Tuan Muda dan Upik Abu 03 - Karena Hidup Harus Terus Berjalan

1123 Kata
Suara adzan shubuh terdengar berkumandang. Suara yang menyejukkan hati dan sebagai pengingat agar menusia segera memenuhi panggilannya untuk beribadah pada sang Ilahi. Aya yang sedang memasak itu pun buru-buru mematikan api kompornya terlebih dahulu. Gadis itu sudah bangun sejak tadi. Saat ini Aya sedang memasak nasi menggunakan periuk, karena mejikom yang mereka punya konslet dan tidak bisa digunakan lagi. Terakhir kali sang bapak mencoba memperbaikinya. Tapi setelah dicolokkan, tiba-tiba saja mejikom itu meledak.Aya dan sang ayah lantas terkejut, tapi kemudian mereka tertawa karena kejadian itu. Aya duduk berjongkok di dapur yang sangat sempit dan sederhana. Lantainya hanya tanah dengan atap yang sangat rendah. Jika berdiri tegak, maka kepala Aya akan langsung mengenai atau beradu dengan atap dapur itu. Aya pun memasak masih menggunakan kompor minyak tanah. Meskipun sangat sederhana, tapi dapur yang sangat kecil dan sempit itu terlihat sangay bersih. Rak bumbu tertata rapi. Deretan panji dan wajan tergantung rapi di dinding yang hanya terbuat dari kayu itu. “Aya … Bapak ke masjid dulu, ya!” sang bapak terlihat sudah rapi memakai peci dan juga sarungnya. Aya melonggokkan kepalanya, lalu tersenyum. “Iya, Pak. Aya juga mau sholat dulu.” Sang bapak tersenyum, lalu kemudian segera pergi. Aya buru-buru berwudhu dan menunaikan sholat shubuh. Untuk anak gadis seusianya, Aya sudah mengorbankan banyak hal. Dia seperti mengabaikan semua kesenangan di usia muda. Saat teman-temannya asyik dengan masa remaja nan indah. Aya harus hidup dalam realita yang jauh dari kata menyenangkan. Dia dituntut untuk dewasa lebih cepat dan harus mengerti dengan latar belakang kehidupannya. Aya sadar sekali bahwa … Hidupnya memang berbeda dengan kebanyakan teman-temannya yang lain, tapi Aya tidak pernah mempermasalahkan itu. Tak sekalipun bibirnya mengeluhkan keadaan. Tak sekalipun ia menghela napas sesak saat harus mengerjakan banyak hal seorang diri. Aya sangat mandiri. Kepribadiannya juga baik. Karena itulah Aya mendapatkan banyak cinta dari teman-temannya di sekolah. Setelah selesai sholat, Aya kembali melanjutkan aktivitasnya di dapur. Seraya menanti nasi yang matang, ia juga menyempatkan diri untuk mencuci pakaian kerja sang bapak. Aya mencuci pakaian setiap pagi. Dia melakukan itu agar pakaian tidak menumpuk dan agar lebih terasa enteng saat mengerjakannya. Rutinitas Aya setiap pagi tetaplah sama. Membersihkan rumah, memasak sarapan, mencuci pakaian, lalu menyiapkan bekal untuk dia bawa ke sekolah dan juga bekal untuk dibawa sang bapak ke tempat bekerja. Pagi ini menu sarapan buatan Aya adalah tahu tempe kecap yang kemudian dilengkapi sayur capcay dengan irisan cabe rawit yang cukup pedas. Aya dan ayahnya memang sama-sama pecinta pedas. Aya mengambil sebuah meja kecil untuk lesehan dan meletakkannya di ruang tamu yang multifungsi. Rumah yang ia tempati bersama sang ayah hanyalah dua petak ruangan yang sempit ditambah sebuah kamar mandi. Dapur yang mungil itu adalah buatan sang bapak. Bisa dikatakan itu adalah dapur darurat. Itulah kenapa ruang tamu itu menjadi multifungsi. Karena di sana bisa menjadi ruang tamu, kamar sang ayah di malam hari dan juga ruang makan. Bisa dikatakan semua aktivitas Aya dan bapaknya ada di ruangan itu. Aya sudah selesai menata sarapan untuk dia dan sang ayah. Ia kemudian lanjut menyiapkan bekal makan siang untuk mereka berdua. Terlihat dua buah kotak bekal makanan yang memiliki model sama, tapi mempunyai warna yang berbeda. Kotak bekal berwarna biru adalah untuk sang bapak. Sedangkan kotak bekal berwarna merah muda itu adalah milik Aya. “Oke. Semua sudah selesai. Waktunya aku mandi dan siap-siap untuk sekolah,” ucap Aya kemudian. . . . “Bapak berangkat kerja dulu, ya.” “Iya, Pak! Aya juga pamit sekolah dulu.” Aya salim dan mencium punggung telapak tangan sang ayah. Aya menunggu dulu sang bapak melaju pergi dengan sepeda motornya, barulah kemudian Aya meraih ranselnya juga. Aya mengunci pintu rumah, lalu meletakkan kuncinya di bawah pot bunga. Gadis berambut panjang itu melangkah riang menembus pemukiman kumuh yang padat penduduk itu. Sepatu kusam dan tua itu sudah menggambarkan jalanan yang Aya tempuh dan lalui setiap harinya. “Kak Ayaaaa …!!!” “Selamat pagi Kak Ayaaaa …!” “Pagi Aya ….!” Sapaan ramah itu terdengar silih berganti saat Aya melewati gang sempit yang ramai. Anak-anak yang sedang bemain atau bermain menyapanya dengan senyum merekah. Suara mereka nyaring dan kompak sekali. “Kak Aya pergi ke sekolah, ya?” seorang bocah perempuan dengan wajah sedikit kumal berlari-lari kecil menghampiri Aya. Aya berjongkok sedikit, lalu mengusap kepala bocah perempuan yang berusia sekitar lima tahun itu. “Iya,” jawab Aya ramah. “Nanti Noni juga mau sekolah seperti Kak Aya,” tukas bocah itu. Aya tersenyum. “Iya. Nanti Noni akan masuk sekolah, kok. Nanti sore jangan lupa ikut belajar ke rumah kakak, ya!” Bocah cilik bernama Noni itu mengangguk senang. “Iya, Kak.” setelahnya ia kembali berlari pergi. Aya sangat dekat dengan anak-anak kecil di lingkungan itu. Awalnya Aya hanya mengajak mereka bermain, tapi kemudian Aya mulai mengajari mereka membaca dan juga berhitung. Karena mayoritas anak-anak itu tidak bersekolah. Sebagian ada yang sudah bekerja sebagai pemulung dan juga pengamen. Aya sangat prihatin melihat realita itu. Namun ia juga tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya Aya melakukan apa yang dia bisa. Menurutnya membaca dan berhitung adalah dua hal yang harus mereka kuasai. Itulah alasannya Aya selalu menyisihkan waktu untuk mengajari mereka. Walau terkadang … Tidak semua orang tua dari anak-anak itu senang dengan apa yang Aya lakukan. Sebagian orang tua anak-anak itu memang berterima kasih. Tapi sebagian lagi malah memarahi Aya dan melarang anak mereka untuk ikut belajar bersama. Ironis. Tapi memang itulah yang terjadi. Setelah berjalan kaki selama sepuluh menit, akhirnya Aya tiba di jalan Raya. Ia menunggu angkot untuk menuju sekolahnya. Aya berdiri di pinggir jalan dengan leher memanjang sibuk melihat ke ujung jalan sana. Tapi kemudian. Tiiit … Tiit … Bunyi klakson sepeda motor itu membuat Aya sedikit terkejut. Sebuah motor bebek berhenti di depannya. Sosok lelaki berseragam SMA dengan helm berwarna kuning itu menaikkan kaca helm yang menutupi wajahnya. “Ayo naik, Ya! Bareng aku aja ke sekolahnya!” Eh. Lelaki itu bernama Daus. Dia adalah teman sekelas Aya. “T-tapi, Us.” “Udah naik aja! Nanti kamu telat, lo. Pagi ini kita sama Pak Jamuhur dulu. Tau sendiri, kan … beliau tidak pernah mentoleransi keterlambatan,” ucap Daus. Aya meneguk ludah. Benar juga apa yang dikatakan Daus. “Nih, pake helm-nya!” Daus memberikan sebuah helm lain berwarna putih yang tadi tergantung di motornya. Walau merasa malu dan tidak enak, akhirnya Aya memakai helm itu, kemudian naik ke boncengan Daus. “Udah siap?” tanya Daus. “S-sudah,” jawab Aya. Lelaki bernama Daus itu pun mengulum senyum. Dia sepertinya sangat senang bisa pergi ke sekolah bersama Aya. Daus memang memiliki sebuah rahasia. Rahasia itu adalah …. Bahwa dia sudah menyukai Aya sejak lama. . . . Bersambung … Note: bab-bab awal ini kita perkenalan para tokoh dan latar belakangnya dulu, ya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN