“Cinta! ... Cinta!”
Gedoran disertai dengan teriakan namanya membuat Cinta semakin menulikan telinga. Bahkan bantal yang tadi ia gunakan sebagai alas kepala sekarang sudah berpindah tempat menutupi seluruh wajah sampai telinganya. Berpura-pura tidak mendengar suara lantang papanya yang sudah dapat Cinta pastikan sedang mengamuk di luar kamar miliknya.
Hening untuk sesaat membuat Cinta merasa lega dibuatnya. Namun, rupanya kelegaan itu tak bertahan lama karena kini indera pendengarannya menangkap bunyi anak kunci yang diputar dari luar. Sial! Gadis itu mengumpat. Papanya berhasil membuka pintu dengan kunci cadangan. Bergegas Cinta memejamkan kembali matanya agar papanya menganggap ia tak mendengar semua teriakan karena ia sedang tidur.
“Bangun Cinta!” suara nyaring kembali menggelegar disertai dengan tarikan bantal yang menutupi seluruh wajahnya.
“Papa katakan sekali lagi padamu. Bangun Cinta! Jika tidak ... maka kamu akan menyesal dan jangan menyalahkan Papa jika semua fasilitasmu akan papa cabut sekarang juga.”
“Pa!” Gadis itu segera membuka mata lalu beringsut bangun dari posisi berbaringnya. Menatap horor pada sang Papa yang berdiri sambil berkacak pinggang di samping ranjangnya.
“Bagus. Kau berpura-pura tidur dan tak mengindahkan teriakan Papa.”
Cinta meringis, Ia tahu jika papanya tengah murka jika dilihat dari raut wajah yang tampak kaku tak ada sama sekali senyuman di sana. Cinta jadi takut sendiri melihatnya.
Belum juga hilang rasa takutnya tatkala beberapa lembar kertas dilempar oleh Jack Willis tepat di hadapan Cinta berakhir teronggok begitu saja di atas ranjangnya. Cinta melirik pada tagihan kartu kredit yang diserahkan oleh papanya.
“Apa-apaan ini. Jelaskan pada Papa. Untuk apa kamu membeli semua barang-barang itu! Juga lihatlah isi kartu debitmu yang nyaris tanpa saldo. Kamu ke manakan uang sebanyak itu, Cinta!”
Jack mengusap wajah frustasi. Tak tahu lagi bagaimana menghadapi tingkah laku sang putri. Semenjak ia memutuskan menikah lagi, Cinta telah berubah menjadi anak yang suka berbuat sesuka hati. Dalam waktu kurang dari satu minggu Cinta telah menghabiskan uangnya tak tanggung-tanggung. Menyentuh angka seratus juta rupiah. Jika dia biarkan maka angka tersebut akan semakin bertambah dan menembus angka lima ratus juta rupiah dalam kurun waktu satu bulan. Jack sudah sangat trauma melihat betapa banyak uangnya yang Cinta hambur-hamburkan. Bukan Jack ini pelit pada anaknya. Hanya saja jika Cinta seolah tak ada rem dalam menghambur-hamburkan uang, maka dalam sekejab mata semua usaha dan kerja kerasnya selama ini akan musnah begitu saja. Jack tak akan membiarkan itu semua terjadi. Cinta tetap harus diberi pelajaran dan tak boleh bertindak sesuka hati seperti ini. Ini semua karena ia terlalu memanjakan Cinta selama ini. Apapun keinginan Cinta selalu ia turuti mengingat Cinta tumbuh besar tanpa didampingi seorang Ibu.
Ya, semenjak Rani meninggal dunia lima belas tahun lalu, Jack yang begitu setia pada mendiang istrinya memilih untuk tetap menyendiri menyandang status duda. Barulah sekitar tiga bulan lalu ia menikah lagi dengan seorang wanita yang merupakan mantan kekasihnya sewaktu mereka sekolah. Wanita yang juga berstatus janda tanpa anak karena suaminya pun juga meninggal karena sakit. Jadilah keduanya memutuskan untuk menikah setelah beberapa tahun terakhir tampak dekat dan sering berhubungan lewat komunikasi.
Cinta yang hanya menunduk tak berani menjawab apalagi membantah papanya yang sedang marah. Memilih diam saja menunggu amarah sang papa mereda.
Jack menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang. “Cinta, maafkan Papa. Mungkin Papa ini bukanlah orang tua yang baik untukmu. Tapi maafkan Papa jika keuputusan ini harus Papa ambil. Semua fasilitas yang selama ini Papa berikan akan Papa cabut kembali.”
Jack beranjak berdiri.
“Pa!” Cinta memohon, tapi tak dihiraukan oleh Jack.
Dalam hati Jack selalu mendengungkan sebuah kata maaf. ”Maafkan Papa, Cinta. Mungkin dengan cara ini kamu akan lebih bisa menghargai Papa.”
Di dalam kamarnya, Cinta menjambak rambutnya frustasi. Ini semua memang salahnya. Namun, dia melakukan semua ini juga karena suatu sebab. Jujur dia tidak suka Papanya menikah lagi dan menghianati cinta almarhum mamanya. Cinta tidak ingin istri baru papanya akan menguasai harta benda keluarganya. Oleh sebab itulah Cinta memilih menghabiskan uang Papanya sebagai bentuk protes pada lelaki yang telah membesarkannya itu. Namun, siapa sangka jika apa yang Cinta lakukan justru membuat Papanya murka.
Dengan gontai Cinta turun dari atas ranjang berjalan menuju kamar mandi. Ia akan membersihkan diri lalu menemui kakak lelakinya. Meminta tolong dan siapa tahu saja lelaki kedua dalam hidup Cinta itu mau membantunya serta memberikan solusi kepadanya.
***
Keluar dari dalam kamar Cinta, Jack berpapasan dengan Andrew yang sedang keluar dari dalam kamarnya. Mereka berdua saling tatap, dan Andrew dapat melihat raut wajah papanya yang kusut.
“Papa kenapa?” tanya Andrew prihatin.
Jack menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang berada dalam ruang keluarga. Mengusap wajahnya dengan telapak tangan.
“Papa menyerah. Tak tahu lagi dengan apa yang harus Papa lakukan untuk menghadapi sikap dan perilaku Cinta.”
Andrew mengikuti sang papa duduk di salah satu sofa. Mengambil bantalan sofa untuk dia peluk. “Apa Cinta berulah lagi?” tanyanya kemudian.
“Ya, dan ini semakin parah. Papa sudah putuskan akan mencabut semua fasilitas yang Papa beri untuknya.”
“Lalu, jika Cinta membutuhkan sesuatu bagaimana?”
“Mungkin Papa akan mengajarkan Cinta untuk bekerja agar dia tahu jika mencari uang tidak semudah saat dia meghabiskannya.”
“Memangnya Cinta bisa bekerja apa, Pa?”
“Apa saja asalkan dia bisa berusaha. Papa hanya ingin mengajarkan dia saja.”
Andrew tampak berpikir. “Jika bekerja di kantor rasanya juga akan sulit, Pa. Mengingat Cinta belum memiliki pengalaman apa pun. Terlebih dia juga belum lulus dari kuliahnya. Mungkin dengan bekerja part time bisa dia lakukan.”
“Menurutmu pekerjaan apa yang pantas Papa berikan untuknya?”
Andrew tampak berpikir, tangannya mengusap dagu dengan pikiran menerawang. “Tidak mungkin juga menjadi OG kan, Pa?” celetuknya membuat Jack terhenyak.
Ada-ada saja usul Andrew. Akankah ia tega mempekerjakan putrinya sebagai seoarang Office Girl. Namun, dia juga tak ada pemikiran apapun mengenai pekerjaan apa yang pantas untuk Cinta.
“Papa akan pikirkan kembali nanti.”
Jack beranjak berdiri. Meninggalkan Andrew begitu saja.”
***
Di kantor keesokan harinya, Jack telah selesai meeting dengan para rekan bisnisnya. Namun, lelaki itu tak juga beranjak dari duduknya. Ia masih menatap kosong pada jendela besar yang ada di dalam ruang meeting.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Jack?” tanya salah satu rekan kerja juga sahabat baiknya yang memang masih berada di dalam ruang meeting bersamanya.
Dialah Restu Wibisono. Seorang rekan bisnis juga sebagai tempat Jack berbagi kisah kehidupannya. Semenjak Jack memutuskan kembali tinggal di Indonesia, hanya pada Restu dan keluarganya Jack menjalin hubungan dekat.
“Ada hal yang membuat aku kepikiran.”
“Hal apa?”
“Ini mengenai Cinta.”
Restu tampak fokus mendengar cerita Jack. Ya, pernah suatu waktu Jack bercerita padanya akan keberatan Cinta dengan pernikahan lelaki itu.
“Kenapa dengan Cinta?”
“Dia kembali berulah. Padahal tujuanku membawa Cinta dan memindahkan kuliahnya ke Indonesia agar dia bisa berperilaku lebih baik lagi. Namun, kenyataannya semua diluar dari prediksiku. Aku sampai kehilangan akal untuk menghadapinya.”
“Memang apa yang dia lakukan sampai membuatmu frustasi seperti ini, Jack? Mungkin saja aku bisa membantumu.”
“Dia dengan seenaknya megahabiskan uang dan menyalahgunakan fasilitas yang aku berikan. Jika aku tak menegurnya maka lama-lama dia bisa menghancurkanku juga bisnis yang aku jalani ini.”
“Apa sebegitu parahnya perilaku Cinta, Jack?”
“Ya, kurasa begitu. Hanya saja caranya untuk melampiaskan kemarahan itu yag salah. Kerap kali aku menegurnya, tapi tak pernah dia hiraukan. Hingga aku sudah menyerah dan mulai sekarang aku cabut semua fasilitas yang aku berikan untuknya. Sekarang aku ingin mendidik agar dia bisa hidup mandiri agar Cinta tahu bagaimana susahnya mencari uang hingga dia tak berhak menghambur-hamburkan sesuka hati. Aku ingin dia bekerja jika masih ingin memiliki uang.”
“Bekerja. Apa kau tega membiarkan dia bekerja?”
“Terpaksa, Restu. Jika tidak begitu maka Cinta akan semaunya sendiri.”
“Lantas, pekerjaan apa yang kau tawarkan padanya?”
“Entahlah, aku juga belum ada rencana ingin memberinya pekerjaan apa. Kemarin aku sempat membicarakan hal ini dengan Adrew. Dan Andrew menyarankan untuk memberikan pekerjaan bagi Cinta di bagian OG.”
“Apa? OG? Yang benar saja. Masak iya pewaris Wills Corporation menjadi seorang OG.”
“Ini hanya sementara saja, Sampai dia sadar dan mengerti betapa arti hidup ini. Bagaimana seseorang yang berusaha dengan rajin hingga bisa memperoleh sebuah kesuksesan. Jika dia aku biarkan saja, maka akan semakin parah nantinya.”
Restu diam. Sempat berpikir sejenak. Jujur, mana tega ia melihat Cinta dipekerjakan oleh Jack sebagai seorang office girl.
“Eum ... Jack. Aku ada ide. Mungkin saja kau akan menyetujuinya.”
“Ide apa itu?”
“Kebetuan sekali aku sedang membutuhkan seorang pengasuh bagi cucuku, Arvy. Karena pengasuh dia yang dulu sudah tak dapat lagi bekerja padaku. Beberapa bulan terakhir ini Arvy hidup tanpa pengasuh. Akukasihan dengannya karena Arvy tak lagi ada yang menemani jika di rumah. Haanya ada Bibik yang menjaganya karena Zima juga sedang sibuk-sibuknya di kantor. Aku rasa jika Cinta mau jadi pengasuh Arvy akan lebih baik daripada dia menjadi seorang OG. Bagaimana menurutmu?”
Jack tidak langsung menjawab tapi ia berpikir. Mungkin ada baiknya ia menerima tawaran Restu. Menjadi pengasuh lebih tidak terasa capeknya ketimbang menjadi OG. Lagipula Arvy cucunya Restu sudah berusia delapan tahun. Tidak perlu digendong dan Jack rasa Arvy sudah mandiri menjadi seorang anak.
“Sepertinya idemu lebih bagus daripada ide Andrew.”
“Cinta juga bisa sambil kuliah di saat Arvy sekolah, Jack.”
“Ya, kau benar Restu. Baiklah, aku setuju dengan penawaranmu. Akan aku bicarakan hal ini dengan Andrew dan Cinta.”
Restu tersenyum pada sahabatnya. Jack sedikit lega, ia berharap dengan Cinta bekerja maka putrinya itu akan mempunyai tanggung jawab lebih pada dirinya sendiri. Selain itu bisa menghasilkan uang dari jerih payahnya sendiri. Agar lebih bisa menghargai bagaimana jerih payahnya selama ini mengembangkan perusahaan hingga berkembang pesat seperti ini.
***
“Apa, Pa? Menjadi babysitter?” tanya Cinta sedikit keras dengan nada tinggi. Bagaimana ia tidak terkejut kala papanya memberitahu bahwa dia bisa bekerja menjadi seorang babysitter jika masih ingin memiliki uang karena papanya benar-benar menghentikan uang bulanannya juga mencabut semua fasilitas yang ia miliki termasuk di dalamnya mobil dan juga kartu kredit serta kartu debit. Jika sudah begini Cinta bisa apa. Tak akan mungkin Cinta bisa bertahan hidup tanpa uang, banyak keperluannya yang harus ditebus dengan uang. Dan apalagi papanya tak lagi memberinya jatah bulanan. Dari mana lagi dia akan mendapatkan uang jika tidak menerima saja apa yang papanya tawarkan.
“Lagipula, dek, menjadi babysitter juga tak ada salahnya. Toh yang dijaga bukan anak bayi. Tapi anak berusia delapan tahun. Atau mungkin kau lebih memilih menjadi office girl?” Andrew menimpali apa yang Jack katakan tadi.
“Hah? Apa? Office girl! Yang benar saja. Kak, jangan mengada-ada.”
“Kakakmu tidak mengada-ada. Pilihanmu hanya ada dua. Menjadi babysitter atau menjadi office girl. Dan jika kau tak mau memilih dua-duanya maka bersiap-siap kau akan menjadi gembel Cinta. Karena kau tak akan memiliki uang yang biasa kau habiskan dengan sesuka hatimu.”
Bibir Cinta mengerucut. Ia sangat kesal sekarang. Tak ada lagi yang membelanya. Papanya murka dan kakaknya bukan membelanya tapi justru membela papanya. Sekarang Cinta berada diposisi yang sangat sulit. Tak ada pilihan yang lebih manusiawi lagi.
Ia mengembungkan kedua pipi menunduk sambil memilin jari-jari tangannya.
“Pa, Kak, apa tidak ada pilhan yang lebih baik lagi. Atau mungkin Papa ingin mempekerjakan aku di kantor Papa.”
“Jika kau ingin bekerja di kantor Papa, hanya ada posisi OG yang kosong. Terserah jika kau ingin mengisinya.”
“Maksudku bukan OG, Pa. Di bagian administrasi atau Manager misalnya.”
Andrew tertawa kencang. ”Dek jangan bermimpi menjadi Manager jika kuliahmu saja masih amburadul. Lulus dulu dengan nilai cumlaude baru Papa akan memberikanmu jabatan Manager.”
“Terus saja kau mengejekku, Kak.”
“Sudah ... sudah. Cinta, apa keputusanmu? Papa tak ada banyak waktu karena penawaran ini terbatas.”
“Bolehkah aku memikirkannya?”
“Semakin kau lama berpikir, maka persediaan uangmu semakin menipis. Kau tak akan bisa bersenang-senang apalagi nongkrong dan shopping bersama teman-temanmu.”
“Kenapa Papa menyebalkan sekali!”
Jack mengedikkan bahu, “Ini semua terserah padamu Cinta. Yang pasti tak akan ada lagi kucuran dana dari Papa, karena jatahmu selama setahun ke depan sudah kau habiskan cuma-cuma.”
“Oke, baiklah. Aku akan memiih ... menjadi babysitter saja daripada menjadi seorang OG yang diminta membersihkan WC. Aku tidak mau. Kuku-kuku tanganku akan rusak nanti jika aku bekerja kasar.”
“Menjadi babysitter pun kau tak boleh laha-leha.”
“Aku tahu, Pa. Setidaknya jika menjadi babysitter aku hanya perlu menemaninya saja, kan. Menemani makan juga menemaninya bermain. Lebih mudah aku lakukan.”
“Jadi ... deal. Kau memilih menjadi seorang babysitter?”
Cinta menganggukkan kepala.
“Baiklah, aku akan memberitahu teman Papa jika kau bersedia menjadi babysitter cucunya.”
“Memangnya siapa, sih, teman Papa itu?”
“Kau masih ingat teman almarhum mamamu yang bernama tante Zima dan Om Restu?”
Cinta tampak mengingat. Namun, hanya sedikit ingatan yang ia tahu selebihnya dia lupa bagaimana wajah mereka. Sudah lama sekali Cinta tidak bertemu dengan mereka semua. Karena setelah mamanya meninggal, mereka satu keluarga pindah ke Belanda dan menetap di negara kincir angin tersebut selama berpuluh tahun lamanya.
Jika Papa dan kakaknya sudah kembali menetap di Indonesia sejak dua tahun yang lalu, lain halnya dengan Cinta yang baru sekitar tiga bulan lalu dipindahkan oleh papanya. Ini semua juga karena kelakuannya yang suka berfoya-foya di Belanda tanpa pantauan papanya yang memang berada di Indonesia. Karena mereka hidup di dua negara yang berbeda memudahkan Cinta bersikap dan bertindak sesuka hatinya. Hingga menjadikan Jack takut dan ketar-ketir padanya jika sampai Cinta salah pergaulan. Jack memaksa Cinta pindah ke Indonesia dan menyekolahkan Cinta di salah satu Universitas swasta yang lumayan tekenal di kota tempat tinggal mereka saat ini.
“Aku ingat namanya, tapi lupa rupa wajah mereka.”
“Ya, maklum saja kau tak pernah bertemu lagi dengan keluarga mereka. Besok kau ikut Papa datang ke rumah mereka.”
Cinta memaksakan diri mengangguk meski dengan berat hati.
***
Pagi ini sebelum datang ke kantor, Jack sengaja membawa Cinta mengunjungi rumah Restu. Setelah sebelumnya ia sudah menelpon sahabatnya itu jika pagi ini ia akan membawa Cinta untuk berkenalan dengan Arvy. Mobil Jack memasuki pelataran rumah mewah yang merupakan hunian keluarga Restu Wibisono.
“Ayo kita keluar,” ucap Jack memberi perintah pada Cinta.
Sedikit ragu dan gugup Cinta rasakan ketika kakinya turun dari dalam mobil. Sesungguhnya ia tak yakin akan kemampuannya menjadi seorang babysitter. Selama ini Cinta tak pernah berhubungan dengan anak kecil meski sebenarnya ia sangat menyukai anak-anak.
“Cinta kenapa diam saja. Ayo!”
Cinta mengikuti sang Papa yang kini telah mengetuk pintu rumah. Seorang wanita tua muncul dari balik pintu.
“Selamat pagi, Bi. Apakah Restu ada?” Jack bertanya.
“Oh, Tuan Restu ada. Anda sudah di tunggu di dalam. Mari silahkan masuk.”
Jack menoleh ke belakang meminta pada Cinta untuk mengikutinya. Keduanya melangkah memasuki rumah. Pandangan mata Cinta menyusuri seisi rumah ini. Entah mendapai rumah ini yang terkesan homy membuatnya merasakan sebuah kenyamanan.
“Jack, ayo masuklah. Kau sudah ditunggu oleh Zima.” Restu menyambut kedatangan tamunya. Pandangannya beralih pada seorang gadis muda yang berada di belakang tubuh Jack.
“Jack, apakah dia Cinta?”
Jack tersenyum lebar, “Ya, dia adalah Cinta.”
Cinta tersenyum menyapa Restu.
“Ya, Tuhan Cinta, kau sudah besar sekali. Terakhir aku bertemu denganmu saat usiamu lima tahun. Sebelum papamu membawamu ke Belanda waktu itu. Senang bertemu denganmu Cinta.”
Keduanya saling berjabat tangan. “Aku juga senang dapat berjumpa dengan Om Restu.”
“Ayo kalian masuklah, pasti Zima akan senang sekali melihatmu datang.”
Cinta melangkah mengikuti papanya masuk ke dalam rumah. Matanya mengedar menatap seluruh ruangan di rumah yang masih sangat asing olehnya. Entahlah, ia lupa apakah pernah berkunjung ke rumah ini atau tidak.
Restu dengan semangat mencari sang istri yang berada di dalam kamar. “Zi! Ayo keluarlah. Lihat siapa yang datang sekarang!”
Zima membuka pintu kamar dan menatap pada sang suami. “Ada apa?”
“Ayo ikut aku. Lihat siapa yang datang.”
Restu menarik lengan istrinya membawa ke ruang keluarga di mana di sana ada Jack juga Cinta yang duduk di atas sofa. Mata Zima melebar terkejut mendapati Jack bersama anaknya. Wanita itu segera berhambur pada Cinta. Duduk di samping gadis itu sampai membuat Cinta terheran.
Ia pegang bahu Cinta, menelisik seorang gadis yang telah lama tidak ia jumpai. “Ya, Tuhan. Cinta, Tante rindu sekali padamu. Kau apa kabar?”
Begitu saja Zima memeluk Cinta dan lihatlah Gadis itu merasakan perasaan yang berdesir mendapat pelukan dari seseorang. Hati Cinta menghangat. Ia sangat merindukan pelukan seorang ibu seperti ini. Keinginan yang selalu ia pendam selama ini. Bahkan ketika papanya menikah lagi, ia sama sekali tak ingin berada dipelukan mama barunya. Namun,sekarang Cinta tahu bagaiamna rasanya dipeluk dengan hangat oleh seseorang yang ia rasa seperti ibunya.
“Cinta pasti lupa dengan tante. Lama sekali kita tidak bertemu. Aku Tante Zima. Sahabat mamamu. Apa kau lupa, sayang?”
Cinta mengangguk karena ia memang tidak mengingatnya. Semenjak mamanya meninggal, Cinta hanya beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Itupun tak pernah lama. Hanya mengunjungi makam mamanya dan setelah itu tinggal satu atau dua hari. Sesudahnya ia akan kembali lagi ke Belanda. Tidak pernah juga Cinta bertemu dengan wnaita di hadapannya ini yang mengnalkan diri sebagai teman mamanya.
Keduanya saling mengobrol bertanya kabar serta mengenang masa silam. Sungguh, Zima rindu sekali akan keberadaan Rani. Namun, ia tak boleh bersedih karena hal itu akan membuat Cinta ikut bersedih. Dan di saat mereka saling membicarakan seputar pekerjaan apa yang Restu tawarkan pada Cinta, di saat itulah seorang bocah lelaki menuruni anak tangga menuju lantai satu rumah ini. Memberikan salam dan langsung mendekat pada Zima dan Restu. Merasa heran karena sepagi ini sudah ada tamu yang datang.
“Arvy sudah mau berangkat sekolah?” Zima bertanya pada cucunya.
“Iya, Oma.”
“Kita sarapan dulu. Oh iya, kenalkan. Ini teman Oma dan Opa. Namanya Opa Jack. Dan ini anaknya Opa Jack namanya Kak Cinta. Berikan salam pada mereka, Arvy.”
Arvy menurut memberikan salam pada keduanya. Melihat pandainya Arvy menaruh perhatian seorang Cinta Willis. Dalam hati ia berpikir, jadi inikah bocah yang akan dia asuh di rumah ini? Tak buruk juga menjadi babysitter Arvy karena Cinta yakin jika Arvy adalah anak yang penurut jika dilihat dari sikap dan perilakunya.
“Selamat pagi. Oh, ada tamu rupanya,” ucap seorang lelaki yang juga baru saja menuruni anak tangga dan langsung menuju ruang keluarga di mana semua sedang berkumpul di sana.
Cinta medongak menatap pria dengan pakaian khas kayawan kantor yang memilih duduk di samping Restu.
“Oh, hai Om Jack? Apa kabar?”
Cinta terkejut karena rupanya pria itu kenal dengan papanya. Matanya masih mengawasi bagaimana si pria berjabat tangan dengan papanya.
“Raf, kenalkan. Dia anak perempuan Om. Adiknya Andrew. Namanya Cinta.”
Perhatian Rafa tertuju pada Cinta. Jujur, meski ia telah mengenal Jack juga Andrew akan tetapi mengenai Cinta Rafa belum mengenal dan baru sekali ini mengetahuinya. Pernah beberapa kali Jack bercerita mengenai anak perempuannya yang menetap di Belanda dan rupanya gadis ini lah yang dimaksud.
“Hai, kenalkan. Aku Rafa.“ Rafa dan Cinta saling berkenalan
Zima berucap menjelaskan pada Cinta mengenai siapa Rafa. “Cinta, dia adalah Rafa. Anak ketiga Tante dan Om.”
Cinta hanya ber-oh saja menanggapi karena sekarang ia mendapat jawaban juga tentang siapa pria bernama Rafa. Hanya saja yang Cinta tidak tahu, ia pikir Arvy adalah anaknya Rafa.
“Arvy, ayo sarapan dulu sebelum berangkat.“ pinta Rafa pada keponakanya. Mengusap kepala Arvy dan membawanya masuk ke dalam ruang makan hingga keduanya tak terlihat lagi. Cinta masih sibuk mengawasi.
“Eum ... Cinta.” Panggilan Zima menginterupsi Cinta.
“Ya, Tante.”
“Jadi nanti tugas Cinta adalah menjaga dan mengasuh Arvy. Tenang saja Arvy sudah lumayan besar jadi tidak akan terlalu merepotkan. Hanya saja dia membutuhan teman setiap pulang sekolah. Karena biasanya dia akan kesepian jika di rumah sendirian hanya dengan Bibik saja.”
“Iya, Tante. Saya mengerti.”
“Satu hal lagi, Cinta. Apakah kau tidak keberatan jika menginap di sini? Untuk memudahkanmu saja agar tidak bolak balik. Daripada capek di jalan, kan?”
Cinta tak langsung menjawab tapi ia menoleh pada papanya. Meminta persetujuan pada Jack. Pria itu pun mengangguk memberikan izin pada putrinya untuk tinggal sementara di rumah ini.
“Baiklah, Tante. Saya setuju.”
“Terima kasih, Cinta. Kapan pun kamu ingin pulang Tante tak akan melarang.”
“Iya, Tante.”
“Ya, sudah. Berarti semua sudah jelas. Jika begitu ada baiknya kita sarapan bersama pagi ini. Ayolah Jack, jangan menolak. Kita ini keluarga.” Zima mulai melancarkan rayuan yang tak mungkin bisa Jack tolak.