Hamil

2208 Kata
Aldefan’s POV Urusanku di kampus sudah selesai lebih cepat. Jujur, hari ini moodku yang saat datang ke sini masih sangat bagus akhirnya berganti buruk setelah berbicara dengan Derrel. Suara Derrel yang parau dan luka di sorot matanya memang begitu mengusikku. Aku bukan manusia tanpa perasaan. Justru karena aku punya perasaan karena itu aku nggak bisa melepas bayang-bayang Derrel dari kepala. Segenggam rasa bersalah membuatku tak tenang. Ingin sekali aku tahu kabarnya, tapi aku sudah berjanji untuk tidak memikirkannya lagi. Cepat-cepat aku berjalan menuju pelataran parkir. Rencananya aku akan menjemput Rayya dulu di rumah ayah ibu sebelum pulang ke rumah. Tadi aku dan Rayya sempat berkirim pesan w******p. Rayya bercerita membantu ibu baking dan memasak kepiting. Aku senang, Rayya cukup supel dan mudah berbaur dengan keluargaku. Tentu saja aku tidak menceritakan padanya tentang kedatangan Derrel. Aku tak mau merusak kebersamaannya bersama keluargaku. *** Saat aku tiba di rumah orangtuaku, Rayya sedang berbincang dengan bapak, ibu dan Rinda. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” “Itu kak Alde datang,” ucap Rinda dengan senyum mengembang. Kuusap kepala adikku satu-satunya, “gimana kuliah kamu Rin?” “Lancar kak, hari ini aku cuma kuliah satu mata kuliah doang. Jadi bisa belajar masak ama kak Rayya.” Aku senang Rayya tak hanya bisa mengambil hati orangtuaku, dia juga bisa akrab dengan adikku. Aku menyalami tangan ayah, ibu dan menciumnya, lalu duduk di sebelah Rayya. “Ayah dan ibu sehat kan?” “Alhamdulillah Al, sejak kalian menikah, keadaan ibu jauh lebih sehat,” ujar ibu dengan senyum yang lebih ceria dari sebelum-sebelumnya. “Ayah bagaimana dengan bisnis ayah? Kemarin ayah bilang mau buka cabang lagi?” Ayah menatapku lembut, “iya Al, doakan saja biar lancar. Ayah sudah menemukan tempat yang strategis.” Ayahku dulu seorang rektor salah satu universitas ternama di sini. Sejak pensiun, ayah lebih senang mengurusi bisnis toko sembakonya. Memang sebelum pensiun, ayah sudah memiliki satu toko, ibu terjun langsung mengurusi toko. Sekarang ayah sudah punya tiga toko, dan rencana mau buka satu cabang lagi. Itulah kenapa aku juga tertarik untuk punya usaha sendiri karena aku terbiasa melihat orangtua yang punya usaha sendiri, meski aku mengambil bidang lain. Melihat peluang bisnis membangun rumah kontrakan itu sangat menjanjikan, aku memulainya bahkan sejak dari kuliah. Awalnya ayah ikut urun membantu modal, setelah usahaku jalan, aku meneruskan sendiri. “Ray, kalau nanti kamu telat datang bulan, segera periksa ya Ray, ibu udah pengin banget denger kabar gembira dari kalian,” ibu menatap kami secara bergantian. Aku dan Rayya saling melempar senyum, senyum canggung tepatnya. Jelas kami tak bisa bercerita pada ayah dan ibu bahwa sampai sekarang kami belum pernah berhubungan intim layaknya suami istri. Kami hanya bisa diam membisu. Untungnya tak lama kemudian mbak Sri, wanita 35 tahunan, asisten rumah tangga di rumah ayah ibu datang mengantarkan jus jeruk untukku berserta sepiring bolu yang tadi ibu dan Rayya bikin. Aku jadi punya bahan untuk mengalihkan pembicaraan. “Ini bolu pisang yang tadi kamu bikin ama ibu ya Ray?” Aku mengambil sepotong sambil melirik Rayya di sebelahku. “Iya Al, gimana? Enak nggak?” Tanyanya antusias. “Enak banget Ray, kamu mah bikin apa aja enak.” Bolu pisang ini memang rasanya lembut dan enak sekali. Rasa pisangnya begitu dominan dan aku menyukainya. “Kak Alde beruntung dapetin kak Rayya. Kakak Rayya nggak cuma baik tapi juga pinter masak,” celoteh Rinda sambil membuka-buka majalah di pangkuannya. “Iya Al, ibu suka sekali dengan ketrampilan Ray saat memasak. Mungkin suatu saat kita mesti join bisnis kuliner ya Ray.” “Bagus tuh Bu, aku dukung banget kalau kalian berbisnis kuliner bareng.” Pekikku girang. Rasanya beruntung, aku memiliki seorang ibu dan istri yang sama-sama memiliki hati yang baik dan passion yang sama di bidang memasak. Aku sesekali menatap Ray. Senyum tak lepas dari bibirnya. *** Rayya’s POV Kubuka Al-Qur’an dan terjemahannya. Aku selalu membaca terjemahannya setiap kali selesai mengaji. Aku ingin belajar lebih dalam tentang agamaku. Sepertinya aku perlu mencari tahu jadwal kajian di Masjid sekitar sini agar aku bisa belajar langsung dari ahlinya. Tadi aku membaca surat Fathir. k****a terjemahannya. Saat aku membaca terjemahan surat Fathir ayat 11, ada sesuatu yang mendesir menelusup ke hati. Aku memang memikirkan hal ini sekembali dari rumah mertua. Dan rasanya aku menemukan jawabannya di sini. “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari a******i, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” Pintu kamar terbuka. Aku melihat Alde tersenyum dengan baju kokonya, ia terlihat lebih tampan jika sedang mengenakan baju koko. Dia baru kembali dari Masjid untuk sholat Isya berjamaah di sana. Alde berjalan mendekat dan duduk di sebelah hamparan sajadah. “Kamu sedang mengaji Ray?” “Mengajinya udah, aku sedang baca terjemahannya.” Kutunjukkan halaman yang memuat terjemahan surat Fathir ayat 11 padanya. Alde membaca kata demi kata. “Kamu juga mikirin perkataan ibu soal kehamilan ya?” Aku mengangguk. “Ada hal lain dari surat ini yang juga menarik untukku. Jelas dalam surat ini dikatakan Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Allah tak pernah menyebut pasangan sejenis dalam kitabNya. Itu yang membuatku makin mantap untuk membuka lembaran baru, untuk melupakan Derrel dan melepasnya.” Kuperhatikan ekspresi di wajahnya. Jelas dia sedang tidak bercanda. Itu artinya dia benar-benar serius ingin berubah, ingin memperbaiki dirinya dan melupakan masa lalunya. “Ray, sebenarnya tadi siang Derrel menemuiku di kampus.” Ada sesuatu yang membuat telingaku memanas mendengar perkataannya barusan. Pacarnya ini masih saja mengganggu suamiku. Aku sering mendengar teman-temanku begitu sentimen dan benci setiap membicarakan tentang pelakor (perebut laki orang) bahkan kadang ada yang memelesetkannya menjadi valakor. Dan sekarang aku geram sendiri mengetahui ada orang yang berpotensi menjadi pelakor dalam pernikahan kami. “Aku katakan padanya untuk menyerah, karena aku nggak akan balikan ama dia, aku bilang aku memilihmu dan aku akan berusaha menjadi suami yang baik, menjadi laki-laki yang straight seutuhnya.” Tak bisa aku deskripsikan bagimana perasaanku sekarang. Aku sangat bahagia mendengarnya mantap untuk belajar menjadi laki-laki yang seutuhnya straight, yang mau berusaha untuk menjadi suami yang baik. Hal seperti inilah yang aku nantikan. “Are you serious?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk dengan mengedipkan matanya dan memejam untuk beberapa detik. “Yes, I am.. It’s like I’ve just found a reason to start over new...The reason is Allah...” Dia mengusap pipi kiriku, lalu menyapukan ibu jarinya di sudut bibirku, “and you..” lanjutnya dengan senyum yang selalu lembut dan menenangkan. Aku tersenyum. Kami saling menatap. Tatapan matanya yang tajam terlihat begitu bening dan bercahaya. Dia seakan memusatkan penglihatannya hanya untuk memandangku. Aku bisa melihat bayanganku memenuhi kedua bola matanya. Tatapan itu masih seluas samudera dan sesejuk oase di sahara. Tatapan itu masih terlihat seperti lautan lepas dan menenggelamkanku di dalamnya. Anehnya, aku seakan tak mau menyelamatkan diri, aku biarkan diriku tenggelam. Alde mendekatkan wajahnya dan aku selalu berdebar tatkala melihat wajahnya sedemikian dekat. Dia daratkan kecupan di keningku begitu lama dan dalam. Kurasakan ada sesuatu yang meleleh, membasahi pipiku dan hangat. Dia menitikkan air mata. *** Aldefan’s POV Aku dan Rayya bersiap untuk tidur. Kami berbaring, bersebelahan. Biasanya ada satu guling yang memisahkan kami. Sekarang tidak lagi.. Kadang ada kebiasaan pillow talk sebelum kami terlelap. “Ray, apa kamu pernah bayangin kalau suatu saat nanti kamu hamil, melahirkan, memiliki bayi?” Rayya menolehku dan terpaku sejenak untuk beberapa detik. “Dulu nggak pernah bayangin. Karena dulu aku juga nggak kepikiran untuk menikah. Tapi sekarang aku mulai memikirkannya. Apalagi ibu sangat menginginkannya kan?” “Seandainya ibuku nggak menginginkannya, apa kamu masih bisa membayangkan suatu saat kamu hamil dan melahirkan?” Rayya menatapku tapi seolah tatapannya berujung pada sesuatu yang tak terhingga. Dia tengah serius memikirkan jawabannya. “Ya, aku memikirkannya Al. Selama masih ada rahim di tubuhku aku berhak untuk berharap bahwa suatu saat nanti aku akan merasakan apa yang namanya hamil. Allah akan memberi anak laki-laki dan perempuan pada siapa saja yang Dia kehendaki.” Giliran aku terkatup. Apa ini sebuah sinyal bahwa dia siap untuk hubungan yang lebih? “Jadi kamu udah siap Ray?” “Siap untuk apa?” Rayya membelalakkan matanya. “Ehmmm... Siap untuk hamil?” Rayya tersenyum, agak terpaksa sepertinya. “Bagaimana aku bisa siap, kalau kamu nggak pernah nyentuh aku Al.” Deg.. Lidahku kelu.. “Pertanyaanmu harus diubah, bukan siap untuk hamil, tapi siap untuk.... siap untuk berhubungan denganmu layaknya suami istri pada umumnya.” Pernyataannya begitu menohok. Rayya duduk, mengalungkan kedua tangannya pada lututnya yang menekuk. Aku pun duduk di sebelahnya. “Kurasa kamu yang belum siap Al,” cetusnya tiba-tiba. Aku bingung bagaimana mengutarakannya bahwa selama ini aku tidak tertarik untuk meneliti setiap bagian tubuh wanita. Aku belum tertarik untuk mencoba berhubungan dengannya karena aku takut mengecewakannya. “Aku takut mengecewakanmu Ray. Kamu ingat kan di obrolan kita saat malam pertama? Kamu meledekku bahwa... itu.... nggak bisa hidup.... Dan itu benar adanya. Aku hanya bisa bereaksi kalau lihat laki-laki berbadan seksi dan atletis. Aku bahkan pernah menonton film porno yang menampilkan wanita-wanita telanjang. Aku sama sekali tak bereaksi Ray.” Rayya seolah geram menatapku, “kamu belum mencoba secara langsung. Kamu cuma lihat di layar. Kalau kamu melihat wanita tanpa pakaian langsung di depanmu, mungkin kamu akan merasakan lain.” “Maksud kamu, kamu akan naked di depanku gitu?” “Hah???” Rayya menganga, sepertinya ia begitu kaget. “Apa aku harus lihat wanita lain tanpa busana? Ini kan lebih nggak masuk akal lagi.” Ujarku kemudian. Agaknya suasana romantis yang baru terbangun menjadi buyar seketika. “Jadi maksud kamu, aku harus melepaskan bajuku gitu? Apa-apaan.. Kamulah yang harus melakukannya.” “Maksudnya aku yang harus buka baju biar kamu bisa lihat perut sixpackku?” Rayya mengepalkan tangannya dan menggertakkan gigi-giginya. Sepertinya dia sangat gregetan. Apa mungkin dia selalu menantikan moment ini, di mana aku harus bertelanjang d**a di depannya. “Maksudku kamu yang melepas bajuku, seperti di film-film, biar romantis.” Aku makin tak mengerti dengan keinginannya yang aneh. “Kenapa harus aku yang melepasnya. Kamu bisa melakukannya sendiri. Kamu bukan anak kecil.” Rayya melongo dan wajahnya seakan memerah karena marah. “Aku pikir kamu sudah jauh lebih berpengalaman Al. Masa untuk hal seperti ini saja kamu nggak peka. Apa dulu setiap kali kamu melakukannya dengan Derrel, kalian melepas baju masing-masing? Tidak terbersit di kepalamu untuk melepas bajunya? Kamu hanya perlu melakukan seperti apa yang kamu lakukan pada Derrel.” Aku hanya bisa mendengarnya meracau. Aku sedikit bingung. Mungkin bukan sedikit, tapi banyak bingungnya. “Terus yang aneh itu kamu malah nyuruh aku buka baju sendiri, Gimana aku mau, ujuk-ujuk buka baju buat menggoda kamu, sementara kamu nggak ada reaksi apa-apa. Di mana harga diriku? Aku baca tentang hubungan seks antara suami istri harus ada foreplay, nah kamu kan sudah pengalaman untuk itu, kamulah yang harus memulai, bukan ujuk-ujuk minta aku buka baju.” Rayya turun dari ranjang dan berdiri dengan bertolak pinggang. Aku ikut turun dari ranjang, berdiri di sebelahnya. “Kok jadi bahas buka baju. Yang tadi memulai pembahasan ini siapa? Kamu yang mancing duluan, minta aku melihat wanita telanjang langsung, bukan lihat dari layar. Dan aku belum pernah berhubungan dengan perempuan sebelumnya. Anatomi tubuhmu beda dengan tubuh Derrel, makanya aku bingung bagaimana memulainya. Selama ini tubuh perempuan tidak menarik bagiku, bukan objek yang selalu aku bayangkan saat berfantasi, aku merasa aneh dengan semua ini.” Cecarku akhirnya. Rayya menatapku dengan tatapan singa seperti saat dulu cemburu padaku. “Aku ini perempuan. Seumur hidup aku belum pernah telanjang di depan laki-laki atau bahkan perempuan sekalipun. Tentu ada perasaan malu. Ini bukan hal yang aneh untukmu saja, tapi juga untukku.” Intonasi suara Rayya sudah agak melambat sekarang. “Kamu bisa memulainya dengan pakaian mini Ray, dengan lingerie misalnya. Aku jadi lebih mudah melepaskan bajumu kan?” Sorot kemarahan sudah hilang dari matanya. “Aku nggak punya baju mini, nggak punya lingerie juga.” “Okay, besok kita beli.” Aku kembali merebahkan badanku di ranjang dan aku kehilangan mood. Suasana romantis yang sempat melintas dalam benak pupus sudah karena pertengkaran konyol kami barusan. “Al, sepertinya kamu hanya tertarik dengan wajahku saja. Kamu cuma bereksplore di sana. Lain kali kalau kamu nyium aku, coba cium aku seperti kamu mencium Derrel, mungkin akan lain ceritanya. Tapi malam ini aku kehilangan mood.” Rayya berbaring dan memunggungiku. Aku cerna kata-katanya. Memang cara aku mencium Rayya dan Derrel beda. Saat mencium Derrel, aku bisa langsung merasa terbang dan meneruskan ciumanku di mana saja, tapi saat mencium Rayya itu aku seakan mati gaya, belum ada ketertarikan untuk melakukannya lebih. Mungkin bisa dibayangkan dengan laki-laki straight yang diminta untuk mencium laki-laki juga, pasti aneh kan rasanya? Tidak bisa menikmati layaknya dia mencium perempuan. Itu juga yang aku rasakan. Aku harus belajar untuk lebih romantis lagi terhadap Rayya. Bagaimanapun aku berkewajiban memberinya nafkah batin. Mungkin kami terlalu tegang karena memikirkan keinginan ibu yang ingin Rayya cepat hamil. Kulirik dia. Dia sepertinya sudah terlelap. Kudekatkan pipiku pada pipinya, lalu kudaratkan kecupanku di sana, “have a nice dream Ray..”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN