Sembilan

1752 Kata
Sabtu (15.15), 03 April 2021 ---------------------- Dariel memang tidak sejago Hendra, Ketua Tim Basket SMA Taruna Jaya. Namun dia serta teman-teman sekelasnya yang lama—yang sekarang sudah kelas tiga—berhasil membuat Hendra dan timnya kewalahan. Tinggal sebentar lagi, dan pertandingan itu akan selesai. Tapi— “DARIEL!!” Semua yang menonton pertandingan itu berteriak nyaris bersamaan dengan berbagai ekspresi di wajah. Dari semua ekpresi itu, cemas dan takut yang terlihat mendominasi. Begitu melihat tubuh Dariel limbung dengan tangannya yang meremas d**a, teman-teman Dariel bergegas menghampiri. Mereka semua tampak khawatir, terutama mengenai penyakit Dariel. Sebelum pertandingan memang ada beberapa teman Dariel yang mencegah. Terutama para kekasihnya. Namun bukan Dariel namanya jika bisa dibujuk dengan mudah. Saat dia telah menentukan sesuatu, dia akan tetap melaksanakannya. “Cepat panggil guru!” perintah Vian panik. “Ayo, bawa dia ke UKS!” Zen memberi usul. “Apa tidak sebaiknya langsung ke rumah sakit saja? Jelas ini pasti berhubungan dengan penyakitnya.” Zaskia yang tadi jadi bahan taruhan berkata dengan cemas. “Heh, perempuan murahan!” Leli berkata sambil mendorong bahu Zaskia. “Kalau bukan karena kamu yang sok kecantikan, Dariel gak akan kayak ini.” “Kenapa aku yang disalahkan? Aku sudah ngelarang mereka tapi gak ada yang hiraukan.” Zaskia membela diri. Mona yang sedang menangis di dekat Dariel segera menghapus air matanya lalu bengkit menghadap Zaskia. “Kita semua tahu betul Dariel kayak gimana. Kalau kamu minta putus darinya, Dariel pasti langsung bilang iya. Tapi apa ini? Kamu pasti sangat bangga jadi rebutan pangeran sekolah, kan?” “KALIAN SEMUA BISA BERHENTI??!!” Teriakan Kris membuat suasana seketika hening. Bersamaan dengan itu, guru olahraga telah sampai di kerumunan siswa. “Astaga, Dariel! Ayo, bantu bawa dia ke parkiran mobil. Bapak akan langsung bawa ke rumah sakit.” Dariel yang samar-samar mendengar kata ‘rumah sakit’ langsung memejamkan mata. Pemuda itu berusaha mengatur nafas dan menenangkan diri. Dariel sadar bahwa rasa sakit di jantungnya adalah milik Aira. Pasti terjadi sesuatu yang tidak baik pada wanita itu. Dariel tidak boleh sampai dibawa ke rumah sakit. Kalau tidak, akan sangat sulit baginya menemui Aira dalam waktu dekat karena orang tuanya pasti akan melarang Dariel keluar rumah. “Tidak, tidak perlu ke rumah sakit.” Dariel berkata lemah. Dalam hati dia mengingatkan bahwa rasa sakit ini bukan miliknya. Seharusnya Dariel tidak terpengaruh. “Tidak ada penolakan, Nak.” Guru olahraga itu bersikeras. Untuk membuktikan bahwa dirinya memang baik-baik saja, Dariel membuka mata lalu mencoba duduk. Setelah itu dia memasang senyum meski tampak lemah. “Lihat, aku baik-baik saja.” Dariel berkata pada teman-temannya. Kemudian dia beralih pada guru olahraga. “Saya baru ingat bahwa saya tidak boleh kelelahan, Pak. Ini salah saya yang ikut bermain tanpa memperhatikan kondisi saya.” Dariel menjelaskan. “Biar dokter yang memastikan kamu baik-baik saja atau tidak.” guru itu bersikeras. “Pak, kenapa masih di sini? Ayo cepat ke rumah sakit!” seorang guru wanita bertubuh subur berkata dengan panik. “Tidak jadi, Bu. Saya baik-baik saja.” Kemudian Dariel berdiri sambil berpegangan pada tangan Vian. “Tolong jangan memberitahukan masalah sepele ini pada orang tua saya. Saya tidak mau mereka panik lalu buru-buru datang ke sekolah padahal saya tidak apa-apa.” Kedua guru di depan Dariel saling pandang. Sebelum guru yang lain sampai di lapangan juga, Dariel segera pamit ke kelas. Si guru wanita masih mengikuti Dariel dan teman-temannya ke dalam kelas untuk memastikan. Setelah yakin bahwa Dariel memang baik-baik saja, barulah dia kembali ke ruang guru. Begitu gurunya pergi, Dariel mendesah lega. Dia memejamkan mata sejenak untuk mencoba meresapi apa yang dirasakannya sekarang. Apa ada perasaan Aira lagi yang terasa? Tapi ternyata tidak ada. “Sayang, bagaimana perasaanmu sekarang? Bagian mana yang masih terasa sakit?” Mona bertanya dengan ekspresi cemas. “Honey, kalau masih sakit bilang saja. Jangan ditutupi.” Leli tidak mau kalah menunjukkan perhatian. Memang ada beberapa kekasih Dariel yang lain yang juga ikut mendampingi Dariel ke kelas. Namun tidak ada yang berani menunjukkan perhatian. Sejak Mona—yang merupakan salah satu primadona—menjadi kekasih Dariel, keberadaan mereka seolah tenggelam. Apalagi sekarang juga ada Leli dan Zaskia yang berhasil membuat mereka semakin tak percaya diri. “Kalian bukannya bantu, malah bikin Dariel tambah pusing,” sergah Kris. Dia sama sekali tidak peduli bahwa yang berhadapan dengannya adalah kakak kelas. “Kamu sadar bicara sama siapa?” Mona tidak terima. “Tolong semuanya,” ketua kelas menengahi. “Kita semua sama-sama tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Dariel. Jadi tolong kerja samanya. Yang bukan dari kelas ini mohon keluar.” Teman sekelas Dariel mengangguk setuju dengan pendapat ketua kelas sementara yang lain terdengar menggerutu namun menuruti saran masuk akal itu. Satu per satu merekapun keluar. Dariel yang sudah kembali membuka mata menoleh ke arah Hendra yang juga hendak keluar. “Hendra, aku mau bilang sesuatu.” Semua anak langsung berhenti. Mereka penasaran apa yang ingin Dariel katakan. “Apa?” tanya Hendra datar. Dia tadi juga panik saat melihat Dariel tiba-tiba limbung lalu jatuh. Bagaimanapun sebelumnya Hendra tidak memiliki masalah dengan Dariel. Bisa dibilang dia salah satu orang yang mengagumi sikap cuek putra pemilik yayasan itu. Namun perasaan marah dan iri mulai melingkupi dirinya saat tahu bahwa teman masa kecil yang sudah lama disukainya menjalin hubungan dengan Dariel. Awalnya Hendra berusaha menerima. Tapi lama-kelamaan dia tidak rela. “Mengenai pertandingan tadi, aku mengaku kalah. Jadi mulai sekarang aku dan Zaskia tidak memiliki hubungan lagi.” Lihat, kan! Memang sangat mudah bagi seorang Dariel Kenneth untuk menjalin dan memutus hubungan asmara. “Tapi kita masih berteman kan, Kak?” Zaskia memastikan. “Tentu saja.” Dariel tersenyum. Dia yakin Zaskia juga tak benar-benar menganggapnya kekasih. Buktinya tidak seperti kekasihnya yang lain, tak ada protes dari gadis itu. “Thanks.” Akhirnya hanya itu yang bisa Hendra ucapkan. Kemudian dia berbalik keluar kelas sambil menggenggam jemari Zaskia. “Dariel, kamu butuh sesuatu?” tanya Vian yang masih tampak cemas. “Nggak.” Dariel menggeleng. “Tadi itu kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu kesakitan kayak itu? Aku masih cemas, tahu!” selidik Vian dengan nada cemas yang tak bisa ditutupi. Dariel bersandar sambil mendongak menatap langit-langit. “Sepertinya, wanitaku sedang tertimpa masalah,” jawabnya dengan pandangan menerawang. Dan tentu saja, jawaban Dariel membuat kesal teman-teman sekelasnya yang turut mendengarkan. “Dariel, aku khawatir. Tapi yang kamu pikirin cuma cewek, dasar!” Rasanya Vian ingin mencekik Dariel. Kris berdecak sebal. “Jadi kamu kesakitan karena mikirin cewek? Dasar playboy cap buaya!” Dariel hanya terkekeh sebagai tanggapan. Walau semua teman Dariel menanggapi ucapan Dariel tadi, namun tidak satupun yang percaya bahwa itu fakta. Menurut mereka Dariel hanya tidak ingin mengatakan alasan sebenarnya dan berusaha mengalihkan perhatian.           *** Sekali lagi Aira menghapus air matanya yang menetes. Hidupnya sungguh menyedihkan. Dia seperti berjalan dari satu masalah ke masalah yang lain. Baru saja menerima kemarahan pemilik pom, sekarang Aira hanya bisa terduduk di ruang istirahat dalam kantor dengan beberapa luka di tubuhnya. Tadi saat hendak menyeberang karena disuruh membeli sesuatu di seberang jalan, Aira terserempet sepeda motor. Sebenarnya keduanya salah. Aira tidak fokus sedangkan pengemudi itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi di area penyeberangan. Alhasil tubuh Aira terpelanting dengan keras di aspal dan motor yang menyerempetnya juga terjatuh. Yang semakin membuat Aira sedih adalah kenyataan bahwa dirinya yang dianggap bersalah karena menyeberang sembarangan dan dipaksa mengganti rugi kerusakan serta pengobatan si pengendara motor. Saat itu Aira berpikir mengapa dirinya tidak mati saja tadi. “Aira, mau kuantar pulang?” tanya Rina, satu-satunya teman satu shiftnya yang tulus peduli padanya. “Tidak usah,” sahut Aira sambil menggeleng. Dia belum mengatakan bahwa tidak lagi tinggal di rumah kontrakan. “Mana mungkin kamu pulang jalan kaki dalam keadaan seperti ini?” “Tidak masalah.” Tiba-tiba Rina memeluk Aira erat. “Jangan terlalu dipendam sendiri. Aku siap mendengar kalau kamu mau cerita? Aku juga siap bantu kalau kamu butuh bantuan.” Air mata Aira kembali menetes. Memang hanya Rina dan Mbak As yang tahu mengenai keadaannya. Mereka adalah orang yang turut datang ke pemakaman Airi. Sementara rekannya yang lain tidak datang bukan karena membenci Aira, namun karena Aira memang melarang kedua wanita itu untuk memberitahu yang lainnya. “Terima kasih, Rina,” ucap Aira. Rina melepas pelukan. Matanya juga basah saat menatap Aira. “Mengenai ganti rugi yang diminta pengendara motor itu, aku akan membantumu.” Lalu nadanya berubah meninggi. "Lagipula seharusnya kamu yang minta ganti rugi. Makanya jangan terlalu lembek, ishh!" Aira terkekeh geli melihat kekesalan Rina seraya menggeleng. “Sudahlah, lupakan. Memang aku yang salah. Dan tentang tawaranmu, jangan. Aku akan selesaikan sendiri. Aku baik-baik saja,” tolak Aira. Rina adalah seorang janda satu anak. Hidup bertiga bersama ibunya juga sementara suaminya sudah meninggal karena kecelakaan. Mengerti alasan Aira menolak, dia mencoba bersikeras, “Tapi aku masih punya tabungan—” “Kumohon, Rina. Jangan biarkan aku jadi alasan putrimu tidak bisa sekolah nanti. Bukankah tabungan itu memang untuk persiapan sekolah putrimu? Aku khawatir tidak sanggup mengembalikannya.” Rina hanya bisa mengangguk karena ucapan Aira benar. Namun dirinya sungguh tidak tega membiarkan Aira menanggung masalah ini sendirian. “Sudahlah. Aku akan baik-baik saja, seperti sebelum-sebelumnya. Segeralah pulang karena putrimu pasti sedang menunggu.” Sekali lagi Rina memeluk Aira kemudian dia pamit keluar. Aira menatap punggung Rina yang menjauh dengan kesedihan yang kembali merasuk. Pasti sangat menyenangkan jika ada yang menunggunya pulang seperti Rina yang ditunggu putri dan ibunya. Tidak mau terlalu lama larut dalam kesedihan, Aira bangkit. Dia sudah hafal jalan pulang ke rumah Dariel. Jaraknya lebih jauh daripada rumah kontrakannya. Namun Aira tidak memiliki uang untuk naik kendaraan umum. Uang yang dimilikinya sekarang hanya cukup untuk kebutuhannya sehari-hari sampai gajian bulan depan. Belum lagi masalah ganti rugi ini. Dengan langkah tertatih, Aira keluar dari ruang istirahat kantor. Saat itu hanya dirinya yang berada di sana karena Mbak As sedang pergi sejak beberapa jam lalu. Baru saja mencapai ruang untuk menerima tamu di kantor kecil itu, sosok yang sangat dikenal Aira terlihat membuka pintu kantor dengan tergesa dan raut wajah panik. Sejenak Aira tertegun. Tapi tidak lama. Setelah melihat raut cemas Dariel, tubuhnya bergerak di luar kendali. Saat itulah untuk pertama kalinya secara sadar Aira menyerah lalu menghambur ke dalam pelukan Dariel. Tidak peduli bahwa Dariel lebih muda tujuh tahun darinya. Tidak peduli bahwa orang di hadapannya merupakan remaja yang masih mengenakan seragam SMA. Bahkan tidak peduli bahwa mereka baru saling mengenal kurang dari seminggu. Aira mengabaikan semua itu. Dia hanya butuh tempat bersandar. Butuh sejenak saja membiarkan orang lain yang menunjukkan jalan untuknya. -------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN