Menghindar

1247 Kata
Aku memeluk map yang tadi diberikan Kak Damar, menatap langkahnya menjauh hingga sosoknya hilang di balik pintu lift. Sementara, aku masih terpaku di tempat. Dia pun sama sekali tidak menoleh, langkahnya dingin, meninggalkan jarak yang semakin membentang. Ini pilihanku—berdiam diri—lebih baik tetap di sini daripada memaksakan diri berada satu lift dengannya. Itu hanya akan membuat keadaan semakin canggung. Aku mampir ke toilet sebentar untuk merapikan penampilan, lalu melangkah menuju ruangan divisi keuangan. Saat melewati pantry, pandanganku tertumbuk pada seseorang yang tampak kebingungan, seperti sedang mencari sesuatu. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku ragu. Sejujurnya aku bimbang harus menyapanya atau tidak, tapi ini kantor. Aku harus tetap profesional, ‘kan? “Astaga, kamu mengagetkan saja!” Aku meringis kecil. “Maaf, Pak. Bapak sedang perlu sesuatu?” “Saya tadi telepon ke pantry, tapi tidak ada yang angkat—” ucapnya, lalu berhenti sejenak, menatapku dalam-dalam. “Lalu?” tanyaku pelan, menunggu kelanjutannya. “Saya mau buat kopi.” “Saya bantu buatkan—” Aku belum sempat melangkah masuk ke dalam pantry ketika dia menghentikanku. Dengan singkat ia berkata tidak jadi, lalu berlalu begitu saja meninggalkanku berdiri sendirian. Aku masih saja berjalan di belakangnya—bukan bermaksud mengikutinya, hanya saja tujuan kami searah. Aku menuju divisi keuangan, sementara kuduga dia hendak ke lift. Namun, dugaanku keliru. Saat menoleh dan menyadari keberadaanku, ia memicingkan mata. “Map apa lagi itu?” tanyanya datar. “I—ini laporan bulanan tadi, Pak. Saya mau meneruskannya ke bagian keuangan.” Tanpa komentar, Kak Damar kembali melangkah. Ternyata tujuannya sama sekali bukan lift, melainkan ruangan manajer keuangan. Aku menarik napas, berusaha terdengar santai. “Kalau secepat itu Bapak tanda tangan, harusnya minta saja saya menunggu. Itu tidak apa-apa, Pak.” Katakanlah aku terdengar sok asyik—biarlah. Nyatanya, kalau saja tadi ia langsung menandatangani berkas itu, pekerjaanku pasti lebih cepat selesai, ‘kan? Tiba-tiba langkahnya berhenti. Aku yang tidak siap, tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Aduh!” seruku refleks mengusap dahi. Dia menoleh sekilas, lalu berkata lirih tapi menohok, “Bukankah kamu tidak pandai menunggu, Jingga?” ‘Deg! Hatiku tercekat seketika. Tanpa menunggu reaksiku, dia melangkah masuk ke ruangan manajer keuangan dan menutup pintu dengan kasar, meninggalkanku berdiri terpaku di luar. Delapan tahun yang lalu “Your time’s up,” ujar Kak Damar dengan nada serius. “Choose.” Hari itu aku ikut mengantarnya ke bandara, melepas keberangkatannya untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Dia menyatakan perasaannya padaku. Tangannya menyodorkan sebuah kotak kecil berisi kalung—katanya itu hadiah untukku. Jika aku menerima perasaannya, aku harus segera memakainya di hadapannya. Namun jika tidak, cukup kuambil lalu kusimpan saja. Aku dan Kak Damar memang terbiasa bersama sejak kecil. Persahabatan Mama-ku dengan Bunda-nya membuat kami kerap dipertemukan, hingga kebersamaan itu perlahan tumbuh menjadi rasa ingin saling memiliki. Aku menatapnya dalam tanpa ragu. Dahi Kak Damar berkerut saat aku mendorong kembali kotak kalung itu ke arahnya. Namun kemudian, aku menyibak rambutku ke samping, memberi isyarat agar dia langsung memakaikannya untukku. “Jingga pandai menunggu, Kak,” ucapku pelan. Tanpa ragu, Kak Damar segera mengaitkan kalung itu di leherku. Sentuhannya hangat, membuat hatiku berdebar. “Terima kasih, Sayang,” bisiknya tulus. Satu tahun menjalani hubungan jarak jauh ternyata tak seburuk yang kubayangkan. Setidaknya, itulah yang kurasakan di awal. Rindu memang sering mengetuk, tapi ada panggilan video, ada pesan singkat, dan ada janji untuk terus bertahan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku menarik kembali ucapan itu. Memasuki tahun ketiga, semua terasa melelahkan. Aku tak lagi menghitung hari-hari dengan penuh semangat. Sebaliknya, setiap detik justru terasa panjang dan penuh prasangka. Aku sering kali dilanda salah paham dengan kedekatan Kak Damar dan Dinda—teman satu angkatannya semasa sekolah di Yogyakarta. Kini, perempuan blasteran Inggris-Jawa itu kuliah di universitas yang sama dengannya. Pertanyaan yang selalu menghantuiku, apakah benar ada pertemanan yang murni antara laki-laki dan perempuan? Aku tak bisa menerima perlakuan dan perhatian Kak Damar pada Dinda. Aku tahu cerita hidup Dinda. Katanya, dia korban kekerasan ayahnya sendiri. Hingga ia dipaksa menikah dengan seorang pengusaha kaya demi melunasi hutang keluarga. Pernikahan itu tak membawa kebahagiaan sebaliknya, dia justru menjadi korban KDRT. Hidupnya memang malang dan itulah alasan teman-temannya begitu perhatian padanya termasuk Kak Damar. Namun, semakin hari, aku semakin sulit bermurah hati. Meski Kak Damar selalu berkata cintanya hanya untukku, meski dia menegaskan tidak pernah menatap Dinda lebih dari seorang teman, hatiku tetap memberontak. Puncaknya datang saat sebuah foto mampir ke ponselku. Foto itu dikirim oleh seseorang yang sebelumnya kerap mengirimkan pesan singkat penuh dengan usaha untuk merusak hubungan kami. Awalnya, aku abaikan. Namun kali ini berbeda. Foto itu memperlihatkan Kak Damar bersama Dinda… di ranjang yang sama. Aku merasa seketika runtuh. Apalagi hari itu seharusnya Kak Damar sudah kembali ke Indonesia untuk merayakan ulang tahunku. Penerbangannya dibatalkan, lalu terkendala penerbangan lanjutan, hingga akhirnya dia benar-benar melewatkan hari yang bagiku begitu istimewa—yang seharusnya bisa melihat dan memeluknya. Dan di hari itu pula aku menerima foto penghianatan yang tak sanggup lagi kutepis. “Maaf, Jingga gak bisa lanjutin ini lagi.” Kami kembali bertengkar. Suaraku bergetar saat menelponnya. “No, no. Stop it. Kamu sedang emosi. Jangan bicara apa pun sekarang.” Aku terdiam. Salah paham. Selalu salah paham. Alasan yang selalu Kak Damar katakan. Siklus itu terus berulang. Namun kali ini aku ingin mengakhirinya. “Apa yang membuat kamu berkeras hati seperti ini?” tanyanya dengan nada memaksa. “Jangan memaksa perasaan seseorang, Kak.” “Memaksa? Bohong! Katakan kalau kamu sudah tidak punya perasaan apa pun lagi padaku.” Suaranya meninggi. Aku bisa merasakan amarahnya … frustrasinya dari seberang. “Perasaan kita sudah tidak sama lagi, Kak,” kataku lirih. “Maaf… Jingga tidak pandai menunggu.” “Kamu keterlaluan, Jingga—” Aku memutuskan sambungan telepon seketika. Tanganku gemetar, dadaku sesak. Aku tak sanggup berdebat lebih lama. Jujur aku mencintainya, tapi aku juga terluka. Sejak saat itu aku tak pernah lagi menghubunginya. Dan dia pun sama, seolah akhirnya menyerah menerima perpisahan ini. Mungkin hingga kini dia tak pernah tahu alasan sebenarnya aku berkeras hati melepaskannya hari itu. *** Aku sengaja menghindari Kak Damar sejak terakhir kali bertemu, tepatnya saat dia menyindirku. Untung saja pekerjaanku jarang bersinggungan dengannya. Kalaupun butuh tanda tangan, aku atur sedemikian rupa agar tak perlu berhadapan langsung. “Saya rasa kamu mampu membeli beberapa potong celana.” “Ah!” Aku terlonjak kaget mendengar suara itu dari belakang. Aku buru-buru masuk ke dalam lift sambil mengelus d**a, mencoba menetralkan degup jantungku. Dan ternyata, dia pun ikut masuk ke kotak besi ini. Begitu detak jantungku agak stabil, aku memberanikan diri menatapnya. “Maksudnya, Pak?” tanyaku, berusaha terdengar tenang. Nihil. Dia sibuk menatap layar ponselnya, seolah aku ini angin lalu. Sudahlah, aku malas memperpanjang percakapan yang jelas-jelas tak diinginkan. Saat pintu lift terbuka, aku sempat mengangguk sopan sebelum keluar mendahuluinya. Aku melangkah cepat, berusaha menjauh secepat mungkin. Hah… akhirnya bisa bernapas lega. Jujur saja, tadi di dalam lift aku bahkan sempat menahan napas karena gugup. “Ah!” jeritku kecil, kali ini bukan karena terkejut, tapi sakit. Dengan seenaknya Dimas mengapit leherku dengan satu lengannya. Aku refleks menyikut perutnya sampai dia meringis. “Sakit, Jingga!” protesnya. “Lah, kamu pikir aku nggak sakit?” aku balas sewot, sambil terus memukuli lengannya. Tapi bukannya kesal, dia malah tertawa puas. “Ayo, makan,” katanya sambil menarik tanganku begitu saja, membuatku terseok mengikutinya. Entah kenapa aku menoleh sekilas ke belakang. Saat itu pandanganku beradu dengan tatapan tajam Kak Damar. Begitu menusuk dan dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN