2. ORANG ASING YANG MENYEBALKAN

1088 Kata
Rhae tertunduk di tempat duduknya tanpa berani mengangkat wajah. Padahal di tempat itu keadaan cukup ramai, tapi entah kenapa ia seperti berada dalam sebuah lorong sempit dan gelap yang membuatnya sangat ketakutan. Tangannya yang gemetar terus disembunyikan dari Kael. “Jam tangan kamu ketinggalan di apartemen dan saya baru lihat. Ini benar milik kamu kan, Rhae?” “I – iya, Mas.” “Apa ini ketinggalan waktu dua hari yang lalu?” Rhae mengangguk tanpa menatap wajah Kael. “Sepertinya iya.” “Jadi malam itu, kamu yang antar saya pulang dari bar?” “Iya Mas, seperti biasa.” Kael menghela napas penuh sesal. “Harusnya saya hapus nomor kamu dari daftar panggilan cepat. Saya benar-benar bod0h karena merepotkan kamu terus. Pasti nggak nyaman masuk ke tempat seperti itu, kan?” “Iya Mas. Sebaiknya Mas berhenti mabuk-mabukan karena nggak baik buat kesehatan. Mbak Nia pasti sedih kalau lihat Mas hidup seperti ini.” “Iya, kamu benar, Rhae,” gumamnya. Kael lalu menatap Rhae dengan serius. “Rhae, saya mau tanya sesuatu sama kamu. Mungkin agak sensitif tapi ini sangat mengganggu saya selama dua hari ini.” Seketika detak jantung Rhae yang sebelumnya perlahan tenang, kembali berdetak dengan sangat cepat. Bayangan malam itu kembali menghantui. Membuatnya merasa takut dan bersalah. “Apa Mas?” Kael melihat ke sekitar, memastikan tidak ada yeng mendengar omongannya. “Apa malam itu saya melakukan kesalahan kepada kamu?” Rhae berusaha tetap tenang. “Maksud Mas Kael?” “Tolong jangan tersinggung, Rhae. Waktu saya bangun tidur, kondisi saya tanpa pakaian dan ada noda merah di seprei. Saya takut saat mabuk, saya melakukan hal itu kepada kamu. Tapi saya benar-benar tidak ingat apa yang terjadi di malam itu. Saya mau kamu jujur, Rhae. Apa kita melakukan hubungan …” “TIDAK!” jawab Rhae cepat. Ia berusaha tersenyum meski terlihat sangat canggung. “Tidak terjadi apa-apa sama kita, Mas. Aku antar kamu ke apartemen lalu aku pulang. Selebihnya aku nggak tahu apa yang terjadi sama kamu,” jelasnya dengan raut wajah panik. Ekspresi tegang Kael perlahan mereda. Pria itu menghela napas, merasa lega mendengar jawaba Rhae. “Syukurlah kalau memang tidak terjadi apa-apa. Saya nggak akan bisa memaafkan diri saya sendiri kalau sampai menyakiti kamu, Rhae.” “Iya Mas, semuanya baik-baik saja.” “Saya ajak kamu ketemu selain mau tanya soal ini, ada yang mau saya sampaikan juga. Sepertinya saya akan kembali ke Singapore karena kalau saya terus di sini, maka saya nggak akan bisa melanjutkan hidup dengan normal. Saya terlalu hancur karena kepergian kakak kamu.” Rhae meremas kedua tangannya mendengar ini. Bukan karena takut kehilangan Kael tapi ia merasa bingung apakah keputusannya menyembunyikan apa yang terjadi malam itu sudah tepat. “Saya harus kasih tahu ibu, mungkin besok saya ke rumah. Seperti yang kamu bilang, Rhaharnia pasti sedih kalau saya hidup seperti ini. Jadi sudah saya putuskan, saya akan kembali untuk melanjutkan pendidikan,” jelas Kael. “Iya Mas, itu keputusan yang tepat. Mas harus tetap hidup dengan baik.” Kael menyentuh tangan mungil Rhae. “Kamu sudah seperti adik kandung saya, Rhae. Dan ibu juga seperti ibu saya sendiri. Kita masih bisa tetap jadi keluarga, kan?” Air mata Rhae nyaris jatuh mendengar itu. Ia berusaha tersenyum lalu mengangguk. “Iya Mas. Kita masih tetap jadi keluarga.” “Kalau nanti kamu dan ibu mendapat kesulitan, jangan sungkan hubungi saya. Anggap saya kakak kamu yang akan selalu membantu. Saya tidak akan tega melihat kamu dan ibu dalam kesulitan. Jadi tetap jaga komunikasi, ya.” “Iya Mas. Aku doakan hidup Mas Kael kembali bahagia seperti dulu.” “Terima kasih, Rhae. Ingat apa pesan saya barusan. Kalau kamu dalam kesulitan, saya akan ada untuk kamu. Paham?” Rhae mengangguk. “Iya Mas.” “Jaga diri baik-baik Rhae. Jangan lupakan aku, ingat terus kalau aku pernah ada di hidup kamu, Nia dan ibu.” Suara alarm yang berdering nyaring membangunkan Rhae dari mimpi yang tidak pernah ia harapkan kehadiarannya. Rhae bangun dari posisi berbaring dengan napas tersengal dan keringat dingin mengucur. Bahkan kedua matanya basah tanpa ia duga. Bagaimana bisa mimpi itu sama persis dengan kejadian beberapa tahun lalu. Tidak ada yang berbeda, kalimatnya sama. Rhae sangat stres karena dikejar sampai ke dalam mimpinya, padahal ia ingin melupakan masa lalu yang menyakitkan itu. Wanita berusia 27 tahun itu mengambil ponselnya yang masih bersuara. Kedua matanya mendelik saat melihat jam berapa sekarang. Ia melewatkan alarm pertama dan ini adalah alarm yang kedua. Sepertinya karena minum obat sebagai penyebabnya tidur begitu pulas. “Ya Tuhan, aku telat jemput Nio!” Tanpa pikir panjang, Rhae segera beranjak dari tempat tidur dan bergegas menjemput anaknya yang baru saja menginjak kelas satu sekolah dasar. Harusnya ia jemput Nio sejak 30 menit yang lalu. Tapi ia benar-benar terlambat sehingga khawatir dengan kondisi anaknya. Hari ini Rhae tidak bekerja karena sedang demam. Harusnya ia bisa fokus istirahat dan meminta asisten rumah tangga yang jemput. Namun karena tiba-tiba minta libur mendadak, Rhae akhirnya harus tetap pergi meski kondisinya masih kurang stabil. “Pak, ada anak yang masih di sekolah nggak? Namanya Elenio Daffara dan masih kelas satu,” tanya Rhae kepada satpam sekolah yang berjaga. “Saya sudah telpon sekolah, biar anaknya nunggu di dekat sini.” “Oh, tadi nunggu di bawah pohon jambu, Bu. Coba cari di sana, mungkin anak Ibu masih duduk sambil baca buku.” Rhae mengangguk lega. “Baik Pak. Terima kasih, ya.” Bukan tanpa alasan Rhae cemas jika terlambat menjemput anaknya. Dulu pernah kejadian waktu Nio masih di playgrup. Ada orang asing yang tiba-tiba ingin mengajak Nio pulang dan mengaku sebagai keluarga. Tentu saja hal ini meninggalkan trauma yang mendalam bagi wanita itu. Itu sebabnya Rhae begitu protektif yang kadang membuanya pusing sendiri. Rhae segera menuju tempat yang dimaksud oleh satpam. Suasana sekolah cukup sepi, karena memang semua sudah pulang. Hanya samar-samar terdengar suara menggema yang kemungkinan berasal dari ruang guru. Nio pulang lebih awal karena pihak sekolah sedang mengadakan rapat. “Loh, Nio kok nggak ada?” Rhae mulai cemas melihat ke segala arah. “Apa dia pindah tempat buat nunggu aku?” Tidak mau tinggal diam, Rhae segera mencari di mana anaknya berada. Ia ingin minta bantuan satpam tapi ia coba cari sendiri. Saat kakinya menuruni anak tangga untuk menuju area lapangan basket, Rhae tertegun. Nio sedang bersama seseorang yang tidak Rhae kenal. Jantung Rhae berdebar, merasa sangat cemas. Ia segera berjalan mendekati anaknya dan mencari tahu siapa pria dewasa yang bermain basket dengan anaknya. “Kamu siapa? Kenapa main sama anak saya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN