Dua

1828 Kata
Senin (14.17), 22 Maret 2021 --------------------- Pukul tiga lewat sepuluh sore, Aira sudah sampai di rumah kontrakannya. Begitu berada di ruang tamu kecilnya yang hanya cukup menampung empat kursi kayu, Aira langsung terduduk lemas dengan air mata yang tidak bisa ditahan lagi. Tadi dia ceroboh di tempat kerja. Yah kapan sih dirinya tidak bertindak ceroboh? Julukan ‘pembuat masalah’ memang sudah melekat pada diri Aira. Sama seperti kejadian tadi di pom. Setelah mengisi tangki bensin sebuah mobil pribadi, Aira lupa memasang penutup tangki bensin dan hanya menutup rapat bagian luarnya. Alhasil dirinya menjadi bahan tontonan karena berlarian mengejar mobil pribadi itu. Belum cukup sampai di situ, saat Aira masih dipenuhi panik dan takut, mendadak sebuah motor melaju ke arahnya. Saking kagetnya Aira sampai jatuh terduduk. Jantungnya nyaris lepas karena insiden itu. Syok yang menguasai dirinya membuat Aira seolah tidak sadar dirinya ada di mana dan kenapa. Rasa hangat di tangannya lah yang membuat Aira kembali tersadar. Dan rupanya orang-orang telah mengelilinginya dengan wajah khawatir. Atau lebih tepatnya, para pengunjung pom tampak khawatir sementara rekan-rekan kerjanya lebih terlihat kesal. Hanya Rina yang mau peduli padanya. Bisa dibilang Rina adalah seniornya. Dan satu orang lagi—mungkin karena rasa bersalah—anak SMA yang nyaris menabraknya. Aira tidak terlalu memikirkan pemuda itu. Meski dia lumayan tampan dan mata biru gelapnya sangat enak dipandang, namun hal itu sama sekali tidak menarik perhatian Aira. Yang menjadi bahan pikiran Aira saat ini hanyalah kemarahan manajer pom tadi. Wanita yang biasa dipanggil Mbak As itu memarahi Aira di depan rekan-rekannya dan memberi peringatan untuk tidak membuat ulah lagi. Aira memang sedih dan kecewa. Tapi semua itu tidak ditujukan kepada Mbak As. Aira sadar betul Mbak As juga hanyalah pegawai. Jika kejadian tadi sampai ke telinga pemilik pom, tentu Mbak As yang akan jadi sasaran kemarahan. Jadi yang bisa dilakukan Aira hanyalah menyalahkan dirinya sendiri. Menyalahkan kecerobohan dan kebodohannya. Puas menumpahkan air mata, Aira beranjak ke kamar mandi di bagian belakang rumah. Dia mandi cukup lama. Bukan karena sibuk menghabiskan air. Namun karena tangisnya kembali pecah. Saat Airi masih hidup, Aira tidak akan pernah menangis seperti ini. Begitu setetes air matanya tumpah, Aira akan langsung menghapusnya lalu berusaha mengulas senyum. Dia selalu berusaha tegar demi adiknya. Sedikit saja dia tampak lemah, maka adiknya akan menolak semua jenis pengobatan yang diusahakan Aira dengan alasan tidak mau menyusahkan sang kakak. Kini setelah tujuh bulan kepergian Airi, entah sudah berapa banyak air mata yang Aira tumpahkan. Sungguh, Aira merasa lelah. Dia ingin—meski untuk sekali saja dalam hidupnya—bangun dari tidur tanpa dipenuhi beban dalam pikirannya. Tapi percuma saja sekarang dirinya berangan. Waktu terus berjalan dan takdir menggoreskan kisah seperti ini padanya. Karena itu tak ada yang bisa Aira lakukan selain terus melangkah, dengan segala beban dan kekurangannya sebagai manusia. Dingin mulai terasa menusuk tubuh telanjangnya. Akhirnya Aira putuskan untuk keluar dari kamar mandi yang hanya terdiri dari kran dan bak di bawahnya, serta kloset jongkok. Dengan selembar handuk melilit tubuh, Aira berjalan lemah ke kamar lalu mencari pakaian di lemari kayunya yang telah usang. Begitu pakaiannya telah dikenakan, pintu depannya diketuk kasar. Buru-buru Aira menuju pintu depan dengan rambut basahnya yang menetes-netes, sebelum orang di depan rumah menghancurkan pintu rapuhnya karena terlalu keras mengetuk.          Deg. Aira menelan ludah. Ibu pemilik kontrakan yang wajahnya terkesan sinis sedang berdiri di depan rumah Aira. Telapak tangan Aira langsung berkeringat saat memikirkan apa yang akan terjadi. “Sore, Bu Ina,” sapa Aira dengan senyum ragu karena Bu Ina langsung melotot ke arahnya. “Tidak perlu pakai basa-basi segala! Saya sudah cukup kasih kamu waktu! Pokoknya saya mau kamu bayar uang kontrakan sekaligus hutang kamu besok! Tidak ada nego lagi!” ujar Bu Ina dengan mata berkilat marah. Mati-matian Aira menahan air matanya. Tapi tetap saja, suaranya serak ketika berkata, “Saya belum punya uang, Bu. Bagaimana kalau gajian bulan depan?” “Kamu mau menipu saya, ya? Ini masih tanggal muda dan kamu berani janjikan gajian. Bukankah bulan lalu kamu juga janjikan gajian bulan ini?” Aira tertunduk tanpa berani menyahut. Ini memang salahnya. Aira sudah meminjam banyak uang untuk pengobatan adiknya, terutama demi biaya transplantasi hati. Selain pada pemilik kontrakan—lebih tepatnya suami Bu Ina karena wanita di depan Aira tidak mungkin mau memberi pinjaman—Aira juga meminjam uang di tempat kerjanya. Uang gajian sebesar satu juta lima ratu ribu, dipotong untuk melunasi hutang dan hanya menyisakan seratus ribu untuk keperluan Aira sehari-hari. Bisa dibayangkan betapa besar pinjamannya. “Pokoknya saya tidak mau tahu. Besok uang saya sudah harus kembali. Kalau tidak, saya akan menganggap kamu telah menipu saya dan akan saya laporkan kepada polisi.” Selesai berkata demikian, Bu Ina langsung berbalik lalu meninggalkan Aira. Aira mundur lalu menutup pintu depan. Perlahan tubuhnya merosot ke lantai dengan punggung bersandar di daun pintu. Belum ada air mata yang menitik. Tapi mendadak d**a Aira terasa sesak. Bukan sesak karena penyakit, tapi sesak akibat beban yang terasa menghimpit. Aira sampai harus memegangi dadanya dan bernafas tersengal-sengal. Lalu pandangannya mulai gelap dan tubuh Aira terhempas ke lantai tak sadarkan diri. Saat itulah air matanya menetes membasahi tanah yang menjadi lantai rumahnya.  *** Semua orang yang berada di area balap motor jalanan itu langsung mengerumuni Dariel dengan panik. Mendadak pemuda yang harus mengulang kelas dua SMA karena sakit itu memegang dadanya dengan nafas tersengal. Dia terlihat seperti penderita sesak nafas parah. “Dariel!” pekik Ririn—satu-satunya wanita yang juga pembalap di tempat itu—sambil meremas tangan Dariel. Air matanya sudah menetes melihat Dariel yang tampak begitu tersiksa. “Aku sudah telepon keluarganya dan sekarang si Adit sedang mencari kendaraan.” Fahru yang juga salah satu pembalap menjelaskan. “Kenapa tidak menghubungi ambulan saja?!” Ririn kembali bertanya setengah membentak. “Terlalu lama jika harus—” Penjelasan Fahru terhenti ketika temannya yang lain berteriak sambil menunjuk ke suatu tempat. “Itu Adit.” Sebuah pick up hitam mendekat lalu Adit yang berada di boks belakang mobil serta seorang lelaki paruh baya turun. “Cepat, ayo bantu naikkan ke atas mobil!” seru Bapak itu. Dengan susah payah akhirnya teman-teman Dariel yang berjumlah tujuh orang berhasil menaikkan pemuda itu ke atas pick up. Ketujuh pemuda itu jugalah yang menemani Dariel dalam perjalanan ke rumah sakit sementara yang lain hanya bisa menunggu dengan was-was. *** “Bagaimana kondisi Dariel, Dok?” Mommy Dariel, Amy, langsung bertanya begitu melihat dokter yang biasa menangani Dariel keluar dari ruang pemeriksaan. Dokter menghela nafas ketika menatap kedua orang tua Dariel serta teman-temannya. “Sebelumnya saya ingin bertanya, apa yang tadi dialami Dariel?” Mendengar pertanyaan itu, semua teman Dariel menatap Fahru karena dialah yang pertama kali mengetahui keadaan Dariel dan langsung berteriak memanggil teman-temannya yang sudah bersiap untuk balapan. Fahru mengerti arti tatapan itu dan langsung mendekati dokter. “Tadi Dariel duduk bersama saya untuk menonton balapan. Kami sempat berbincang meskipun saya perhatikan Dariel memang sedikit tidak fokus pada obrolan kami. Lalu tiba-tiba dia tersengal-sengal seperti orang yang memiliki penyakit asma. Dia juga meremas dadanya kuat.” Fahru memperagakan saat Dariel meremas dadanya. “Apa ini efek samping dari transplantasi hati yang sebelumnya dilakukan Dariel?” tanya Daddy Dariel, William, dengan wajah gusar. Padahal dia sudah berharap penderitaan putranya berakhir setelah Dariel berhasil mendapatkan donor hati. Lagi-lagi dokter menghela nafas. “Masalahnya, saya tidak menemukan sesuatu yang aneh pada tubuh Dariel. Kami juga sudah melakukan CT-Scan. Dah hasilnya, Dariel baik-baik saja. Bahkan hati hasil transplantasi yang diterimanya sudah beregenerasi hingga hampir mencapai ukuran aslinya. Itu artinya, tubuh Dariel sepenuhnya menerima hati itu.” Semua orang saling memandang dengan bingung. “Lalu kenapa Dariel mendadak sesak nafas seperti tadi?” tanya Ririn. “Itu yang membuat saya dan tim dokter bertanya-tanya.” Lalu Dokter mengalihkan perhatian pada orang tua Dariel. “Apa setelah operasi tidak ada keluhan tertentu dari Dariel?” Amy menggeleng. “Sama sekali tidak, Dok.” Dia menghapus air matanya yang mengalir. “Kalaupun iya, dia tidak mungkin mengakuinya. Anda tahu sendiri bagaimana Dariel. Kalau bukan kami yang memergokinya kesakitan, dia tidak akan pernah bilang. Padahal saya sudah berusaha keras memperhatikan Dariel pasca operasi. Tapi kenapa masih saja ada hal yang luput dari pengawasan saya?” Willian langsung menarik Amy yang mulai terisak ke dalam pelukan. “Lalu bagaimana, Dok?” William sendiri tidak tahu harus mengajukan pertanyaan seperti apa. “Menurut kami, saat ini Dariel baik-baik saja. Kalian bisa membawanya pulang begitu dia siuman. Tapi jika ada keluhan sekecil apapun, tolong segera kembali ke rumah sakit.” William hanya bisa mengangguk dengan lesu. Dalam hati dia memohon pada Tuhan agar memberi Dariel kesempatan untuk tumbuh layaknya remaja pada umumnya. Jangan lagi rasa sakit terus menemani hari-hari Dariel. *** Perlahan, kelopak mata Dariel terangkat. Dia berkedip beberapa kali sebelum berhasil sadar sepenuhnya. “Sayang.” Dariel tersenyum saat melihat sang Mommy yang duduk di kursi samping ranjang. Ranjang? Bukankah tadi Dariel berada di arena balap motor? Dengan lemah Dariel mengedarkan pandangan dan menyadari dirinya berada di ruangan yang dulu selalu rutin ia datangi. Saat dirinya belum mendapat donor hati. “Dariel.” Itu suara Fahru. Dariel langsung menebak karena hafal betul dengan suara berat khas milik salah satu sahabatnya itu. “Nak, bagaimana perasaanmu sekarang?” Dariel kembali mengalihkan perhatian pada Mommynya. “Kenapa mata Mommy merah seperti itu? Bukankah Mommy sudah janji tidak akan menangis lagi begitu Dariel selesai operasi transplantasi hati?” tanya Dariel dengan suara pelan. Air mata Amy kembali mengalir. “Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu kesakitan, Nak? Kamu suruh Mommy janji jangan menangis. Tapi kamu sendiri tidak mempercayai Mommy untuk berbagi rasa sakitmu.” Amy menangis terisak. Ririn yang berada di dekat Mommy Dariel mengelus pundak wanita itu untuk menenangkan. Air matanya sendiri juga terus mengalir karena mengkhawatirkan kondisi Dariel. “Dariel baik-baik saja, Mom.” “Lalu kenapa tiba-tiba kamu sesak nafas lalu pingsan?” tanya Amy dengan nada tinggi karena mulai merasa frustasi. Sampai kapan Dariel akan terus menyembunyikan rasa sakitnya? “Tidak tahu, Mom. Tapi—” Dariel sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskan apa yang dialaminya. Dia sadar betul saat mendadak sesak nafas. Namun Dariel yakin sesak itu bukan perasaannya. Anggap saja dirinya gila! Tapi itu memang seperti ia sedang merasakan rasa sakit orang lain. “Tapi apa?” desak Amy. “Tapi itu terasa begitu saja.” Amy masih tampak ingin mendesak. Namun Rizka, adiknya yang juga turut menyusul ke rumah sakit, menepuk lengannya pelan. “Sudahlah, yang penting sekarang Dariel baik-baik saja. Sebaiknya kita segera bawa dia pulang agar dia bisa istirahat dengan nyaman di rumah.” Lama Amy masih menatap mata biru gelap putranya, seolah berusaha membaca pikiran Dariel dari kontak mata itu. Tapi lalu dia menghela nafas dengan letih. “Baiklah, ayo pulang. Tapi Dariel, berjanjilah pada Mommy bahwa kamu akan segera memberitahu Mommy jika kamu merasa kesakitan lagi.” Dariel mengangguk dengan senyum lemah. “Tentu, Mom. Dariel janji.” Tapi Dariel tidak bisa memberitahu Mommy rasa sakit yang Dariel yakin bukan milik Dariel, lanjutnya dalam hati.      ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN