Kamis (13.50), 01 April 2021
----------------------
Aira merajuk. Dia sama sekali tidak mau berbicara dengan Dariel selama perjalanan. Bahkan meski dia penasaran Dariel akan membawanya ke mana, Aira memilih tetap bungkam.
Motor yang dikendarai Dariel berhenti di depan rumah yang berada di area perumahan. Sepertinya area tersebut baru dibangun karena rumah yang ada masih terbilang sedikit. Bahkan rumah yang paling dekat dengan rumah yang dituju Dariel kira-kira sejauh dua ratus meter.
“Kau tidak penasaran ini rumah siapa?” goda Dariel begitu mereka turun dari motor. Dariel tahu jelas bahwa Aira merajuk karena pernyataan terakhirnya sebelum mereka meninggalkan rumah kontrakan Aira.
Aira menghembuskan nafas kesal. Sebenarnya dia masih kesal kepada Dariel. Bocah satu ini benar-benar kurang ajar menurutnya. Padahal Aira masih mengingat kalimat tidak sopan Dariel tentang ‘menghamili’, dan sekarang bocah itu malah meminta Aira untuk menjadi kekasihnya. Sialan! Memangnya dia pikir Aira adalah perawan tua yang haus belaian?
“Ai, kau—”
“Sejak kapan namaku menjadi ‘Ai’?” sergah Aira kesal. Entahlah, panggilan itu membuat mereka terkesan lebih akrab. Akrab seperti sepasang—kekasih?
Astaga, mengapa dirinya jadi berpikiran aneh begini? Tapi ini salah Dariel. Kalau pemuda itu tidak berbicara sembarangan, pasti otak Aira tidak akan tercemar.
“Apa yang salah? Anggaplah itu panggilan sayang dariku,” goda Dariel lalu tanpa diduga dia mencolek dagu Aira.
“Dasar bocah m***m sialan!” pekik Aira yang hanya ditanggapi tawa keras Dariel.
“Wajahmu benar-benar lucu ketika sedang marah.” Dariel berkata masih dengan tawanya.
Aira menatap Dariel kesal lalu berbalik sambil melipat lengan di depan d**a. Pandangannya terarah pada halaman rumah itu yang terlihat polos tanpa tanaman.
KLEK.
Suara pintu depan rumah yang terbuka membuat tubuh Aira menegang. Apa pemilik rumah keluar karena tawa keras Dariel tadi?
Sejujurnya yang membuat Aira sangat tegang adalah kemungkinan rumah ini merupakan rumah orang tua Dariel. Walau terdengar sedikit mustahil karena rumah ini terbilang kecil jika mengingat betapa mudahnya ayah Dariel mengirim uang tanpa pejelasan. Tapi bisa saja keluarga Dariel adalah keluarga yang senang hidup sederhana.
Lalu bagaimana jika dugaannya benar? Apa yang harus Aira katakan pada keluarga Dariel. Dia takut orang tua Dariel menganggap dirinya telah memanfaatkan putra mereka. Apalagi mereka baru saling mengenal kurang dari satu hari hanya karena kejadian nyaris tertabrak kemarin.
“Ai, kau tidak mau masuk?” tegur Dariel.
Kali ini Aira tidak mempermasalahkan panggilan Dariel. Otaknya sedang berpikir keras bagaimana cara menghadapi orang tua Dariel.
Sejenak dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa gersang seperti gurun. Kemudian dengan pelan Aira berbalik dengan senyum lebar—yang bisa dibilang senyum terpaksa—menghiasi bibirnya.
“Kenapa kau memamerkan gigi seperti itu? Atau ingin menjemur gigimu supaya kering?”
Pertanyaan Dariel yang terkesan mengejeknya membuat Aira buru-buru mengatupkan bibir. Pandangannya menyapu belakang Dariel yang kini sedang berdiri di ambang pintu yang terbuka. Tidak ada seorangpun di sana.
“Ke mana orang tuamu?”
Salah satu alis Dariel terangkat kemudian senyum gelinya tampak. “Astaga, Ai. Kau bahkan belum berkata setuju untuk menjadi kekasihku. Tapi sekarang kau sudah sangat ingin segera menemui orang tuaku. Ayolah, Sayang. Kau lihat sendiri aku masih mengenakan seragam. Lalu bagaimana caranya aku menafkahimu nanti?”
Baiklah, kekesalan Aira makin memuncak. Namun dirinya belum bisa menumpahkan semua itu sebelum memastikan satu hal. “Jadi tidak ada orang di rumah ini?” tanya Aira dengan ketenangan yang aneh.
“Tidak ada,” jawab Dariel santai.
“Bagus.” Aira berkata lalu menghampiri Dariel, meninggalkan tas-tasnya tergeletak di beranda rumah.
Dariel yang tidak mengerti terus berdiri tenang memperhatikan Aira yang kian mendekat. Lalu tanpa diduga, wanita itu menggelitiki pinggang dan perut Dariel.
“Aira, hentikan! Hahaha.....”
Dariel berusaha menghalau jemari Aira sambil bergerak mundur ke dalam rumah. Tawanya tidak bisa berhenti hingga sudut matanya berair. Sungguh, Dariel sangat sensitif dengan gelitikan.
Aira sendiri juga tertawa keras saat melihat ekspresi wajah Dariel yang menurutnya sangat lucu. Jemarinya masih terus beraksi meski beberapa kali Dariel memukul keras lengannya. Sakit memang, tapi itu sepadan dengan pemandangan wajah Dariel yang penuh tawa namun tersiksa.
“Aira, kumohon! Hahaha...”
“Berani berbicara tidak sopan lagi padaku?” tanya Aira dengan nada mengancam.
“Hahahaha.....tidak.”
“Aku tidak percaya.”
Bersamaan dengan kalimat terakhir Aira, Dariel berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu. Namun karena Dariel terus mundur saat mencoba menghindar, kakinya tersangkut kaki sofa di ruang tamu. Alhasil Dariel jatuh telentang dengan Aira yang juga terhempas di dadanya karena tangan Dariel masih mencekal pergelangan tangan Aira.
“Hahahaha.......”
Bukannya meringis sakit atau apa, Aira malah terus tertawa dengan wajah di d**a Dariel. Namun tawa itu tidak bertahan lama karena tanpa diduga, Aira malah menangis sesenggukan.
“Ai, kenapa menangis? Seharusnya aku yang menangis karena kau menggelitiku hingga rasanya aku ingin mati. Dan lagi aku yang jatuh menghantam lantai sementara kau dengan nyamannya mendarat di atas tubuhku.”
Bukannya menjawab, tangis Aira makin keras.
Dariel melirik pintu yang terbuka lebar. Untung saja dia tidak memiliki tetangga yang jaraknya dekat. Karena jika ada orang yang melihat, mungkin mereka berdua disangka berbuat m***m dan rumah ini langsung digusur karena dianggap sebagai tempat praktek kemesuman.
“Aira, sebenarnya apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Dariel pelan namun tetap tidak mendapat tanggapan.
Sejak meninggalkan rumah kontrakan Aira, berkali-kali Dariel sengaja memancing kemarahan Aira. Marah lebih baik daripada kesedihan wanita itu yang sangat mengganggu Dariel. Saat merasakan kesedihan Aira, selalu saja dadanya terasa sesak dan sakit. Dariel pikir dirinya sudah berhasil. Tapi ternyata kesedihan kembali menyelimuti perasaan Aira.
“Baiklah, Aira. Aku menyerah. Untuk sekali ini saja silahkan menangis sepuasmu dan biarkan kesedihanmu menguar. Setelah ini aku tidak mau kau seperti ini lagi.”
Dariel meletakkan salah satu telapak tangannya di belakang kepala untuk dijadikan bantal sementara tangannya yang lain membelai rambut Aira dengan lembut.
Ucapan dan perlakuan Dariel membuat bendungan kesedihan Aira jebol. Air matanya makin deras mengalir namun isak tangisnya yang keras teredam d**a Dariel. Aira tidak menahan diri lagi. Dia menangisi semuanya. Hidupnya yang sebatang kara, rasa sakit Airi selama hidup, kematian Airi, dan masa depannya yang semakin kacau balau.
Rasanya kepala Aira akan pecah. Tapi itu hanya perasaannya saja. Padahal Aira akan sangat bersyukur jika kepalanya benar-benar pecah. Dengan begitu dia akan terbebas dari semua siksaan ini. Namun sayang, beban pikiran tidak pernah berhasil membunuh orang sehat seperti dirinya. Jantungnya tetap berdetak dan nafasnya tetap berhembus. Hidupnya terus berjalan dan mau tidak mau, Aira harus menghadapi semuanya.
Entah berapa menit berlalu, keduanya tidak sanggup menghitung. Air mata Aira mulai habis dan matanya terasa kering. Perlahan isakannya reda.
“Dariel, seragammu basah,” ucap Aira sambil menghapus sisa air mata dengan suara serak.
“Hmm.”
“Apa kau tidur?” Aira mencoba mengingat apa tangisnya tadi lama. Karena tidak ada jawaban, wanita itu mengangkat kepala untuk memastikan Dariel tidur atau tidak. “Kau menangis juga?” tanya Aira dengan kaget.
Sungguh, Aira tidak menyangka bahwa Dariel bisa begitu perasa. Dilihat dari penampilannya yang tinggi dan tegap, serta wajahnya yang tampak seperti remaja tampan yang nakal, jelas tidak akan ada yang menyangka bahwa seorang Dariel bisa menangis hanya karena mendengar orang lain menangis.
Atau, mungkinkah Dariel memang seperti ini? Hanya saja Aira belum mengenalnya lebih jauh.
Ingatan Aira melayang pada pertemuan kedua mereka di depan trotoar dekat pom bensin. Saat itu Aira juga mendapati Dariel menangis dan sampai sekarang belum mendapat jawaban atas kesedihannya.
“Karena itu aku melarangmu menangis. Saat kau menangis, aku juga akan menangis.” Dariel berkata dengan lembut. Jemarinya yang tadi membelai rambut Aira beralih menghapus air mata wanita itu.
Sejenak, Aira terbuai akan kata-kata manis Dariel. Tapi beruntung dia langsung sadar dan tahu diri. Dariel hanya sedang menggodanya. Kalimat pemuda itu hanya rangkaian kata-kata tanpa makna.
Buru-buru Aira bangun dari tubuh Dariel. Kemudian ia membalikkan tubuh dengan malu sementara Dariel juga berusaha berdiri.
“Kenapa?” tanya Dariel tidak mengerti. Perasaan Aira kembali berubah-ubah dengan cepat hingga membuat bingung dirinya.
“Maaf atas tingkah kekanakanku.” Aira bingung harus berkata apalagi, lalu ia teringat akan rumah ini. “Sebenarnya ini rumah siapa?”
“Rumahku. Atau lebih tepatnya rumah yang dibelikan orang tuaku agar aku bisa tenang melukis. Yah, sebenarnya tidak terlalu tenang juga karena teman-temanku sering menginap. Tapi sejak beberapa bulan lalu, aku nyaris tidak pernah datang ke sini. Jadi jangan heran kalau ruangannya berdebu,” jelas Dariel panjang.
Sebenarnya dia tidak mendatangi rumah ini lagi sejak kondisinya makin parah dan tidak bisa keluar dari rumah sakit. Setelah berhasil mendapat donor hati, Mommynya tetap melarang karena khawatir tiba-tiba terjadi sesuatu pada Dariel sementara dia seorang diri di rumah ini.
“Jadi, kau tidak keberatan aku tinggal di sini?” tanya Aira dengan suara bergetar.
“Astaga, kau mau menangis lagi?” tanya Dariel kesal. Baru saja wajahnya berhasil dibersihkan dari air mata, dan sekarang Aira malah akan menangis lagi.
“Tidak.” sahut Aira dan segera mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca. Kemudian dia berbalik menatap Dariel. “Aku masih tidak mengerti mengapa kau sangat peduli padaku. Bahkan dengan mudahnya kau mengeluarkan uang banyak dan tenaga untuk menolongku. Aku—” Aira tercekat. “Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih atas semua bantuanmu. Dan aku juga tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu.”
Dariel ingin kembali menggoda Aira tentang menjadi kekasihnya, tapi dia mengurungkan niat. Sepertinya kali ini Aira tidak akan terpancing.
“Untuk saat ini, kau hanya perlu membalas dengan tidak sedih dan tidak menangis lagi.”
Dariel berkata sungguh-sungguh demi kebaikan mereka berdua karena dirinya juga tidak tahan merasakan kesedihan Aira. Namun dalam benak Aira, Dariel kembali terdengar seperti pemuda yang sedang merayu.
“Dariel, tolong. Kau lihat sendiri kondisiku sekarang. Aku tidak tertarik untuk meladeni gombalanmu.”
Dariel meringis sambil mengusap tengkuknya. Sepertinya akan sangat sulit menjelaskan pada Aira bahwa ada ikatan yang terjalin di antara mereka.
“Yah, baiklah. Terserah kau saja. Sekarang bawa barang-barangmu. Aku akan menunjukkan bagian-bagian rumah ini.”
Setelahnya Dariel keluar yang langsung diikuti Aira. Saat mereka sedang mengambil tas Aira, ponsel Dariel berdering.
“Kau masuk duluan saja.” Dariel berkata sambil menerima panggilan telepon. “Halo, Mom.”
Tanpa menunggu Dariel, Aira masuk sambil membawa dua tasnya. Dia menduga pastilah mommy Dariel meminta putranya untuk pulang. Bukankah dalam keluarga seperti itu?
Sementara itu Dariel masih berusaha membujuk Mommynya agar diizinkan menginap. “Dariel tidak sendirian, Mom. Ada teman Dariel di sini.”
“Tidak, Sayang. Mommy mau kamu pulang. Baru kemarin kamu pingsan. Mommy tidak mau hal itu terjadi lagi. Kalau di rumah, Mommy bisa mengawasimu.”
“Ayolah, Mom. Dariel sudah besar.”
Dariel sudah menduga bahwa penyebab pingsannya adalah kesedihan Aira. Karena itu menurut Dariel Aira tidak boleh dibiarkan sendirian. Jika memiliki teman mengobrol, kesempatan Aira untuk meratapi nasib akan lebih kecil.
“Kalau kamu masih memaksa, besok kamu tidak boleh masuk sekolah,” tandas Amy.
“Ah, baiklah. Tapi Dariel akan pulang jam sembilan malam.”
“Se-ka-rang!” Amy memenggal tiap suku kata lalu memutus sambungan telepon.
Dariel mendesah. Kalau sudah seperti ini dia memang harus pulang. Jika tidak, sang Mommy akan mengirim seseorang untuk menyeretnya pulang. Bukan pulang paksa yang Dariel khawatirkan, melainkan keberadaan Aira yang kemungkinan besar sampai ke telinga Mommynya. Dariel belum siap Mommynya tahu karena dirinya belum memiliki alasan yang masuk akal untuk menjelaskan. Pasti Mommynya tidak akan setuju jika beliau tahu Dariel baru mengenal Aira sebentar dan sudah terlibat dengan masalah wanita itu. Bagaimanapun, seorang ibu pasti sangat mengkhawatirkan anaknya dan tidak akan semudah itu percaya pada orang asing.
“Terima kasih sudah menawariku tinggal di sini. Aku terbiasa hidup seorang diri. Jadi pulanglah, aku akan baik-baik saja. Orang tuamu pasti khawatir.”
Dariel menatap Aira serius selama beberapa saat, kemudian dia menyeringai. “Aku sedang mengkhawatirkan diriku sendiri, bukan dirimu,” ujar Dariel sambil mendekat pada Aira kemudian mengacak rambut wanita itu. “Silahkan buat dirimu sendiri nyaman di rumah ini. Aku pulang dulu.”
***
Aira memperhatikan dengan takjub sebuah ruangan tanpa perabot yang cukup luas. Dalam ruangan itu terdapat banyak lukisan yang telah dibingkai dan dipajang di dinding.
Seumur hidup, belum pernah Aira melihat lukisan secara langsung. Dia merasa begitu takjub dan tidak menyangka bahwa semua ini adalah hasil tangan, bukannya foto yang direkayasa sedemikian rupa hingga menyerupai lukisan.
Cukup lama Aira memperhatikan, dia menyimpulkan bahwa Dariel hanya melukis orang yang benar-benar menarik perhatiannya. Sebagian besar lukisan Dariel adalah pemandangan alam, kota dan binatang. Hanya beberapa lukisan orang dengan objek yang sama. Pastilah orang-orang itu memiliki arti tertentu bagi Dariel.
Kruuukk.
Aira menggigit bibir sambil memegang perutnya. Baru ia sadari bahwa dirinya hanya sarapan selembar roti di pagi hari dan melewatkan makan siang. Kini perutnya protes minta jatah.
Dia keluar dari ruangan yang menjadi tempat memajang lukisan Dariel menuju dapur. Luas rumah Dariel kira-kira dua kali lebih besar dari rumah kontrakan Aira namun memiliki dua lantai. Ada empat kamar di rumah itu. Salah satunya yang berada di lantai dua digunakan untuk memajang lukisan Dariel. Sepertinya itu adalah kamar utama. Di sebelah kamar itu terdapat kamar yang lebih kecil penuh dengan barang-barang Dariel.
Di lantai dasar, terdapat dua kamar kosong namun bersih. Sepertinya Dariel hanya membual tentang rumah itu yang berdebu. Kenyataannya semua perabot dalam keadaan bersih dan terawat. Mungkin selama Dariel tidak menempatinya, ada orang yang dibayar untuk menjaga kebersihan rumah itu.
Aira memilih kamar di lantai dasar yang jendelanya menghadap—sepertinya—kebun. Aira belum bisa memastikan karena hari sudah beranjak malam. Aroma alam yang hijau dan segar menguar saat Aira membuka daun jendela. Itulah alasan Aira menjatuhkan pilihan pada kamar yang didominasi warna biru lembut itu.
Desahan pelan terdengar dari sela bibir Aira saat ia tidak menemukan makanan apapun di dapur. Kemudian ia tersenyum karena hal semacam ini bukan sekali dua kali Aira alami. Akhirnya dia memilih mengisi satu gelas penuh air dari kran di atas bak cuci piring lalu meminumnya. Selain ruangannya yang terawat, saluran air di rumah itu juga mengalir lancar.
Selesai dengan acara mengisi perut, Aira menuju pintu depan untuk memastikan dirinya tidak lupa mengunci pintu. Setelah itu Aira langsung ke kamar dan naik ke tempat tidur. Sengaja Aira terus menyibukkan diri dengan berbagai hal sejak Dariel pergi. Mulai dari menata barang-barangnya di dalam kamar yang ia tempati—walau Aira ragu dirinya akan tinggal lama—kemudian dilanjutkan dengan menyusuri tiap bagian rumah dan berusaha menghafal.
Jika ditanya alasannya apa, Aira malu mengakui. Tapi, baiklah. Untuk apa bohong pada dirinya sendiri?
Entah mengapa, Aira terngiang ucapan Dariel yang menurutnya hanya gombalan semata. Dan lagi, tidak ada orang selain Airi yang pernah memintanya untuk tidak sedih dan menangis. Karena itu Aira sengaja terus menyibukkan diri dan otaknya agar dia tidak kembali mengingat kesedihannya.
Kini lelah mulai menguasainya. Tidak hanya lelah badan, melainkan juga lelah hati dan pikiran. Perlahan, mata Aira mulai menutup dengan kalimat Dariel yang menjadi lagu pengantar tidurnya.
Untuk saat ini, kau hanya perlu membalas dengan tidak sedih dan tidak menangis lagi.
***
Dariel tiba di rumah setelah matahari mulai terlelap dan bulan menggantikan tugasnya. Baru saja membuka helm, pemuda itu dibuat heran dengan keberadaan Mommy dan Daddynya yang seperti sedang menunggu di beranda. Tentu saja mereka selalu menunggunya pulang. Tapi tidak pernah di luar seperti ini.
“Hai Mom, Dad,” sapa Dariel saat dia menaiki undakan mendekati kedua orang tuanya.
“Kau dari mana?” tanya William tenang tanpa membalas sapaan putranya.
“Tadi Dariel sudah minta izin pada Mommy,” jawab Dariel dengan raut bingung.
“Kau benar-benar dari studio kan, Sayang?” tanya Amy lembut.
“Tentu saja, Mom.”
“Lalu sebenarnya kau gunakan untuk apa uang lima ratus juta yang kau minta tadi sore?” tanya Amy lagi.
Akh, s*al!
Dariel mengumpat dalam hati. Dia belum sempat menyiapkan jawaban. Sebelumnya orang tua Dariel tidak pernah mempermasalahkan berapapun uang yang Dariel minta. Baru beberapa hari kemudian Dariel akan mengatakan untuk apa uang itu. Tapi kenapa sekarang hal ini jadi penting? Padahal Dariel yakin orang tuanya tidak sedang membutuhkan uang itu.
Dariel menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berusaha memasang ekspresi bingung. “Tidak biasanya Mommy langsung menanyakan untuk apa uang yang Dariel minta.”
“Uang yang kau minta kali ini cukup banyak, tidak seperti biasanya. Jadi Mommy penasaran.”
Dariel menoleh pada Willian dengan sorot mata yang seolah bertanya, mengapa Mommynya bisa tahu?
William mengerti dan berusaha menjelaskan. “Daddy juga penasaran. Karena itu Daddy bertanya pada Mommy. Tapi rupanya Mommy juga tidak tahu.”
Setidaknya Dariel bersyukur karena Daddynya baru mempertanyakan hal ini di rumah. Jika tidak, mungkin Dariel tidak akan berhasil mendapat uang dan Aira langsung dijebloskan ke penjara.
“Ehm, sebenarnya Dariel sedang membantu teman yang terlilit hutang.”
Orang tua Dariel menunjukkan ekspresi tidak percaya. “Anak seumuranmu ada yang memiliki hutang sebesar itu?”
“Ayolah, Mom. Tentu saja bukan dia. Orang tuanya yang punya hutang. Bahkan yang tadi itu belum lunas seluruhnya.”
“Tapi Daddy masih tidak habis pikir, apa yang dilakukan orang tua temanmu itu hingga memiliki hutang yang sangat besar. Kalau ini masalah hutang perusahaan harusnya mereka tidak melibatkan anak remaja untuk mendapatkan uang. Tapi kalau hanya hutang karena hidup kekurangan, sepertinya lima ratus juta sangat berlebihan.”
Dariel berpikir keras lalu menemukan alasan yang cukup cemerlang. Dia berdehem sejenak lalu berusaha menatap orang tuanya dengan raut sedih. “Adik temanku menderita sirosis hati. Sama seperti Dariel, dia membutuhkan donor hati. Yah, kalian tahu sendiri betapa mahal pengobatannya.”
Amy menutup mulutnya dengan kaget. Dia jadi prihatin dengan teman Dariel karena dirinya sudah merasakan bagaimana berada di posisi mereka. “Lalu, apa—”
“Mom, bisakah kita lanjut besok? Dariel ingin istirahat.” Buru-buru Dariel memotong perkataan Mommynya agar dirinya tidak berbohong semakin jauh. Begitu mendapat anggukan dari Mommynya, segera Dariel masuk ke dalam rumah menuju kamar.
Astaga, bagaimana bisa dirinya bohong sejauh ini? Bisa-bisa Daddynya marah besar saat Dariel ketahuan terutama karena kebohongannya melibatkan uang yang tidak sedikit.
------------------------
♥ Aya Emily ♥