depan barisan, berdiri Ratna.
Seragamnya berbeda—lebih elegan, warnanya biru gelap dengan detail emas di kerah dan lengan. Berdiri tegak seperti komandan pasukan. Tatapannya tegas, penuh wibawa.
Suasana sunyi.
Ratna mengangkat tangan sedikit.
“Semua, bersiap. Nyonya akan tiba.”
Serentak, seluruh barisan merapat dan berdiri tegak. Kepala sedikit menunduk.
Anita kaget dan buru-buru menirukan.
“O-oh… begini? Ya ampun serius banget…”
Ia hendak melihat ke arah pintu untuk melihat seperti apa rupa “Nyonya” rumah itu.
Namun tiba-tiba—
“Dilarang mengangkat wajah sebelum diizinkan,” bisik salah satu ART di sebelahnya.
Anita langsung membeku, wajahnya merona malu.
Kemudian.
Suara langkah kaki lembut tapi mantap terdengar dari ujung koridor. Setiap langkah memberi tekanan seperti dentuman kecil.
Anita merasakan bulu kuduknya berdiri. Siapa pun yang berjalan… jelas sangat dihormati.
Langkah itu semakin dekat. Semakin dekat.
Dan saat sosok itu berhenti tepat di depan barisan, semua pegawai menunduk lebih dalam.
Anita mengikuti yang lain. Ia tidak berani mengangkat wajah, meski rasa penasarannya membakar d**a.
Ratna menunduk hormat. “Nyonya, seluruh staf sudah berkumpul.”
Suara lembut namun tajam menjawab,
“Terima kasih, Bu Ratna.”
Hanya empat kata—namun cukup untuk membuat seluruh koridor terasa menegang. Bahkan udara seperti berhenti bergerak.
Anita tanpa sadar menelan ludah. Suara itu… terdengar halus, elegan, tapi ada sesuatu yang menusuk… seperti seseorang yang sangat terbiasa dihormati.
Ratna mulai memperkenalkan para pegawai satu per satu. Ketika ia menyebutkan pegawai baru, Anita merasakan nafasnya tercekat.
“Nyonya, ini asisten baru di bagian kebersihan area umum… Ibu Anita.”
Seluruh kepala tetap menunduk.
Termasuk Anita.
Ia tidak tahu bahwa tepat satu langkah di depannya Flora sedang memandangnya.
Tidak berkedip. Tidak bernapas.
Tatapannya dingin—tatapan seseorang yang baru saja menemukan musuh lamanya tepat di bawah kekuasaannya.
Dan Anita masih belum sadar. Ia hanya merasakan satu hal: Ruangan itu tampak lebih dingin… dan entah kenapa, tubuhnya merinding.