Memadu Kasih [18+]

1674 Kata
Anita menelan ludah. Ia menatap Flora dari ujung rambut sampai ujung kaki—coat hitam elegan, sepatu mahal, tas berkelas dunia… Flora benar-benar tampak seperti perempuan kelas atas yang hidupnya jauh berbeda dari masa lalu yang miskin dan terhina di rumah itu. “Ada… ada apa ya, Bu Anita?” Flora mengulang pertanyaannya dengan sopan namun dingin. Dan akhirnya, Anita menghembus nafas panjang sebelum melontarkan kalimat yang bahkan Flora tidak sangka akan keluar secepat itu. “Saya sedang mencari pekerjaan…” Suara Anita bergetar. “Apa Anda butuh seseorang bekerja di rumah?” Flora mengangkat sedikit alisnya. Anita menambahkan, cepat dan tanpa rasa malu, “Tidak apa-apa walau hanya jadi pembantu.” Keheningan langsung turun—tajam seperti pisau. Flora menatap perempuan itu lama. Begitu lama hingga Anita mulai menunduk, tidak sanggup menatap balik. Dalam hati, Flora tertawa pelan. Begitu cepat? Begitu mudah? Perempuan yang dulu mengusirnya, menghina, bahkan memaksa Flora menggugurkan anaknya, kini berdiri di halaman rumah, memohon pekerjaan. Posisi terendah. Dan semua itu terjadi tanpa Flora perlu mengatur satu pun strategi. Namun Flora tidak bodoh. Ia tidak akan menyentuh Anita sekarang. Belum. Ia tersenyum, mengangkat sudut bibir dengan elegan yang dingin. “Untuk sekarang… belum ada lowongan pekerjaan, Bu.” Anita tampak patah. Flora melanjutkan dengan nada datar namun sopan, “Jika suatu saat saya membutuhkan pembantu, akan saya beritahu.” Anita mengangguk cepat, hampir terlihat lega meskipun jawabannya adalah penolakan. “Terima kasih… terima kasih banyak, Bu…” Ia menunduk, seperti seseorang yang sedang meminta restu pada orang jauh lebih tinggi kedudukannya. Flora hanya membalas dengan senyuman tipis lalu berbalik. Ia melangkah menuju mobil mewahnya dengan langkah mantap, tegak, seperti seorang bangsawan. Sopir membukakan pintu. Begitu mobil mulai melaju, Flora sempat melihat melalui kaca belakang. Anita berdiri terpaku di depan pagar rumahnya, menatap mobil itu menjauh, terlihat dari wajahnya kagum. Flora bersandar di kursi mobil, menghela nafas perlahan. “Lucu sekali…” gumamnya. “Bahkan sebelum aku bergerak, dia sudah berlutut duluan.” Flora menatap bayangan dirinya di jendela. Perempuan kuat yang ditempa rasa sakit, yang kini memegang kendali penuh atas masa depannya. “Baik, Anita…” bisiknya. “Aku belum mulai. Tapi ketika aku mulai nanti… kau akan tahu rasanya menjadi abu.” Mobil melaju meninggalkan rumah itu. Rumah yang menjadi saksi bisu penderitaan Flora saat menjadi istri Bara dan menantu Anita. Siang harinya, Kaindra datang menjemput Flora di kantornya. Seperti biasa, ia menunggu di lobi sambil berbincang dengan resepsionis yang tampaknya selalu terpesona oleh keramahan dan ketampanannya. Begitu Flora muncul, Kaindra tersenyum hangat. “Siap, istriku yang cantik?” tanyanya. Flora mengangguk. “Ya, ayo.” Kaindra menggenggam tangannya, menuntunnya keluar seolah dunia di sekeliling mereka dibuat lebih lembut hanya untuk mereka berdua. Mereka makan siang di sebuah restoran tenang dan elegan. Tempat favorit Kaindra ketika ingin sekadar menghabiskan waktu berdua bersama Flora. Setelah memesan makanan dan berbincang ringan, Flora meminta izin. “Mas, aku ke toilet sebentar.” “Baik. Hati-hati, ya,” jawab Kaindra. Flora memasuki lorong menuju toilet wanita. Lorong itu bersih, beraroma lembut, tapi ada suara pelan. Suara pel lantai yang digosok perlahan. Flora mengira itu hanya petugas kebersihan biasa. Namun ketika ia mendekat, seseorang berdiri membelakanginya. Tubuhnya membungkuk, tangan memegang gagang pel, pakaian yang lusuh, dan sepatu usang yang basah. Flora berjalan melewatinya. Dan saat itu kepala petugas itu menoleh sedikit. Flora langsung berhenti. Nafasnya tercekat. Waktu seperti membeku. Itu Bara. Mantan suaminya. Wajah itu—meski jauh lebih tua dari usianya, mata cekung, pipi tirus, kulit kusam— adalah wajah laki-laki yang pernah menjadi suaminya. Laki-laki yang dulu pernah ia cintai. Laki-laki yang membiarkannya menderita. Laki-laki yang menceraikannya melalui pesan singkat, tanpa sedikit pun belas kasih. Flora terpaku. Tangannya gemetar. Ia tidak siap menemukan Bara di tempat seperti ini. Tapi yang paling membuat jantungnya seolah diremas adalah Apakah Bara akan mengenalinya? Dengan penampilannya sekarang yang mewah, bersih, elegan tidak ada Flora yang dulu dalam dirinya yang kusam dan memprihatinkan. Ia menelan ludah, bersiap untuk kemungkinan Bara akan memanggil namanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Saat pandangan Bara bertemu mata Flora, Bara segera menunduk dalam-dalam, begitu dalam seolah segan untuk bertatapan. Ia hanya kembali mengepel lantai. Flora membeku. “Dia… tidak mengenaliku?” Ia masuk ke toilet dengan langkah gemetar. Dalam bilik, ia memegang d**a, mencoba bernapas dengan tenang. Ia membersihkan wajahnya, menatap cermin. “Tidak apa-apa, Flora… kamu kuat… kamu sudah bukan yang dulu.” Ia keluar lagi. Lorong sudah kosong. Bara sudah tidak ada. Seolah ia hanyalah bayangan masa lalu yang lewat sebentar lalu menghilang. Ketika Flora kembali ke meja, Kaindra menatapnya khawatir. “Kamu baik-baik saja Sayang? Kok pucat?” Flora tersenyum samar. “Iya… hanya agak pusing.” Kaindra langsung menggenggam tangannya di atas meja, lembut dan penuh perhatian. “Kalau tidak enak badan, kita pulang saja setelah makan.” Flora mengangguk, memaksakan senyum. Perjalanan pulang terasa tenang. Flora bersandar pada jok mobil, memandangi Kaindra yang menyetir dengan satu tangan sementara tangan satunya menggenggam jemarinya. Ia tidak melepaskannya sejak mereka keluar dari restoran. Seolah ingin memastikan bahwa Flora tetap ada disisinya, tetap aman, tetap utuh. Begitu mobil masuk ke halaman rumah mereka, halaman luas dengan taman bunga dan air mancur kecil di tengah. Flora baru sadar betapa lelahnya ia hari itu. Lelah karena sudah bertemu Anita dan tak sengaja melihat Bara. Mereka masuk ke dalam rumah. Hawa sejuk menyambut, aroma ruangan yang bersih dan mewah membuat suasana semakin damai. Kaindra membuka jasnya. Flora melepas heelsnya, memijat pergelangan kakinya sendiri. Kaindra melihat itu, lalu berjalan mendekat dan jongkok di depannya. “Kemari,” ucapnya lembut. “Biar aku bantu.” Flora sedikit tersentak. “Mas… kamu nggak balik ke kantor?” tanyanya pelan. Kaindra menggeleng tanpa ragu. “Enggak, sayang.” Ia berdiri, merapikan rambut Flora dengan sentuhan penuh kasih. “Di kantor nggak ada meeting penting. Lagipula pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Aku mau menemani kamu.” Ada kehangatan yang merambat dalam d**a Flora—hangat yang berbeda dari apa pun yang pernah ia rasakan di hidup lamanya. “Mas nggak capek?” Nada suaranya pelan, hampir malu. Kaindra tersenyum kecil. “Kamu itu lebih penting dari capekku.” Flora terdiam. Kalimat sederhana itu membuat dadanya bergetar. Mereka naik ke kamar. Kamar besar dengan dinding warna lembut itu terasa seperti tempat paling aman di dunia. Kaindra membuka kemeja bagian atasnya, menggulung lengan, lalu menatap Flora yang duduk di tepi ranjang. “Mau aku pijat?” tanyanya sambil mendekat. Flora hanya mengangguk kecil, wajahnya menunduk. Kaindra duduk di belakangnya, meletakkan kedua tangannya di bahu Flora. Sentuhannya pelan—hati-hati, seolah bahu Flora terbuat dari kaca. “Kalau terlalu keras bilang, ya.” Flora menggumam pelan, “Mmm… iya mas.” Kaindra mulai memijat perlahan. Tekanan jemarinya hangat, pasti, tapi lembut. Ia tidak terburu-buru. Tidak pernah. Flora menutup mata. Rasanya seperti semua ketegangannya mengalir keluar. “Gimana? Enak?” Nadanya rendah dan lembut. Flora mengangguk lagi. “Iya… enak… banget.” Kaindra terkekeh kecil. “Kamu itu kerja keras, wajar capek. Biarkan aku manjain kamu.” Kata-kata itu seperti menyelimuti Flora. Ia bukan lagi perempuan yang diabaikan, diperintah, dan direndahkan. Ia bukan lagi istri yang tak dianggap. Ia bukan lagi perempuan yang bahkan tak punya uang untuk membeli makanan bergizi saat hamil. Sekarang ia dicintai, dihargai, disayangi. Kaindra menunduk, mencium puncak kepala Flora dengan lembut. “Aku sayang kamu,” bisiknya. Flora membuka mata pelan. “Aku… juga sayang sama Mas.” Dan untuk pertama kalinya sejak melihat Bara, perasaan sesak itu sedikit mereda. Kaindra… adalah rumah yang baru. Rumah yang hangat. Tapi Flora tahu, jauh di dalam dadanya, ada ruang gelap yang tetap tak bisa ia tinggalkan. Ruang itu adalah kenangan dan dendam. Namun untuk sekarang ia biarkan Kaindra memeluknya dari belakang. Biarkan ia menikmati ketenangan itu. Besok… atau lusa… ia bisa kembali membahas dendam. Saat ini, ia memilih membiarkan dirinya dimanjakan oleh suaminya. Kaindra terus memijat bahu Flora dengan lembut, sampai tubuh Flora benar-benar rileks bersandar pada dadanya. Ia menunduk, mengecup pelipis Flora. “Kamu kelihatan capek banget hari ini,” bisiknya. Flora menarik nafas pelan. “Iya… hari ini panjang sekali.” Kaindra memeluknya dari belakang. Pelukan itu hangat—hangat yang membuat Flora sejenak lupa bahwa hidup pernah sangat kejam padanya. Flora menoleh. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. “Mas…” suaranya lirih. “Hm?” Kaindra menatap mata Flora dalam-dalam. “Aku… butuh kamu.” Kaindra tidak langsung menjawab. Ia mengusap pipi Flora dengan punggung jarinya, gerakan lembut yang selalu berhasil membuat Flora meleleh. “Aku selalu ada buat kamu,” ucapnya pelan, tulus, dan penuh kelembutan. Flora mendekat, menyentuhkan keningnya pada kening Kaindra. Kaindra membalas dengan memegang pinggangnya, menariknya perlahan ke dalam pelukannya. Keduanya terdiam sejenak, hanya mendengar nafas masing-masing. Bukan tegang, bukan canggung, tapi nyaman. Nyaman sekali. Flora menyentuh wajah Kaindra, jari-jarinya mengikuti garis rahangnya. “Terima kasih… sudah selalu baik sama aku,” bisiknya. Kaindra menatapnya lama. Senyum hangat muncul di wajahnya sebelum ia mengecup bibir Flora—pelan, lembut, seperti pertanyaan. Flora membalas—perlahan, penuh perasaan. Dan tanpa perlu kata-kata lagi, Kaindra mengangkat tubuh Flora sedikit, membaringkannya di atas ranjang. “Kalau kamu capek, bilang ya,” ucap Kaindra lembut sambil menyibakkan rambut Flora dari wajahnya. Flora menggeleng kecil. “Aku nggak capek kalau sama Mas.” Kaindra tersenyum—senyum yang hanya ditunjukkan pada perempuan yang ia cintai. Ia mengecup dahi Flora, kemudian bibirnya, semakin dalam namun tetap penuh kelembutan. Flora membalas dengan tangan yang merangkul leher Kaindra, menariknya lebih dekat. Mereka saling mencari, saling menenangkan, saling mengisi kekosongan lama yang pernah membekas. Tidak terburu-buru. Tidak kasar. Hanya kehangatan suami istri… yang saling mencintai dengan tulus. Tirai kamar bergoyang pelan ditiup angin. Cahaya siang menembus tipis—lembut, hangat, seperti memberkati keduanya. Hari itu, Flora lupa pada luka. Lupa pada dendam. Lupa pada masa lalu. Yang ada hanyalah Kaindra—lelaki yang mencintainya tanpa syarat. Dan ia membalas cinta itu dengan seluruh dirinya. Sementara di tempat lain di rumah Anita. Anita menyambut kepulangan Bara dengan antusias. “Bara, kamu harus tahu siapa yang tadi datang ke rumah kita!” Seru Anita. Bara menautkan alisnya, “memangnya siapa yang datang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN