Romantic Morning

2142 Kata
Author’s POV Raynald tampak asik bermain game di kamarnya. Mengalihkan sejenak pikiran pada hal-hal yang menyenangkan adalah satu cara untuk mengobati kekesalannya karena orangtuanya hendak kembali ke London untuk mengurus bisnis keluarga. Sebagai anak tunggal, Raynald kerap merasa kesepian. Untuk bicara bebas dengan orangtuanya pun dia harus menunggu sampai orangtuanya benar-benar punya waktu luang untuk sekedar mendengarkan. Dering smartphonenya berbunyi. Ada satu pesan WA dari Giandra. Ray, makan bareng om yuk. Kamu pasti belum makan kan? Nanti om jemput. Raynald meletakkan kembali smartphonenya. Dia sama sekali tak berminat. Perasaan marah dan kecewa masih merajai pikirannya. Rasanya dia sulit untuk menerima penikahan Giandra dan guru kesayangannya itu. Mendadak moodnya turun seketika. Dia matikan laptopnya dan pikirannya berkelana pada sosok Keyra. Kadang ia berpikir jika dilahirkan lebih dulu, sepantaran dengan Keyra atau omnya, dia pasti punya kesempatan untuk bersaing mendapatkan Keyra tanpa harus mempersoalkan soal umur. Raynald memandang kertas-kertas ucapan selamat ulang tahun dari teman-temannya yang ia tempelkan di satu papan yang tergantung di atas meja belajarnya. Matanya terpusat pada kertas kecil yang dulu terselip di dalam kotak kecil pemberian Keyra. Maaf ya Ray, ibu nggak bisa ngasih sesuatu yang besar. Ibu cuma bisa kasih ini agar kamu selalu ingat pada Allah. Semoga Allah senantiasa menjagamu dan memberikan kesehatan serta kebahagiaan untukmu. Diliriknya tasbih yang ia letakkan di sebuah kotak di atas meja. Tasbih ini terbuat dari bulatan batu yang terlihat begitu elegan dan mengkilap. Raynald bukan tipikal remaja yang religius, yang untuk mendirikan sholat lima waktu saja mesti dioprak-oprak mamanya. Tapi dia sangat menghargai pemberian gurunya dan kadang ia gunakan seusai sholat. Tatapannya beralih pada kertas lain di sebelah kertas dari Keyra. Raynald Alvian Ditama, mudah-mudahan Al-Qur’an dan terjemahnya ini bisa menjadi sahabat terbaikmu dalam keadaan apapun. Jika kamu galau, sedih dan putus asa, coba baca, resapi maknanya. Insya Allah kamu akan lebih tenang. Ghaza Sabrina Raynald melirik Al-Qur’an pemberian Gazha yang ia letakkan di atas meja. Dia jarang sekali atau malah hampir tak pernah membaca Al-Qur’an. Dia baru akan membukanya jika diberi tugas sekolah oleh guru agama Islam. Dan kali ini rasanya dia ingin menuruti nasehat Ghaza. Hatinya benar-benar galau dan tak tenang karena patah hati. Raynald beranjak dan mengambil air wudhu. Raynald mengambil Al-Qur’an pemberian Ghaza dan membuka-buka halamannya. Gerakan jari-jari Raynald saat membuka lembaran demi lembaran Al-Qur’an terhenti pada surat Ar-Ra’du ayat 28. Raynald membaca ayatnya lalu membaca terjemahnya. “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram.” Keyra memberinya nasehat untuk selalu mengingat Allah, dan Ghaza memberinya Al-Qur’an dengan nasehat yang indah juga. Satu paket yang lengkap. Raynald meneruskan bacaannya dan ia merasa lebih tenang. Seusai membaca Al-Qur’an, Raynald mengirim pesan WA untuk Ghaza. Gha, makasih hadiah dan nasehatnya. Kamu benar, membaca Al-Qur’an itu obat galau yang mujarab. See u tomorrow. Sesaat kemudian datang balasan dari Ghaza. Alhamdulillah moga hadiahku bermanfaat ya. See you... ****** Pagi selalu menjadi waktu yang hectic untuk Keyra. Hari ini dia sudah memasak menu untuk sarapan dan sekarang ia tampak sedikit terburu-buru mengenakan khimarnya. Hari ini dia memutuskan untuk berangkat ke sekolah meski dia diberi cuti tiga hari. Bosan rasanya jika selama tiga hari itu dia hanya menghabiskan waktu di apartemen dan menunggu Giandra pulang yang terkadang pulang malam. Giandra mengamati cara istrinya yang begitu terampil mengenakan kerudungnya. “Kenapa perempuan mau diribetkan dengan urusan pakaian? Bukankah lebih praktis dan menghemat waktu jika tak mengenakan hijab? Gerai saja rambutnya atau diikat, aku rasa akan membutuhkan waktu yang lebih singkat.” Keyra berbalik dan menatap suaminya yang juga sudah rapi dengan setelan jas formalnya. “Aku nggak merasa ribet. Justru kalau nggak pakai khimar, aku bakal bingung menata rambutku seperti apa. Belum kalau ada acara penting, wanita kadang memercayakan urusan menata rambut di salon. Disanggul, dikasih hair spray, diatur gayanya, akhirnya butuh waktu lama juga kan? Andai saja kamu mau meluangkan waktu untuk membaca Al-Qur’an atau mengikuti kajian tentu kamu nggak akan mempermasalahkan soal ini.” Giandra tersenyum, “itu urusanku dengan Tuhan Key. Kamu nggak perlu mengomentari kehidupan spiritualku.” “Tentu saja menjadi urusanku karena kamu udah jadi suamiku. Bukankah antar suami istri itu harus saling mengingatkan?” Keyra menekankan kata-katanya hingga terdengar begitu tegas. “Aku bukan orang religius Key, yang dikit-dikit berdalih atas nama agama. Apalagi memercayai doktrin dan serangkaian dalil.” Giandra menatap Keyra tajam. “Segala rules dalam agama itu untuk mengatur kehidupan manusia, yang harus dijadikan pedoman. Bisa dibayangkan hidup tanpa agama itu akan kacau. Contohnya tentang aturan mencuri. Agama melarang manusia untuk mencuri, mengambil hak orang lain. Seandainya tidak ada aturan yang melarangnya, apa yang akan terjadi? Dimana-mana ada pencurian, kehidupan begitu semrawut karena angka kriminalitas menukik tajam.” “Aku rasa nggak ada pengaruhnya. Banyak manusia mengaku beragama dan patuh pada aturan agama, tapi kriminalitas tetap merajalela.” Giandra bersedekap dan menyandarkan badannya di meja rias. “Lebih-lebih kalau nggak ada agama. Mungkin nggak akan ada satupun orang baik yang tersisa.” Keyra melangkah menuju meja makan dan menata menu sarapan mereka. “Sarapan dulu.” Ujar Keyra sambil menata piring untuk suaminya. Giandra duduk di kursi dan menatap lauk yang cukup menggugah seleranya. Ada ayam goreng dan lalapan, sop jamur dan tahu tempe. Masakan yang disajikan Keyra mungkin sederhana jika dibandingkan dengan makanan di restaurant mewah, namun Giandra menyukainya. Giandra lebih menyukai masakan rumahan dan ia menilai masakan Keyra cocok di lidahnya. Keyra tak pernah menggunakan penyedap rasa, dia lebih senang menggunakan bumbu-bumbu alami. Keyra mengambilkan nasi lalu ia letakkan piring itu di hadapan Giandra. Dalam hati, Giandra menyukai cara Keyra melayaninya namun dia terlalu jaim untuk sekedar mengucap terimakasih. “Key, aku ingin bertanya sesuatu. Seandainya aku memintamu melepas hijab apa kamu keberatan?” Pertanyaan Giandra begitu menghujamnya. “Tentu saja aku keberatan. Seorang istri memang harus taat pada suaminya, tapi taatnya dalam hal yang baik dan tidak dilarang agama. Kalau suami menyuruh istrinya melakukan kemaksiatan tentu istri nggak boleh menurutinya.” “Aku hanya meminta melepas hijab lho, bukan melakukan kemaksiatan.” Giandra terus mencecar Keyra seakan ingin menguji sampai di mana batas kesabaran Keyra menghadapinya. “Memintaku untuk melepas hijab itu adalah sesuatu yang maksiat Gi. Itu artinya kamu memintaku untuk melanggar perintah Allah. Perintah untuk berjilbab bagi muslimah yang sudah baligh itu ada dalam Al-Qur’an.” Keyra mengambil mushaf Al-Qur’an yang selalu ia bawa dalam tasnya. “Aku bacakan ya terjemahnya. Pertama surat Al-Ahzab ayat 59, wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Giandra menyimak baik-baik terjemah suat Al-Ahzab ayat 59 yang tengah dibacakan Keyra. “Aku bacakan lagi surat An-Nuur ayat 31, hendaklah mereka menahan pandangannya dan k*********a dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau b***k-b***k yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” “Sudah jelas kan? Apa iya kita masih berani menyangkal? Aturan dalam Al-Qur’an itu berlaku untuk sepanjang zaman.” Giandra menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Masih banyak hal yang ingin ia tanyakan. “Okey, lalu kenapa banyak peremupuan yang memiliki background keluarga yang agamis, misal dari kalangan ulama, tidak mengenakan hijab?” Keyra tersenyum menanggapi pertanyaan Giandra, “semua orang memiliki kebebasan untuk memilih mau mengikuti aturan atau tidak. Mau dia berasal dari background yang agamis atau bukan, pada akhirnya setiap manusia memilih jalannya masing-masing kan? Dan pedoman kita itu Al-Qur’an dan hadits. Rasulullah adalah sabaik-baik tauladan. Jadi kita mengenakan hijab memang kita sadar benar ingin mematuhi perintah Allah, bukan berdasar apa yang dilakukan publik figur. Kalau mereka memberi contoh yang nggak sesuai ya jangan diikuti. Terlahir dari keluarga agamis nggak jaminan seseorang memiliki pemahaman agama yang bagus, begitu juga sebaliknya. Setiap manusia itu berproses.” Giandra bisa memahami maksud Keyra. “Satu lagi Key. Gimana dengan perempuan berhijab tapi kelakuannya tidak mencerminkan apa yang dia kenakan?” Keyra menghembuskan napas sejenak. “Jangan pernah menyatukan jilbab dan akhlak. Itu adalah dua hal yang berbeda. Jilbab itu diwajibkan untuk semua muslimah baligh tanpa kecuali. Mau dia baik, jahat, mau dia ustadzah atau bahkan perempuan malam sekalipun, semua wajib menutup aurat. Sekalipun dia masih berperilaku jelek, setidaknya kewajibannya sudah gugur dan tidsk ada dosa karena tidak menutup aurat. Begitu juga dengan akhlak, Allah selalu membalas perbuatan manusia entah baik atau buruk dengan seadil-adilnya. Jadi muslimah yang berjilbab itu bukan berarti dia sempurna. Dia juga masih berproses untuk menjadi lebih baik dan menutup aurat adalah bagian dari prosesnya. Memang akan lebih baik jika setiap muslimah tidak hanya memperbaiki cara berpakaian dengan berjilbab, tapi juga memperbaiki tingkah lakunya, membaguskan akhlaknya. Kalau dua hal ini berjalan beriringan tentu akan menjadi lebih bermakna.” “Okey Key terimakasih atas penjelasannya. Tapi pada intinya wanita muslim punya pilihan untuk mengikuti aturan atau tidak kan? Dosa ditanggung masing-masing orang?” Keyra mengangguk, “sebenarnya ada analogi yang lebih sederhana. Jika mengenakan jilbab itu diibaratkan mentaati peraturan lalu lintas. Masing-masing pengendara motor punya pilihan, mau mematuhi aturan untuk mengenakan helm atau tidak. Jika dia mengenakan helm artinya dia lebih memproteksi diri dari bahaya yang mungkin bisa datang tanpa diduga. Misal jatuh dari motor. Karena dia memakai helm, kepalanya lebih terlindungi. Jika ada tilang, dia juga lolos dari sanksi atas pelanggaran tak mengenakan helm. Sedang untuk yang tidak mengenakan helm, semisal dia jatuh, kepalanya terantuk aspal, ini akan sangat membayakan. Dia juga bisa dikenakan sanksi karena melanggar peraturan lalu lintas. Jadi kita punya pilihan mau selamat atau tidak. Dan setiap pilihan yang kita buat pasti ada resikonya kan?” Giandra mengangguk sekali lagi. “Oya Key, aku minta tolong, bisa nggak kamu menanyakan ke Raynald, kenapa akhir-akhir ini dia menghindariku? Nggak mau balas WA atau mengangkat telpon. Aku serasa punya tanggungjawab lebih untuk menjaganya. Aku om yang paling dekat dengannya.” Keyra mengangguk pelan. Tentu dia sudah tahu alasan Raynald menghindari Giandra. Seusai sarapan masing-masing bersiap diri untuk berangkat. “Key aku udah minta pak Tatang untuk menjemputmu. Berangkatlah bersamanya. Aku nggak bisa antar karena jalur kita berbeda arah. Sedang aku harus sampai kantor tepat waktu.” “Tidak masalah. Sebenarnya aku bisa berangkat sendiri sih.” Atmosfer terasa canggung. Giandra hendak berpamitan, tapi dia sungkan untuk memulai. Menatap Keyra yang begitu cantik dengan hijabnya membuat Giandra ingin sedikit mengecupnya, namun dia terlalu gengsi untuk melakukannya. “Aku berangkat.” Ucap Giandra sambil melangkah mendekat ke arah pintu. “Tunggu.” Ucapan Keyra membuat langkah Giandra terhenti. “Ada apa?” “Apa kamu lupa pesan ayah? Sebelum berangkat, paling nggak cium istri dulu.” Keyra tersenyum dan menggigit bibir bawahnya. Giandra merasa tergoda juga mendengar kata-kata Keyra diiringi sikapnya yang mengulas senyum dan menggigit bibir bawahnya, ini benar-benar godaan untuknya. Ia ingat semalam ia melewatkan kesempatan begitu saja untuk bermesraan dengan Keyra. Dia hanya takut akan jatuh cinta pada Keyra. Ia takut dikhianati dan semakin dalam perasaannya, hal ini akan menyiksanya. Keyra masih tersenyum dan menunggu reaksi Giandra. Giandra meletakkan tas kerjanya di sofa lalu dengan sigap mendorong tubuh Keyra hingga mepet ke dinding. Dipagutnya bibir Keyra dengan penuh gairah. Tangannya memeluk pinggang Keyra. Keyra cukup aktif membalas ciuman suaminya. Tangannya menambak rambut Giandra pelan seolah meminta Giandra untuk menciumnya lebih dalam. Mereka meghentikan ciuman mereka sejenak. Napas keduanya terdengar memburu. Giandra seakan tak pernah puas mencium bibir istrinya. Dia tak pernah menyangka ciuman dengan seorang perempuan bisa meruntuhkan tembok keangkuhannya. Bibir Keyra seoalah sudah menjadi candu untuknya. Giandra melumat bibir Keyra sekali lagi dengan lebih liar. ciumannya beralih ke seluruh wajah Keyra hingga membuat khimarnya berantakan. Giandra melepaskan ciumannya dan mata mereka beradu. “Aku menciummu bukan karena cinta Key.” Ucap Giandra dengan napas yang masih tersengal. Giandra berbisik lirih di telinga Keyra, “aku menciummu karena aku nggak bisa menahan hasratku. Aku ingin melakukan sesuatu yang lebih, tapi aku harus berangkat.” Mata mereka kembali beradu. Keyra tak mengucap sepatah katapun. Giandra mengambil kembali tas kerjanya dan dia berlalu meninggalkan Keyra yang masih diam mematung. Keyra mengusap bibirnya dengan jarinya. Tentu jauh di dalam hati, dia ingin Giandra menciumnnya dengan penuh cinta, bukan semata karena nafsu. Namun Keyra tak akan menolak setiap sentuhan fisik yang diselancarkan Giandra. Mungkin dengan itu, Giandra bisa membuka hati untuk mencintainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN