Flora melangkah setengah maju, cukup dekat hingga Anita bisa merasakan bayangan tubuhnya jatuh di atas wajahnya yang masih tertunduk. Suara sepatu berhak Flora berhenti tepat di depan kaki Anita.
Koridor yang penuh pegawai itu tiba-tiba terasa seperti ruang penyiksaan. Sunyi. Tegang. Tidak ada seorangpun yang berani bergerak.
Bahkan nafas para ART terdengar tertahan.
Lalu Suara Flora terdengar.
Tenang.
Lembut.
Tapi menyimpan ketegasan yang membuat tulang punggung siapa pun terasa kaku.
“Bu Anita,” panggil Flora pelan namun menusuk.
Detak jantung Anita melonjak. Ia mengangkat kepala sedikit, sekadar untuk menunjukkan bahwa ia mendengar. Tetapi ia masih tidak berani menatap langsung.
Flora menatapnya lama. Sangat lama. Seolah mengukur. Menilai. Menguliti.
“Di rumah ini,” ucap Flora akhirnya, dengan nada yang membuat semua orang menegang, “setiap pegawai wajib mematuhi aturan.”
Anita menelan ludah. “I-iya, Nyonya…”
“Aturan dibuat bukan untuk diperdebatkan,” lanjut Flora. “Tapi untuk diikuti. Tanpa pengecualian.”
Seluruh pegawai semakin membungkuk, seolah kata-kata itu bukan hanya peringatan… tapi ancaman terselubung.
Anita merasakan bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu dalam nada suara Flora yang membuatnya tidak nyaman. Sesuatu yang… dikenalnya?
Tapi ia tidak berani mengangkat wajah terlalu tinggi.
Flora mendekat setengah langkah. Suara langkahnya terdengar sangat jelas seperti palu ketegasan.
“Kalau ada yang melanggar…” Flora berhenti sejenak, lalu suaranya menurun dalam, tenang, tapi mematikan. “Saya tidak akan memberi peringatan.”
Anita menatap lantai, jantungnya menghentak keras.
Flora melanjutkan, “Siapa pun yang tidak bekerja dengan benar…”
Hening.
“akan langsung saya pecat.”
Kata dipecat keluar dengan sangat tegas.
Tajam.
Dingin.
Para pegawai mengangguk serempak, penuh hormat dan sedikit ketakutan.
Sementara Anita yang masih tidak mengenali bahwa Nyonya rumah itu adalah Flora merasa tubuhnya tiba-tiba dingin.
“Galak…” pikir Anita.
“Padahal baru ketemu. Gila, ini Nyonya keras sekali.”
Tanpa ia sadari, Flora memandangnya seperti sedang menatap hantu masa lalu.
Tapi senyumnya tipis.
Sangat tipis.
Nyaris tak terlihat.
“Selamat bekerja, Bu Anita,” kata Flora, suaranya kembali lembut namun tetap penuh wibawa. “Saya harap Anda bisa bertahan di sini.”
Ada tekanan halus dalam kalimat itu. Tekanan yang hanya dipahami oleh orang yang pernah merasakan kekuasaan Flora sebelumnya.
Pegawai lain merinding.
Anita mengangguk cepat.
“T-tentu, Nyonya.”
Flora tersenyum tipis sekali lagi.
“Selanjutnya bu Ratna akan memberi arahan,” ujar Flora. Selesai mengatakan itu Ratna mengangguk dan Flora pergi dari koridor itu dengan langkah yang mantap. Suara heelsnya terdengar jelas.
Ratna maju selangkah ke depan, tubuhnya tegap, kedua tangannya bertaut di depan perut. Sorot matanya menyapu seluruh barisan pegawai — tajam, disiplin, dan sama sekali tidak memberi ruang untuk kesalahan.
“Baik, semuanya tetap di tempat,” ucapnya tegas setelah Flora menghilang di balik belokan koridor. Tidak ada satupun yang berani mengangkat kepala. Bahkan suara nafas pun terasa ditahan.
Ratna membuka map tebal berisi jadwal dan pembagian tugas.
“Besok sore keluarga besar Nyonya Kaindra akan datang. Ini artinya tidak ada toleransi. Tidak ada keluhan. Tidak ada kesalahan.” Suaranya dingin, terukur.
Ia menatap satu per satu, membuat beberapa pegawai menegakkan punggung lebih lurus.
“Semua pekerjaan dimulai sejak pukul enam pagi. Siapkan rumah dalam kondisi sempurna. Tidak boleh ada setitik debu. Tidak boleh ada bau. Tidak boleh ada perabot yang bergeser bahkan setengah sentimeter.”
Anita menelan ludah. Ini… jauh berbeda dari pekerjaan rumah tangga biasa yang ia bayangkan.
Ratna lalu menatap halaman tugasnya.
“Sekarang saya umumkan pembagian tugas.”
Satu persatu nama dipanggil. Para ART mengangguk dengan cepat, mencatat dalam kepala.
“Bagian dapur: tim A. Bagian kamar utama dan lantai dua: tim B. Bagian laundry dan linen: tim C.”
Lalu akhirnya, “Anita.”
Anita segera melangkah ke depan sedikit. “I-iya, Bu…”
Ratna menatapnya dengan tatapan evaluatif, seolah sedang mengukur kemampuan dan mentalnya hanya dengan pandangan mata.
“Kamu ditugaskan membersihkan seluruh area publik. Ruang tamu utama, ruang keluarga, ruang makan, dan seluruh lorong lantai satu.”
Barisan pegawai lain langsung bereaksi — beberapa saling lirik, beberapa menghela napas simpati. Itu tugas paling berat.
“Wilayah itu luas, mementingkan estetika, dan jadi area pertama yang dilihat tamu.” Ratna menegaskan. “Kalau ada satu saja kesalahan, akan terlihat. Dan kamu harus bekerja lebih pagi lebih lama dan lebih teliti.”
Anita mencoba tersenyum, tapi bibirnya kaku. “Baik, Bu.”
Ratna menutup map dengan bunyi yang terdengar sangat keras di tengah keheningan koridor.
“Semua kembali ke posisi masing-masing. Tidak ada yang lalai. Ingat, ini rumah keluarga Kaindra. Standarnya berbeda.”
Semua pegawai serempak membungkuk kecil lalu bubar dengan cepat dan teratur.
Anita berdiri terpaku beberapa detik. Jantungnya masih berdebar keras. Ia baru tiba hari ini—dan besok ia langsung memegang salah satu area paling penting di rumah sebesar istana ini.
Di belakangnya, Ratna menatap tajam sambil berkata, “pastikan kamu tidur cukup malam ini. Besok akan sangat panjang.”
Anita masuk ke kamar kecilnya yang rapi bersama deretan kamar ART lainnya. Lampunya temaram, kasurnya single bed, tapi bersih dan wangi. Ia menjatuhkan tubuhnya sebentar, menatap langit-langit kamar sambil menghela nafas panjang.
“Ya ampun… baru hari pertama kerja udah kayak gini,” gumamnya lirih. Ingatannya melayang pada barisan pegawai yang kaku, tatapan dingin Bu Ratna, dan peringatan Flora yang membuat udara seolah membeku.
Tapi dalam hatinya, Anita mengepalkan tangan.
“Besok aku bisa. Aku harus bisa.”
Ia mengambil ponsel, mengecek jadwal pekerjaannya yang sudah dikirim lewat grup khusus pegawai. Lorong-lorong panjang, ruang tamu seluas aula, ruang makan mewah dengan lampu kristal… semua harus bersih tanpa noda.
“Semangat, asal kerja bagus, gajinya juga besar,” katanya meyakinkan diri. Setelah mengganti pakaian, ia merebahkan diri. Tidurnya gelisah, tapi ada tekad kuat yang tertanam di dadanya.
Sementara itu, di lantai dua, suasana kamar utama sangat berbeda. Ruangan luas, hangat, dan mewah. Flora membuka pintu dan melangkah masuk.
Kaindra sedang duduk di kursi kerjanya, kemeja hitamnya masih terpasang rapi. Lampu meja menerangi wajah tegasnya yang sedang fokus pada layar laptop.
Begitu mendengar suara pintu, Kaindra menoleh.
Tatapannya langsung melunak melihat sosok istrinya.
“Sayang…” panggilnya dengan suara rendah dan berat.
Flora berhenti sejenak, menatap suaminya yang terlihat sangat maskulin dengan pose setengah bersandar itu.
Kaindra menutup sedikit laptopnya, lalu dengan senyum kecil di sudut bibir, ia berkata pelan namun tegas, “Kemarilah. Duduk di pangkuanku.”
Nada suaranya bukan sekadar permintaan—lebih seperti perintah lembut yang hanya ditujukan untuk Flora.
Flora mengangkat alis, tapi langkahnya perlahan mendekat. Ada hangat yang menyelinap ke dalam dadanya setiap kali Kaindra menatapnya seperti itu—hangat yang hanya bisa diberikan oleh seorang lelaki yang sangat dominan namun penuh sayang.
Begitu Flora berdiri di dekatnya, Kaindra meraih pinggangnya, menarik perlahan namun mantap.
“Sudah selesai semua urusan hari ini?” Kaindra bertanya sambil menatap matanya dalam-dalam.
Flora tak menjawab dulu. Ia duduk pelan di pangkuan suaminya, membiarkan Kaindra memeluk pinggangnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menutup laptop sepenuhnya.
Dada Flora terasa berdebar.
Dalam pelukan seperti itu… semua ketegangan hari ini perlahan menghilang.
Flora duduk nyaman di pangkuan Kaindra. Lelaki itu mengecup pelipisnya perlahan, membuat jantung Flora berdetak lebih cepat. Tangan besar Kaindra mengusap lembut punggung istrinya.
“Kamu terlihat lelah,” ujar Kaindra dengan suara lembut namun tetap terdengar dominan. “Hari ini berat, hm?”
Flora tersenyum tipis. “Sedikit… banyak hal harus diatur. Apalagi karena besok keluargaku datang.”
Kaindra menatap wajah Flora dari jarak yang sangat dekat. “Kamu sudah melakukan pekerjaan yang sangat baik, sayang. Aku bangga sama kamu.”
Flora meletakkan dahinya di bahu Kaindra. “Terima kasih, suamiku.”
Kaindra menarik dagu Flora agar menatapnya. “Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Ceritakan padaku.”
Flora diam beberapa detik. Wajahnya tampak memikirkan sesuatu yang berat.
“Aku cuma ingin semuanya berjalan sempurna besok.”
Nada suaranya rendah, ada ketegangan halus di dalamnya. “Aku tak mau ada kesalahan sedikit pun saat keluargaku datang.”
Kaindra mengangguk pelan, ibu jarinya mengusap pipi Flora. “Kita akan pastikan semua berjalan baik. Semua pekerja sudah kamu brief, rumah sudah disiapkan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.”
Flora menggigit bibir—kebiasaan kecilnya saat cemas.
“Kadang aku takut… aku tidak cukup sempurna menjadi nyonya di rumah ini,” ucap Flora lirih.
Kaindra langsung memegang kedua pipi Flora, memaksa mata istrinya menatap matanya.
“Kamu bukan hanya cukup,” katanya serius, tanpa keraguan sedikitpun. “Kamu sudah yang terbaik. Rumah ini berjalan karena kamu. Setiap orang hormat padamu karena kamu layak dihormati.”
Flora menurunkan tatapannya, tetapi senyum tipis muncul di bibirnya.
Kaindra mencium ujung hidungnya. “Jangan ragu dengan dirimu, sayang. Besok, keluargamu akan dilayani dengan baik. Kamu tinggal duduk manis dan tersenyum. Semua sudah disiapkan.”
Flora mengusap d**a Kaindra, memejamkan mata sejenak, menikmati ketenangan yang selalu diberikan lelaki itu. “Aku beruntung punya kamu.”
Kaindra tersenyum kecil. “Aku yang lebih beruntung punya istri secantik dan sekuat kamu.”
Flora tertawa pelan, pipinya memerah. “Kamu selalu tahu cara membuatku tenang.”
Kaindra mendekat, mencium bibir Flora singkat—hangat, lembut, namun penuh kepemilikan.
“Karena kamu adalah milikku sepenuhnya,” bisiknya.
Flora mengalungkan tangan ke lehernya. “Besok… kita sambut keluargaku sama-sama.”
“Tentu,” jawab Kaindra. “Dan aku akan berada disampingmu sepanjang waktu.”
Flora bersandar di d**a Kaindra, menikmati detik-detik kehangatan itu. Besok akan melelahkan. Mungkin juga menguras emosi. Tapi setidaknya, malam ini… Ia memiliki seseorang yang selalu membuatnya merasa aman. Kaindra Bastian.