Pelan Maharani membuka mata.
Bias cahaya lampu membuatnya menyipitkan sepasang mata sayunya. Ia mendapati seseorang tertidur di samping kirinya dengan posisi duduk. Seseorang yang amat ia cintai. Alvian.
Maharani mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Ia mengingat kembali kejadian hari ini hingga bisa sampai di ruangan serba putih dengan aroma khas. Terakhir ia ingat sedang berada di butik lalu merasa sakit di kepala dan perut. Dan semua tiba-tiba gelap. Ia merutuki kecerobohannya yang lupa mengisi perut.
Maharani duduk. Diusapnya lembut kepala Alvian yang bertumpu di ranjang.
Merasa kepalanya disentuh, Alvian terbangun dari tidur. Ia tersenyum mendapati Maharani telah siuman.
"Hei, sudah enakkan badannya?" Alvian duduk di bibir ranjang. Tangannya menggenggam erat jemari Maharani.
"Maaf, Mas. Aku merepotkanmu." Maharani senang Alvian masih perduli padanya, padahal ia tahu beberapa jam lalu Alvian tengah menemani Susan yang baru saja melahirkan.
"Tapi maaf aku gak bisa lama. Di kantor sedang banyak sekali kerjaan," ucap Alvian lirih. Sejujurnya ia ingin menemani Maharani tapi di sisi lain Susan juga membutuhkannya.
Senyum yang tadi terkembang di wajah Maharani mendadak sirna.
"Hei jangan sedih, aku akan pulang cepat. Aku udah minta Mbok Minah ke sini, buat nemenin kamu, sementara aku pergi."
Maharani tak menjawab. Ingin rasanya ia menumpahkan amarahnya, tapi bibirnya selalu terasa kaku saat menatap wajah teduh Alvian. Ia pun belum sanggup menerima jika pada akhirnya Alvian lebih memilih Susan ketimbang dirinya.
"Hei, Sayang aku akan pulang cepat." Alvian mengecup pipi Maharani yang telah basah karena lelehan air mata.
"Pergilah Mas, kalau memang urusanmu itu lebih penting dari aku."
"Jangan bicara seperti itu, kamu tetap yang utama dan pertama, apa pun yang terjadi."
Maharani menatap lekat manik coklat Alvian. Berharap ia menemukan cinta Alvian yang dulu hanya untuknya seorang. Tak ada cinta itu telah terbagi.
"Aku pergi ya, nanti dihabiskan buburnya." Alvian mengecup kening Maharani lalu melangkah pergi.
Maharani termangu merenungi jalan hidupnya. Andai waktu itu ia tidak menggugurkan kandungan, ia mungkin sudah memiliki anak dan Alvian tidak akan mendua.
Ya, Maharani muda sempat mengandung. Ia patuh menuruti permintaan keluarga Alvian untuk menggugurkan kandungan. Karena jika tidak, orang tua Alvian tidak akan merestui pernikahan mereka. Mereka diijinkan menikah asalkan menunda memiliki momongan. Cinta buta Maharani pada Alvian membuat Maharani rela melakukan apa pun meski nyawanya terancam.
Sebelas tahu lalu di sebuah rumah sakit di Jakarta, Maharani menggugurkan kandungan. Selama seminggu Maharani dirawat karena mengalami pendarahan hebat. Tak hanya itu, Maharani muda yang tidak mengetahui jika ada peradangan di organ reproduksinya, terlambat mendapat pertolongan. Hal itu salah satu pemicu sulitnya ia memiliki anak saat ini.
"Aaaaarrrggggghhhh!!!" Maharani melempar bantal dan selimut ke sembarang. Ia pun melepas paksa selang infus ditangan. Ia turun dari ranjang melangkah menuju pintu hendak menyusul Alvian.
Tapi belum sempat pintu terbuka, tubuhnya kembali luruh ke lantai. Maharani kembali pingsan.
Dokter Andre yang berniat mengunjungi Maharani terkejut melihat kondisi Maharani yang tergeletak di lantai dengan darah dipergelangan tangan.
"Bu!" Andre terlihat begitu cemas.
Andre tadi tidak sengaja melihat Alvian yang tergesa memasuki rumah sakit. Karena itu Andre mengikuti Alvian hingga ke ruangan di mana Maharani dirawat. Selesai praktek ia sengaja berkunjung untuk melihat keadaan Maharani.
Tepat bersamaan Mbok Minah datang.
"Ya Allah, Bu Rani!" Mbok Minah panik. Ia bersimpuh mendekati tubuh majikannya.
"Dok, Bu Rani kenapa bisa seperti ini?"
"Nanti saya jelaskan. Sekarang bantu saya membaringkan ke ranjang."
Andre dibantu Mbok Minah memindahkan tubuh Maharani ke ranjang.
"Saya panggil dokternya dulu." Andre menghilang di balik pintu.
"Bu Rani, kenapa bisa seperti ini?" Mbok Minah menangis melihat keadaan Maharani. Wajah ayu itu memucat.
Tak lama Andre bersama seorang dokter wanita dan perawat memasuki ruangan.
"Silakan Ibu tunggu di luar. Saya akan memeriksa keadaan Bu Rani."
Mbok Minah dan Andre menunggu di luar kamar. Air muka keduanya nampak cemas.
"Maaf, kalau boleh tahu Bapak siapa?" tanya Mbok Minah.
"Saya Andre. Dokter kandungan yang sering dikunjungi Bu Maharani dan Pak Alvian," jelasnya tersenyum ramah.
Mbok Minah mengangguk pelan. Ingin menanyakan sesuatu tapi ragu, takut menyinggung dokter tampan itu, pikirnya.
"Apa Ibu Rani sering seperti ini, Bu?"
"Panggil saya Mbok Minah, Dok. Saya pembantunya Bu Rani." Mbok Minah menghela nafas sesaat lalu melanjutkan ucapannya,"Ibu kalau sedang banyak pikiran memang suka kambuh penyakitnya."
"Memangnya Bu Rani sakit apa?"
"Magh tapi sudah parah. Yang saya tau kalau Ibu lagi banyak masalah suka telat makan. Saya yakin kalau sekarang juga begitu, makanya Ibu sampai pingsan," terang Mbok Minah.
Pintu kamar terbuka mengantarkan dokter dan perawat yang sudah selesai mengecek keadaan Maharani.
Mbok Minah dan Andre menghambur ke arah dokter.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" Andre lebih dulu bertanya.
"Apa tadi Bu Rani memaksa pergi dan melepas paksa infusnya?"
"Saya kurang tahu Dok. Begitu saya masuk Bu Rani sudah berada di lantai," jelas Andre.
Dokter bernama Aruni itu manggut-manggut. "Bu Rani hanya hanya kelelahan dan telat makan, seperti yang sudah-sudah."
"Syukurlah," sahut Andre dan Mbok Minah hampir berbarengan.
"Ya sudah, nanti kalau Bu Rani sudah siuman, pastikan untuk meminum obatnya dan makan minum dengan cukup."
"Baik, Dok," kali ini Mbok Minah yang menjawab.
"Saya permisi dulu."
"Terima kasih, Dok," ucap Mbok Minah. Setelah itu masuk ke ruang perawatan menghampiri Maharani.
"Dokter Andre!" Dokter Aruni menatap lekat mata coklat Andre. "Anda berhutang penjelasan ke saya," katanya dengan senyum tertahan.
Andre tertawa kecil lalu menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal.
Begitu rekan seprofesinya pergi, Andre turut masuk ke ruang perawatan. Pria berstatus duda tanpa anak itu berdiri di samping kanan Maharani, sementara Mbok Minah duduk di kursi samping kiri Maharani.
"Apa Bu Rani sudah bercerita ke Mbok tentang masalah yang sedang dihadapinya, Mbok?"
"Sudah, Dok. Saya kasihan sama Ibu, hampir tiap hari menangis."
"Dokter juga tahu tentang Pak Alvian yang menikah lagi?"
"Saya tahu, Mbok."
Senyap. Hanya denting jarum jam yang mengisi kekosongan.
Andre menatap wanita yang tengah terbaring lemah dengan tatapan sendu. Ia merasa sangat berdosa karena telah menutupi kecurangan Alvian. Kini ia bukan hanya merasa berdosa melainkan turut pedih menyaksikan Maharani yang begitu terluka.
"Kalau Bapak ingin pulang, silakan. Biar saya yang menunggu Bu Rani."
Andre berpikir sejenak lalu mendekati Mbok Minah. Ia mengambil sesuatu dari dompetnya lalu diberikan pada Mbok Minah. Meski ragu, Mbok Minah tetap menerimanya. Sebuah kartu nama-Andre Haryadi Subrata lengkap dengan nomor telepon dan alamat tempat praktek.
"Mbok, tolong kalau ada apa-apa, kabari saya secepatnya."
"Dokter ...."
"Saya hanya merasa berdosa karena telah ikut membantu menutupi pernikahan diam-diam Pak Alvian," jelas Andre. Tak ingin Mbok Minah salah sangka.
"Baik, Dok."
•••••
Pagi menyapa.
Maharani merasakan tubuhnya sudah lebih baik. Pusing di kepala sudah berkurang dan perut yang seperti diremas sudah membaik. Ia duduk di bersandar di ujung ranjang. Dilihatnya tubuh kurus Mbok Minah yang meringkuk di sofa. Ia bersyukur mendapat asisten rumah tangga seloyal Mbok Minah.
Maharani meraih tas di atas nakas, hendak mengambil ponsel. Ia ingin menghubungi Alvian yang sejak semalam tidak datang.
Namun, laju jemari Maharani terhenti begitu membaca pesan dari Alvian.
[ Sayang, maaf malam ini aku langsung berangkat ke luar kota. Mungkin sekitar satu minggu aku di sana. Kamu jaga kesehatan ya. Love u. ]
Mata indah Maharani berkabut seiring dengan rasa sakit hingga ke ulu hati. Ia kembali melepas paksa selang infusnya. Berjalan pelan menuju kamar mandi setelah mengambil baju salin.
Mbok Minah terbangun mendengar suara pintu berdecit. Ia yang baru saja tidur selepas shubuh segera beranjak dari sofa mendapati ranjang di depannya kosong. Dan selang infus yang tercecer.
Langkahnya kemudian menuju kamar mandi begitu mendengar air kran mengucur.
"Bu Rani, apa Ibu di dalam?" tanya Mbok Minah sembari menempelkan telinganya di pintu.
"Iya, Mbok."
Tak lama Maharani keluar dengan wajah yang nampak segar dan telah berganti pakaian. Mbok Minah segera meraih tubuh Maharani, membantunya berjalan menuju ranjang.
"Ibu kenapa infusnya dilepas lagi?"
"Gak apa-apa, Mbok."
Maharani sibuk mengecek isi tasnya. Mengambil dompet lalu memberikan beberapa lembaran merah pada Mbok Minah.
"Ini untuk membayar biaya rumah sakit ya, Mbok. Sisanya untuk Mbok ongkos pulang," jelas Maharani sambil merapikan rambutnya.
"Lho, Ibu mau ke mana? Ibu kan belum sehat."
"Aku harus pergi, Mbok?"
"Nanti kalau Pak Alvian datang gimana?"
"Justru aku akan mencari Mas Alvian, Mbok. Dia semalam gak ke sini, kan?"
Mbok Minah terdiam. Ia mengerti maksud majikannya itu.
"Aku pergi, Mbok."
"Hati-hati, Bu."
Sepeninggal Maharani, Mbok Minah teringat sesuatu. Ia kirimkan pesan tentang Maharani yang akan mencari Alvian pada seseorang.
••••
Maharani sudah berada di dalam taksi. Ia harus memastikan keberadaan Alvian pagi ini juga. Mobil sudah merayap memasuki jalan utama Ibu Kota. Dan seperti biasa pengendara harus menyiapkan banyak-banyak stok sabar karena jalanan yang selalu macet.
Hanya tinggal satu belokan lagi menuju rumah Susan-istri kedua Alvian. Maharani sebisa mungkin mengontrol emosinya. Bila di banyak kasus istri pertama akan memaki-maki pelakor saat bertemu, Maharani sama sekali tak ingin seperti itu. Ia tak ingin mengotori tangan dan bibirnya.
Taksi sampai di rumah yang Maharani tuju. Setelah membayar ongkos, Maharani turun. Langkahnya tegap dan percaya diri. Dilihatnya mobil milik Alvian masih terparkir cantik di halaman rumah Susan.
"Kena kamu Mas," gumamnya.
Sampai di depan gerbang Maharani menekan bel. Beberapa kali menekan, akhirnya muncul wanita paruh baya dari dalam rumah. Maharani menebak kalau dia adalah ART Susan.
"Maaf, Ibu cari siapa?" tanya ART itu dari balik gerbang.
"Saya cari Pak Alvian. Ada kan?"
"A-ada, Bu." Sejurus kemudian gerbang terbuka.
Tanpa diminta, Maharani memasuki rumah tersebut. Rumah yang lebih kecil dari rumah yang dihuninya dengan Alvian, tapi masih bisa dikatakan mewah.
"Saya tunggu di sini saja," ucap Maharani sebelum ART bertubuh gempal itu mempersilakan masuk.
Bersambung