Keyra’s POV
Pagi ini aku bangun lebih pagi, satu jam sebelum adzan Subuh. Sama seperti kebiasaanku waktu tinggal di panti. Kamar ini begitu luas, namun tetap saja aku lebih nyaman tidur di kamar lamaku. Meski jauh lebih kecil dari kamar ini tapi di sana aku bisa mendengar tawa anak-anak panti yang seringkali menjadi obat penat setiap sepulang dari sekolah.
Kubereskan sprei dan selimut, selanjutkan kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Sebelum masuk kamar mandi kusempatkan menatap bayanganku yang memantul di cermin. Cermin yang menggantung di depan meja rias. Kuraba bibirku. Semalam ciuman kami sebenarnya memberikan sensasi yang begitu mendebarkan. Aku gugup bukan kepalang. Tapi di hadapannya aku tak ingin terlihat seperti gadis yang begitu mengharapkan cintanya. Bisa kurasakan Giandra begitu emosional kala melumat bibirku seakan seperti melumat ice cream yang hendak ia habiskan seluruhnya. Ada rasa sedikit perih kala ia menggigit bibir bawahku. Aku bisa melihat sisa bengkak itu masih ada sedikit.
Bohong jika aku tak merasakan desiran apapun kala kami begitu dekat dan menyatu dalam ciuman panas kami. Aku tak pernah berinteraksi fisik dengan laki-laki sebelumnya. Giandra yang pertama kali melakukannya. Tentu saja ada getaran yang berkecamuk dan rasa deg-degan itu masih terasa debarannya hingga kini. Sayangnya dia bukan kriteria laki-laki yang aku idamkan. Aku takut jatuh cinta padanya. Aku takut perasaan cinta itu akan melemahkanku. Giandra tak punya secuilpun rasa untukku. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku ingin bertahan. Di balik sorot matanya yang tajam, seakan aku bisa membaca, dia membutuhkan seseorang yang tulus mencintainya. Sikap dingin, arogansi dan ketidakpedulian yang ada dalam dirinya hanyalah tameng yang menutupi kelemahannya.
Saat aku hendak masuk ke dalam kamar mandi, kudengar suara pintu terbuka. Giandra melangkah menuju ranjang dan merebahkan badannya. Kami saling memandang.
“Nggak etis kan, kalau ada orang rumah yang tahu aku tidur di kamar sebelah?” Ucapnya seolah bisa membaca pertanyaan yang sempat melintas di benakku.
Kutinggalkan saja dirinya. Aku biasa mandi pagi. Di sini pun aku ingin mandi pagi sebelum nanti ke dapur. Mungkin ada yang bisa aku kerjakan meski aku tahu rumah ini punya banyak asisten yang sudah memiliki tugas masing-masing.
Saat aku keluar dari kamar mandi, aku baru sadar ada Giandra di kamar ini dan aku hanya melilitkan handuk di badanku. Mau berbalik kembali tapi kuamati matanya terpejam. Rasanya tak apa, toh dia tak melihatku dan kalaupun dia melihatku, aku sudah menjadi istrinya kan? Aku juga tak yakin dia tertarik melihatku seperti ini.
Kuambil pakaian dari lemari. Saat aku hendak mengenakannya, aku melihat bayangan Giandra yang memantul di cermin dan tatapannya tengah mengamatiku dari ranjang. Aku terdiam untuk sesaat. Serasa serba salah dan masih ada rasa malu ditatap sedemikian lekat olehnya. Segera kubalikkan badanku dan aku menatapnya dengan tajam. Giandra terlihat salah tingkah dan secepat kilat memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Aku pikir kamu tidur. Kenapa nggak lihat lagi? Malu ya ketahuan? Cowok dimana-mana mah sama. Ada pemandangan bagus, mana bisa nolak.”
Giandra menolehku dan menganga, “apa kamu bilang? Pemandangan bagus dari mananya? Secara fisik kamu sama sekali bukan tipeku Key. Aku suka cewek yang bodynya bagus, seksi, berisi, tinggi seperti model, bukan yang mungil seperti kamu.”
“Kenapa tadi lihatin aku?”
“Siapa yang lihatin?” Giandra menaikkan intonasi suaranya.
“Kamu pikir aku nggak tahu? Aku mergokin kamu lihatin aku dari cermin. Tertarik ama istri sendiri nggak masalah kok, malah bagus kan?”
Giandra menyeringai. “aku tidak tertarik padamu Key.”
Giandra beranjak dan berjalan mendekatiku. Matanya menatapku dengan tatapan tak suka dan seakan dia begitu marah padaku. Jari-jarinya menyapu pipiku. Aku kembali merasa deg-degan. Setiap kali Giandra menatapku sedekat ini, jantungku serasa berpacu lebih cepat. Giandra mendekatkan wajahnya dan memiringkannya. Apa dia akan menciumku? Aku terhenyak kala ibu jari dan telunjuknya memegang pipiku dengan kasar. ibu jarinya di pipi kanan dan jari telunjuknya di pipi kiri. Dia menekannya begitu kuat hingga membuatku kesakitan.
“Jangan pernah menggodaku Key. Aku tidak tertarik padamu. Bagiku perempuan itu sama saja. Tidak bisa menjaga komitmen dan tidak pernah bisa memahami perasaan laki-laki.” Bisa kurasakan ada bara dendam yang masih menyala di matanya. Giandra melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Setelah itu dia masuk ke kamar mandi tanpa peduli sedikitpun akan rasa sakit yang kurasakan karena perlakuan kasarnya. Hati ini jauh lebih sakit. Tapi aku belum ingin menyerah. Dia tidak bisa menghentikanku. Aku hanya ingin menjalankan peranku sebagai seorang istri yang baik. Apapun perlakuannya padaku, aku yakin perhitungan Allah tak akan pernah meleset karena setiap perbuatan manusia entah sekecil zarah sekalipun akan mendapat balasannya.
******
Saat tiba waktu sarapan, semua anggota keluarga, ayah, ibu, Derra, Giandra dan aku duduk mengitari meja makan. Sesudah sholat Subuh aku sempat membantu bibi Yati dan teteh Rina masak di dapur meski mereka keberatan aku ikut bergabung. Kata mereka aku tak usah ikut memasak, karena tugas memasak adalah tugas asisten rumahtangga. Aku katakan pada mereka bahwa sebelum menikah aku sudah terbiasa memasak. Biasanya aku gantian dengan pengurus panti yang lain untuk memasak menu yang akan disajikan untuk semua penghuni panti.
Giandra terlihat rapi mengenakan pakaian kerja. Apa dia tidak mengambil cuti? Sekolah memberiku cuti tiga hari. Tapi mungkin besok aku akan tetap berangkat. Pernikahan yang tak normal antara aku dan Giandra sepertinya memang tak butuh waktu cuti untuk honeymoon.
“Gian kenapa hari ini kamu masuk kerja? Pengantin baru harusnya cuti honeymoon dulu. Ajak istrimu liburan.” Pak Angkasa menatap putranya dengan wajah menunjukan ekspresi keheranan.
“Kerjaan lagi banyak banget ayah. Pasca pemberitaan yang sempat viral itu, Gian punya banyak kerjaan untuk membenahi perusahaan.”
Pak Angkasa menggeleng pelan, “kamu kan bisa meminta bawahanmu untuk mengurusnya dulu selama kamu berlibur.”
“Ayah kayak nggak tahu kakak aja. Kakak itu orangnya perfeksionis. Dia nggak bisa lepas gitu aja urusan kerjaan ke orang lain.” Tukas Derra membela kakaknya.
“Oya gimana keadaanmu Keyra? Masih capek karena resepsi kemarin?”
Pak Angkasa bertanya begitu ramah dan lembut. Mendadak aku lupa dengan apa yang dilakukan Giandra setelah aku mandi. Rasa sakit yang sempat mendera, kini perlahan berganti rasa bahagia karena untuk petama kalinya aku merasa memiliki seorang ayah.
“Alhamdulillah baik pak. Saya tidak merasa capek lagi.”
“Mulai sekarang kamu harus manggil saya ayah, sama kayak Giandra. Menantu itu sama saja seperti anak sendiri.”
Hatiku begitu sejuk mendengar kata-kata pak Angkasa yang begitu menenangkan.
“Baik ayah.” Balasku pelan.
Suasana sarapan berlangsung begitu serius. Keluarga Giandra memang begitu teratur. Satu-satunya hal yang membuatku nyaman di tengah suasana ini adalah sikap hangat pak Angkasa. Sedang ibu mertua dan adik ipar masih dingin terhadapku.
“Ayah ibu, Gian berangkat dulu ya. Nanti ada meeting pagi.” Giandra beranjak dan menyalami tangan ayah dan ibunya dilanjut mengacak rambut adiknya. Dia melewatiku begitu saja.
“Gian kok nggak pamitan ama istrimu? Dicium kek. Dulu ayah tiap berangkat kerja pasti mencium ibumu dulu.”
Aku dan Giandra saling berpandangan. Tiba-tiba Giandra menarik tanganku dan menggandengku berjalan menuju tangga.
“Malu nyium di sini yah.” Giandra tersenyum pada ayahnya yang juga dibalas senyum oleh ayahnya sembari menggeleng.
“Wuih pengantin baru, nyium aja pakai ke kamar segala.” Derra menjulurkan lidahnya ke arah Giandra.
“Anak kecil jangan komentar.” Balas Giandra,
Setiba di kamar, Giandra mendorong tubuhku hingga menghimpit dinding. Aku kembali deg-degan tak karuan. Jantungku seakan berdegup berkali lipat lebih kencang.
“Kamu pikir aku akan menciummu? Tidak Key. Karena itu aku bawa kamu ke sini, karena aku memang tidak ingin menciummu.” Dia menekankan ucapannya.
“Kamu menginginkannya kan? Kenapa harus menahan diri? aku istri sahmu.”
Giandra tersenyum sinis, “kenapa aku harus tertarik untuk menciummu? Di luar banyak wanita yang jauh lebih menarik untuk dicium.”
“Ya, tapi mereka bukan istrimu. Mencium istri itu bisa mendatangkan pahala kerena telah menyenangkan istri, sedang mencium wanita lain selain istri hanya akan mendatangkan dosa karena telah menyentuh perempuan non mahram dan melakukan perbuatan yang mendekati zina.”
Giandra tertawa kecil, “aku tidak butuh ceramahmu Key. Kamu tak ingat bagaimana kamu bisa begitu agresif dan liar saat menciumku di malam itu? Saat kamu belum resmi menjadi istriku.”
“Waktu itu aku ada di bawah pengaruh wine dan obat perangsang Gian. Aku dalam keadaan tak sadar. Tidak bisa disamakan.” Kupertegas kata-kataku.
Hening..
“Dan dari sikap dinginmu yang seolah membenci perempuan, terutama perempuan berhijab, sepertinya kamu pernah punya masa lalu yang buruk. Dan kata-katamu tentang banyak wanita di luar yang jauh lebih menarik untuk dicium itu hanya gertakanmu saja karena faktanya pengalamanmu masih minim dan kamu nggak akan berani mencium mereka.” Aku menatapnya dengan tatapan tertajam yang aku bisa.
“Aku jauh lebih berpengalaman darimu Key. Aku bisa mendapatkan siapapun yang aku mau, apalagi kalau sekedar ciuman. Tentu aku berani mencium wanita lain. Toh pernikahan itu hanya sebatas status.”
“Bagaimana mungkin kamu berani mencium mereka? Mencium istri sendiri saja kamu tidak berani.” Aku tertawa kecil, mengejeknya.
Secepat kilat Giandra membungkam bibirku dengan ciumannya. Aku tak bisa berkutik dan kurasakan bibirnya mulai memagut bibirku perlahan. Lidahnya menerobos ke dalam rongga mulutku dan ia percepat gerakan bibirnya menjadi lebih dalam dan panas. Refleks kukalungkan tanganku di lehernya. Entahlah, ciumannya begitu memabukkan untukku. Kurasakan tangan Giandra menyusup ke dalam bajuku dan mengusap punggungku, lebih jauh dia meremas dadaku pelan. Aku serasa kehilangan keseimbangan. Kakiku begitu lemah untuk sekedar bertumpu di atas lantai. Giandra membopongku dan menjatuhkanku ke ranjang. Dia kembali menciumi seluruh wajahku, mulai dari dagu, rahang, pipi dan bibirku. Aku tahu dia menginginkan semua ini, hanya saja dia begitu angkuh untuk mengakuinya.
Ciuman kami terlepas. Dia masih menindihku dan deru napas kami begitu tersengal-sengal, tak beraturan.
“Jangan pernah mengejekku Key. Aku bahkan bisa menciummu sampai kamu kehabisan napas.”
Giandra bangun dari posisinya dan pergi begitu saja tanpa kata-kata. Aku tercenung. Kuraba bibirku. Jantungku masih saja berpacu lebih cepat dan dadaku masih berdebar-debar. Aku tersenyum, dan aku tak tahu kenapa aku harus tersenyum. Apa mungkin aku sudah mulai terbawa perasaan?
******
Author’s POV
Giandra melajukan mobilnya dengan segala pikiran yang berkecamuk. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak menyentuh Keyra, faktanya dia selalu gagal. Giandra tak ingin melibatkan perasaannya lebih jauh. Namun sebagai laki-laki normal, melihat Keyra yang hanya mengenakan handuk tadi pagi, terbitkan desiran tak menentu. Ia akui Keyra begitu menarik dan membangkitkan sisi liarnya sebagai laki-laki yang terkadang ingin membangun sesuatu yang lebih intim bersama perempuan. Apalagi Keyra sudah menjadi istrinya. Dan puncaknya adalah ciumannya dan Keyra sebelum ia berangkat. Saat mencium Keyra, ia seperti menyalurkan akumulasi gejolak hasratnya yang sudah ia tahan dari sejak malam pernikahan. Keyra adalah satu-satunya perempuan yang pernah ia sentuh dan ia cium. Sekian tahun di masa lalu, dia hanya mencintai satu perempuan yang terlihat sholehah dan menjaga diri dengan baik, tapi cerita cinta itu berakhir menyedihkan kala sang perempuan meninggalkannya tanpa alasan jelas dan memilih menikah dengan laki-laki lain. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika ia tahu satu realita pahit bahwa mantan kekasihnya menikah dengan laki-laki lain karena hamil di luar nikah. Sejak itu ia begitu antipati pada perempuan berjilbab dan skeptis akan cinta. Ia trauma untuk menjalin cinta kembali dengan perempuan, namun dia bukan seorang penyuka sesama jenis. Dia hanya begitu terluka dan trauma karena rasa sakit itu masih begitu terasa hingga detik ini.
Giandra sudah berjanji untuk tidak jatuh cinta pada Keyra atau wanita manapun. Trauma masa lalu seakan begitu membelenggu langkahnya untuk maju. Dia tak mau menjadi b***k cinta perempuan. Dia tak akan mengizinkan perempuan manapun menaklukkannya dan merajai hatinya. Baginya tidak ada cinta yang tulus, begitu wanita mendapatan hati laki-laki, dengan mudahnya wanita itu akan mencampakannya karena terpikat hati lain yang ia anggap lebih baik. Giandra trauma dikhianati.