Part 6

1732 Kata
"Mas lepas, sakit! Kasar banget sih sama istri sendiri!" Protes Susan. Alvian setengah menyeret, membawa Susan ke teras rumah. Memandang dengan tatapan tak suka pada istri keduanya itu. "Aku kan udah bilang jangan kesini. Nekat banget sih! Aku gak mau kamu buat keributan di rumah ini!" "Suruh siapa teleponku gak diangkat. Lili demam, Mas, dia terus-terusan mengigau mencari Ayahnya." Alvian membasuh muka kasar. Ia berada dipilihan yang sulit. Di satu sisi pria berumur 31 tahun itu ingin menemani istri pertamanya di rumah, demi mencuri hatinya kembali. Tapi di sisi lain anak perempuannya sedang sakit dan butuh kehadirannya di sana. "s**t!" "Ayo, Mas, tunggu apa lagi?" "Tunggu sebentar." "Iiish!" Alvian menuju ke kamar bermaksud ingin berpamitan dengan Maharani. Baru saja sampai di pintu, tubuhnya seketika menegang melihat pemandangan di dalam kamar. Maharani dibantu Mbok Minah tengah memasukkan pakaian dan benda-benda pribadinya ke dalam koper. Dengan langkah lebar ia menghampiri Maharani. "Mbok, tinggalkan kami." "Baik, Pak." Bergegas Mbok Minah keluar dari kamar. Tak lupa, di tutupnya pintu kamar yang terbuat dari kayu jati itu. Maharani sama sekali tak menghiraukan kehadiran Alvian. Ia masih saja sibuk mengemasi barang-barang yang hendak dibawanya. "Rani, berhenti!" Bentak Alvian. Maharani bergeming. Geram, Alvian mencekal tangan kanan Maharani. "Siapa yang mengizinkanmu pergi?" Maharani membuang muka, tak ingin pandangan mereka bertemu. Alvian mengembuskan napas pelan. Mencoba meredam amarahnya. "Jangan pergi, aku mohon." Kali ini Alvian melembutkan suaranya. "Susan lebih membutuhkanmu dari pada aku, Mas. Biarkan aku pergi," Maharani memohon. "Enggak akan. Sampai kapan pun aku gak akan pernah melepaskanmu." "Aku belum siap dimadu, Mas. Aku belum siap," ucap Maharani dengan tangis tertahan. Dengan gerakan cepat Alvian menarik tubuh Maharani ke pelukannya. Ia selalu merindukan harum tubuh istrinya itu. "Jangan pergi, aku mohon." Sungguh ia tak ingin Maharani pergi dari sisinya. "Mintalah apa pun, asalkan kamu tetap tinggal. Aku mohon!" Sejujurnya Maharani pun merindukan Alvian, tapi ia belum mampu memadamkan gemuruh di d**a. Ia sakit setiap kali mengingat kenyataan Alvian yang menikahi Susan diam-diam. "Aku harus pergi, Mas." Maharani berontak mencoba mengurai pelukan Alvian. "Nggak. Kamu akan tetap di sini, selamanya." Alvian semakin mengeratkan pelukannya. "Mas ... please!" Brakk!! Pintu terdorong dari luar, menampakkan sosok Susan dengan wajah kesal. Ia berjalan mendekati Alvian dan Maharani yang terkejut dengan kedatangannya. Seketika Alvian mengurai pelukannya dengan Maharani. "Mas, anakmu sedang sakit. Apa gak bisa kamu menunda bermesraan dengannya sampai anakmu sembuh?" tukas Susan. Ia mendelik pada Maharani yang menatapnya datar. "Tunggu aku di bawah! Lima menit lagi aku turun," pinta Alvian. "Ck. Oke, lima menit. Awas kalau bohong!" Meski dongkol, akhirnya Susan mengikuti perkataan Alvian. "Selama aku pergi, tolong kamu jangan ke mana-mana," tuturnya pada Maharani. "Susan dan anaknya lebih butuh kamu, Mas." "Please!" "Pergilah, Mas." "Kamu tetap di sini, aku gak akan lama." Dikecupnya kening Maharani singkat. •••• Meski berat meninggalkan Maharani, tapi akhirnya Alvian mengantarkan Susan pulang sekaligus melihat keadaan Lili. "Dari kapan Lili demam?" "Semalam." Sunyi. Hanya terdengar suara deru mesin mobil dan sesekali klakson dari mobil lain yang hendak mendahului. Jelas, Alvian gelisah memikirkan Maharani. Ia tak ingin wanita yang menempati separuh hatinya itu pergi. Bagaimana pun wanitu itu yang bertahun-tahun menemaninya di saat suka dan duka. Tak mudah bagi Alvian melepaskannya begitu saja. Sementara Susan sibuk memberikan ASI pada anak ke duanya. Ia memilih diam melihat wajah Alvian yang kurang bersahabat. Takut jika ia salah bicara yang membuat suaminya marah. Mobil sampai di pelataran rumah Susan. Mereka berdua beranjak turun, bergegas memasuki rumah. "Aku bawa saja Lili ke rumah," ujar Alvian. Sesaat setelah mereka memasuki kamar. Entah mengapa tiba-tiba ia berucap demikian. Hanya saja hati kecilnya meyakinkan jika ada Lili, Maharani akan tetap tinggal dengannya. Ia tahu Maharani begitu menginginkan seorang anak. Dua kali mereka melakukan program bayi tabung namun belum juga membuahkan hasil. Belum terapi-terapi lainnya yang dijalani Maharani. Sudah ratusan juta uang yang mereka habiskan demi mendapatkan keturunan. Hingga tiga setengah tahun lalu pria berambut ikal itu memutuskan menikahi Susan. Setelah sebelumnya menjalin hubungan dekat selama beberapa bulan. Dirinya sudah tak sabar ingin merasakan menjadi seorang Ayah. Lili, anak umur tiga tahun yang sudah lancar bicara tengah terlelap di atas ranjang berukuran besar. Demamnya sudah mulai menurun sehingga bisa tertidur nyenyak. Tak lagi meracau seperti semalam. Sepasang suami istri yang terikat pernikahan siri itu duduk berhadapan di sisi ranjang. Memandangi gadis kecilnya dengan iba. "Maksud kamu?" "Biar aku dan Rani yang mengurus Lili. Aku yakin Rani pasti senang." Susan tersenyum kecut, "kamu gila atau kenapa sih? Menyapaku saja dia enggan, mana mau dia mengurus Lili." "Jangan bicara begitu, dia kan juga perlu waktu untuk menerima pernikahan kita. Apa kamu sebagai wanita gak merasakan kalau dia begitu terpukul?" "Jadi kamu mau bilang kalau aku merebutmu darinya?" Alvian menoel hidung minimalis Susan, "wanita di mana-mana sama. Laki-laki bilangnya apa, dia mengartikan apa." Diraihnya jemari Susan. Rasa cintanya pada wanita berumur 22 tahun itu sama besarnya pada Maharani. "Aku gak mau kehilangan kamu, Mas. Aku ingin segera pernikahan kita diakui negara." Alvian tersenyum, "sabar ya, beri aku waktu lagi untuk meyakinkan Rani." "Sampai kapan?" Ingin rasanya bibir berkata agar Alvian menceraikan Rani, tapi ia takut. Takut jika Alvian murka dan justru meninggalkannya. Mengingat pernikahan mereka hanya pernikahan siri. Sangat mudah bagi Alvian jika ingin menceraikannya. Tidak hanya karena cintanya pada Alvian begitu besar, tapi ia juga takut jika tak bisa membiayai ke dua anaknya kelak. •••• "Hei, di sini." Maharani melambaikan tangan pada seorang wanita yang baru saja memasuki restoran di hotel tempatnya akan menginap. Wanita berpakaian kemeja berbahan sifon dan rok selutut itu berjalan menuju meja di mana Maharani duduk. "Kangen gue sama elu," ucapnya sembari mengecup ke dua pipi sahabatnya. Setelahnya ia duduk di kursi kosong di depan Maharani. "Bu manajer sibuk terus sekarang," goda Maharani padanya. "Sori deh, maklum gue kan perlu beradaptasi dulu, Bu Alvian," seloroh wanita bernama Bella itu. Ekspresi Maharani berubah murung begitu Bella menyebut nama suaminya. "Kenapa, kok lo kayak sedih gitu? Jangan bilang kalau ...." Kata-kata Bella terpotong karena kedatangan pelayan restoran. "Permisi, ini menu di restoran kami, Ibu," ucap pelayan berdasi kupu-kupu sembari menyodorkan buku menu dan tersenyum ramah. "Lo mau pesen apa, Bel?" "Saya pesan sirloin steak, well done. Minumnya lemon tea." Pelayan itu dengan seksama mencatat pesanan Bella. "Lalu Ibu?" "Saya tenderloin steak, well done. Minumnya sama." "Baik Ibu, ditunggu 15 menit. Terima kasih." Sepeninggal pelayan, Bella dengan tatapan penuh selidik memandangi wajah Maharani. Diambilnya ponsel dari dalam tas bermerk-nya. Dengan lincah jemarinya menggerakkan layar ponsel mencari sesuatu yang ingin ia tunjukkan pada Maharani. "Apa ada hubungannya dengan ini?" Bella memperlihatkan sebuah foto seorang laki-laki tengah menggendong anak perempuan, bersama seorang wanita dengan bayinya. Dari latar belakang foto, Maharani bisa menebak jika foto tersebut diambil di lobi rumah sakit tempat Susan melahirkan. Saat itu wanita berwajah indo dengan manik mata berwarna cokelat baru saja selesai mengunjungi dokter kandungannya. Lalu tak sengaja pandangannya menangkap sosok yang ia kenal. Ia mengambil foto mereka diam-diam, sengaja tak mengejar mereka karena tak ingin membuat keributan. Maharani tampaknya tidak begitu syok. Ia hanya mengangguk pelan. Ia sadar cepat atau lambat pernikahan Alvian dan Susan akan diketahui banyak orang. "Jangan bilang kalau perempuan ini istri baru Alvian ...." Maharani kembali mengangguk. "Oh, my God! Jadi bener si Alvian nikah lagi?" Bella nampak syok mendengar kenyataan pahit kehidupan rumah tangga sahabatnya. "Berengsek banget sih dia!" makinya dengan tangan mengepal. "Terus lo udah ketemu sama ni perempuan?" "Udah." "Udah lo apain dia? Cakar, jambak atau pukul?" Maharani menggeleng, "gue gak tega, Bel. Dia kan seorang Ibu. Kalau sampai gue ngapa-ngapain dia terus dia luka, kasian anak-anaknya nanti." "What! Lo bilang gak tega? Lo naif apa b**o sih, Ran. Dia itu udah ngerebut suami lo!" Kali ini Bella menaikkan volume suaranya. Sampai-sampai beberapa orang yang berada tak jauh dari mereka menatapnya tak suka karena mengganggu ketenangan. Tentu saja Bella merasa bodo amat. "Awalnya emang sakit banget pas gue tahu Mas Al nikah lagi. Tapi gue mesti gimana, Bel ... kenyataannya Susan yang bisa ngasih keturunan buat dia, sedangkan gue ... gue gak lebih dari perempuan cacat," ujar Maharani. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca. "Tetep aja si Al salah. Dia gak mikir apa kalau lo susah punya anak juga gara-gara Al dan keluarganya. Gue gak terima lo diginiin Ran. Lihat ajah, besok gue bakal maki-maki tuh si Al!" Pelayan datang membawakan pesanan mereka dan berlalu setelah meletakkan hidangan di atas meja. Obrolan berlanjut sembari menyantap hidangan masing-masing. Bella masih menggebu-gebu, geram dengan perlakuan Alvian pada Maharani. Ia tak habis pikir pria sekalem Alvian bisa tega menikahi perempuan lain secara diam-diam. Dan tentu saja ia sangat setuju saat Maharani mengutarakan niatnya ingin berpisah dengan Alvian. Sesekali Bella yang terkenal dengan kebawelannya itu menceritakan kehidupan rumah tangganya. Sangat antusias saat membicarakan tentang kehamilannya yang memasuki bulan ke tiga. Pun sama dengan Maharani yang turut bahagia mendengar berita baik itu. Dua jam terasa begitu singkat bagi dua wanita yang hanyut dalam obrolan karena lama tak bertemu. "Gue pamit ya, kalau lo butuh apa pun kabari gue." "Ok, thank's, Bel." Keduanya berpelukan. Andai tak ada kegiatan lain yang menanti, Bella ingin mengobrol lebih lama dengan Maharani. Batinnya turut merasakan nyeri mendengar kekacauan yang terjadi pada rumah tangga Maharani dan Alvian. ••••• "Bu Rani?" Maharani mengurungkan niatnya memasuki kamar hotel begitu mendengar namanya disebut seseorang. Lelaki berkemeja putih dengan bagian lengan di gulung hingga ke siku menghampirinya sembari menyimpulkan senyum. "Dokter?" "Bu Rani menginap di sini?" "I-iya. Dokter sendiri?" "Saya baru saja bertemu seseorang." "Seseorang?" "Maksud saya rekan bisnis saya. Kebetulan beliau menginap di sini, jadi saya menemui di kamarnya," jelas Andre. Tak ingin Maharani berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. "Kalau begitu saya masuk dulu, Dok." "Tidak ingin menemani saya minum kopi?" tawarnya penuh harap. "Maaf sebelumnya Dok. Bukan maksud saya menolak, saya hanya tidak ingin orang berpikiran buruk pada saya. Saat ini saya masih berstatus istri, tentu dokter tahu hal itu." "Baiklah, saya minta maaf jika kehadiran saya membuat Bu Rani merasa tidak nyaman. Saya permisi." Segera setelah Andre pergi, Maharani memasuki kamarnya. Ingin segera mandi dan beristirahat. Dan tanpa ia sadari, bahaya tengah mengintainya di depan mata. Bukan tidak mungkin hal itu akan memperburuk hubungannya dengan Alvian. Seseorang dengan senyum licik memotret diam-diam saat dirinya tengah berbincang dengan Andre di depan pintu kamar, lalu mengirimkan foto tersebut pada Alvian. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN