Hari Pertama, Anita bertemu Flora

1618 Kata
Anita tersentak kecil. Matanya membesar. “Flora?” Suaranya keluar begitu saja, spontan, tanpa filter. Wanita itu. Nyonya Flora, berhenti melangkah. Ia menatap Anita dengan ekspresi datar, keningnya sedikit berkerut. Seolah kalimat Anita barusan tidak terdengar olehnya. Tatapan Flora menusuk, dingin, tapi terkontrol. “Barusan,” ucap Flora pelan, “kamu mengatakan apa?” Anita langsung panik. “Ti—tidak apa-apa, Nyonya. Saya hanya… menggumam. Maaf.” Flora menatapnya lama. Sangat lama. Tatapan yang membuat Anita merasa seakan Flora sedang membaca sesuatu dalam dirinya atau mengukur keberanian yang barusan ia tunjukkan. Lalu, perlahan, Flora mengalihkan pandangannya dan berjalan melewati ruangan tanpa berkata apapun lagi. Gaunnya berayun lembut. Aroma parfumnya tertinggal di udara. Sosoknya menghilang di koridor. Begitu Flora menghilang, Anita langsung meraih dadanya. Nafasnya menderu. Jantungnya berdebar kacau tidak karuan. “Ya Tuhan…” bisiknya, berusaha menahan gemetar. “Kenapa aku merasa dia… Flora?” Ia menutup mulutnya, menatap kosong ke arah ambang pintu. “Nyonya memang sangat cantik… tapi… aku merasa dia Flora.” Ia menelan ludah keras-keras. “Apa aku berkhayal? Mana mungkin Flora tiba-tiba jadi orang kaya… jadi Nyonya di rumah sebesar ini…” Anita menggeleng cepat, berusaha memukul pikirannya sendiri agar sadar. “Ini pasti karena aku kelelahan… pandanganku mulai ngaco,” ucapnya lirih. “Kelelahan… itu saja.” Ia menegakkan tubuh, mencoba menarik napas dalam. Tak mau kena tegur Ratna lagi, Anita buru-buru kembali mengerjakan pekerjaannya. Tangannya bergerak cepat, tapi pikirannya tak bisa berhenti berputar. Wajah Flora yang menatapnya tanpa pengenalan itu terus terbayang. Dingin. Kosong. Tapi anehnya… terasa sangat familiar. Sangat seperti seseorang yang dulu pernah ia kenal. Flora. Flora menutup pintu kamarnya perlahan. Begitu suara kunci terdengar, perubahan terjadi pada wajahnya. Senyum itu muncul. Bukan senyum ramah seperti yang ia tunjukkan pada Kaindra. Bukan pula senyum lembut yang biasa dilihat para staf. Ini senyum lain. Senyum kemenangan. Senyum kepuasan gelap yang disembunyikannya selama bertahun-tahun. Flora berjalan ke depan cermin besar di sudut kamar—tempat lampu chandelier jatuh lembut di wajahnya. Ia mengusap rambutnya yang tertata rapi, lalu tertawa kecil. Tawa pelan yang penuh ironi. “Anita…” gumam Flora, suaranya setengah mengejek. Ia mengingat momen di ruang keluarga tadi, bagaimana Anita terkejut, bagaimana wajahnya pucat ketika memanggil nama Flora, dan bagaimana ia langsung panik setelah menyadari siapa dirinya sekarang. “Sepertinya dia mulai sadar,” ujar Flora sambil menyentuh dagunya. “Mulai sadar siapa aku sebenarnya.” Ia menyeringai lebih lebar. “Aku ini menantunya…” Ia memandang dirinya sendiri di cermin. “Yang dulu sempat dia hina, caci, maki… dan jadikan mesin uang.” Nada suaranya merendah, seperti racun yang menetes perlahan. “Aku ingat betul bagaimana dia memperlakukanku… seolah aku bukan manusia.” Ia tersenyum tipis, namun matanya dingin. “Sekarang lihatlah, dia bekerja di bawah kakiku. Membersihkan lantai tempat aku berdiri.” Flora mengusap permukaan gaun satin yang melekat di tubuhnya, menikmati teksturnya yang mewah. “Indah sekali… melihat ibu mertuaku sendiri menjadi pembantu di rumahku.” Ia tertawa lagi, pelan namun menusuk. “Dan ini baru permulaan.” Flora melangkah ke jendela kamar, menyingkap sedikit tirai dan memandang ke bawah ke arah halaman, tempat Anita berjalan tergesa menghindari Ratna. “Pelan-pelan saja… aku ingin menikmati setiap detiknya. Setiap kebingungannya. Setiap ketakutannya.” Ia menutup tirai kembali, membiarkan ruangan kembali dipenuhi cahaya hangat. “Karena kali ini,” ucap Flora dengan nada lembut namun berbahaya, “aku yang memegang kendali.” Ia berbalik menuju tempat tidurnya, langkahnya tenang, ringan, namun penuh rencana. Balas dendamnya baru saja dimulai. Di lantai satu, Ratna merapikan catatan kerja para staf saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia melihat layarnya—nama Nyonya Flora terpampang besar. Wajah Ratna langsung berubah serius. “Ya, Nyonya?” Ia mendengarkan dengan sikap tegak, satu tangan memegang ponsel, tangan lainnya menutupi d**a seolah tengah bersiap menerima instruksi penting. Hening beberapa detik. “Baik, Nyonya. Siap, Nyonya,” ujar Ratna cepat. “Saya pastikan semuanya sesuai permintaan Anda.” Setelah panggilan berakhir, Ratna menutup ponsel dan menghela napas. Tanpa menunda, Ratna bergegas keluar dari ruang keluarga ruangan terakhir yang sedang dibersihkan oleh Anita untuk mengecek semua persiapan di ruang makan. Setengah jam kemudian. Suara lembut dari lift rumah mewah itu terdengar. Pintu lift terbuka dan Flora melangkah keluar. Ia sudah berganti pakaian, gaun rumahan warna krem muda, sederhana namun sangat mahal. Kainnya jatuh dengan sempurna, potongannya elegan, dan harga satu potongannya setara dengan gaji satu bulan seorang pembantu di rumahnya. Flora berjalan pelan namun penuh wibawa menuju ruang makan. Di ruangan itu, beberapa pelayan sudah sibuk menyusun hidangan makan siang. Aroma masakannya memenuhi udara, harum, gurih, menggugah selera. Ikan salmon panggang dengan saus lemon butter, sup krim jamur truffle, salad segar, roti artisan, dan minuman dingin tersaji rapi di meja makan panjang dari marmer hitam. Anita yang saat itu sedang membersihkan ruang makan ada di sudut ruangan, sedang menyelesaikan tugasnya membersihkan bagian sisi meja samping. Begitu aroma masakan masuk ke hidungnya, perutnya langsung menggeliat keras. Ia bahkan harus menahan nafas beberapa kali agar tidak terlihat terlalu terpikat. “Astaga… enak sekali baunya,” Ia menelan ludah. Ia belum makan sejak pagi. Sarapan pun hanya sepotong roti yang cepat-cepat ia telan sebelum bersih-bersih. “Fokus, Anita… fokus…” gumamnya dalam hati. Ia harus menyelesaikan ruangan ini sebelum bisa makan. Namun godaan itu semakin berat ketika ia mencuri-curi pandang ke meja makan. Matanya tidak berkedip melihat salmon panggang yang berkilau, sausnya menetes cantik, uapnya masih naik. Salad segar dengan potongan alpukat dan keju parmesan. Bahkan roti saja tampak sangat empuk dan harum. Perutnya berbunyi keras. Anita menutup perutnya cepat-cepat, memalingkan wajah, malu dan panik. Sesaat setelah pelayan terakhir menaruh piring utama, terdengar langkah kaki mendekat. Anita langsung menunduk dan menghindar. Flora masuk ke ruang makan. Anita buru-buru membuang muka, berusaha menyembunyikan tatapan kalapnya tadi. Ia mengatur nafas tergesa-gesa, menahan diri agar tidak terlihat gugup. Anita berkata dalam hati, “kenapa aku merasa nyonya Kaindra ini mirip sekali dengan Flora?” Flora duduk dengan anggun di salah satu kursi, punggung tegak, gerakannya elegan. Pelayan langsung mundur setelah memastikan semuanya sempurna. Anita mencoba fokus mengelap vas porselen, tetapi … Perutnya berbunyi lagi. Lebih keras. Anita memejamkan mata, wajahnya memerah. “Jangan… jangan keras-keras… nanti Nyonya dengar…” Namun memang sial. Perutnya terus saja keroncongan. Flora mendengar. Kepala Flora sempat menoleh pelan. Tidak mengejutkan, tidak marah. Hanya tatapan singkat, datar, seakan mendengarkan hewan kecil yang lapar dan membuat suara lucu. Lalu Flora memalingkan wajah lagi. Diam. Tidak berkomentar. Tidak menegur. Tidak bertanya. Ia hanya… cuek. Dan itu entah kenapa membuat Anita semakin gugup. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan perutnya sambil bekerja lebih cepat, berharap hidangan itu segera hilang dari hadapannya agar ia tak semakin tergoda. Namun suara sendok dan garpu dari meja makan, aroma salmon dan saus lemon, terus-menerus menyiksa inderanya. Dan Flora, tanpa melihat ke arah Anita lagi, terus makan dengan tenang. Seolah Anita hanyalah angin—atau mungkin lebih rendah dari itu. Hari pertama Anita bekerja di rumah itu terasa seperti seratus hari. Dan siang itu, rasa laparnya bukan hanya lapar makanan. Ia lapar… akan sedikit kelegaan. Sedikit ampun. Sedikit jeda. Tapi rumah itu tidak memberinya apa pun selain tekanan. Dan Flora? Flora menikmati semua itu dalam diam. Flora mengambil potongan salmon pertama dengan gerakan anggun. Uapnya masih hangat, aromanya lembut dan mahal. Ia menyentuh garpu ke bibirnya, dan sebelum menelan, ia melirik sekilas ke arah Anita yang berada beberapa meter darinya. Anita menunduk, mengelap meja dengan tergesa, seolah sedang berlomba dengan rasa laparnya sendiri. Flora menelan perlahan. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia memotong salmon dengan sengaja lebih pelan, memastikan suara halus dari pisaunya terdengar jelas. Setiap gerakannya dibuat elegan, tenang, menikmati cukup untuk menyiksa seseorang yang sedang kelaparan. Dan benar saja. Suara perut Anita terdengar lagi. Lebih keras dari sebelumnya. Flora menahan tawa. Ia berdehem pelan, seolah sedang membersihkan tenggorokan, padahal sebenarnya menahan kepuasan yang hampir meletup. Ia mengambil segelas infused water dingin, menyesapnya perlahan, matanya tetap mengarah ke hidangan. Tetapi dalam hatinya, ia tertawa. “Lapar, ya, bu Anita? Bagus. Rasakan sedikit saja rasa tidak berdaya yang dulu kau berikan padaku.” Flora mengambil sepotong roti artisan, mengolesi mentega truffle di atasnya. Ia sengaja menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma roti hangat tersebar ke seluruh ruangan. Anita mencuri pandang ke kanan. Matanya langsung terpaku. Lalu buru-buru ia menunduk lagi, wajahnya memerah karena malu dan iri. Flora kembali tersenyum. Ia menambah kecepatan makannya sedikit bukan karena lapar, tapi karena menikmati efeknya pada orang lain. Ada sensasi menyenangkan saat mendengar perut Anita berontak. Ada kenikmatan tersendiri melihat seseorang yang dulu meremehkan dan sering membuat ia kelaparan terutama saat hamil kini berdiri seperti bayangan di sudut ruangan, bahkan tak berani menelan ludah keras-keras. Flora mengambil garpu, menari kecil di atas piringnya, lalu kembali menikmati daging salmon yang lembut itu. Satu gigitan demi satu gigitan, ia biarkan aromanya menguasai ruangan. Ia menoleh lagi, singkat, nyaris tak terlihat. Tapi ia melihat bagaimana Anita menahan diri, tubuhnya tegang, gerak tangannya kacau, matanya sedikit berkaca-kaca menahan lapar. Flora menahan senyum puas. “Dulu, kau selalu memandangku rendah. Sekarang? Kau bahkan tak boleh duduk di meja yang sama denganku.” Ia memotong salmon terakhir, memutar garpu dengan gaya anggun yang sangat sengaja dipertontonkan, lalu menelan perlahan, menikmati setiap detik Anita yang mencoba bertahan. Hingga akhirnya, ia meletakkan garpu di piring. Flora mengusap bibirnya dengan napkin mewah. Dan dalam hati, ia bergumam pelan, senang, puas, dan penuh rasa balas dendam yang menghangatkan dadanya: “Selamat datang di hidup baru kita, bu Anita. Sekarang aku yang memegang kendali, dan aku akan membuatmu merasakan sedikit saja dari apa yang kau lakukan padaku dulu.” Flora berdiri, meninggalkan meja makan dengan langkah ringan dan hati yang sangat sangat puas. Lalu ia keluar dari ruang makan. Anita melirik ke arah pintu, setelah tak lagi melihat Flora. Anita melakukan hal yang mengejutkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN