Langkah-langkah berat terdengar dari dalam kamar. Suara pintu terbuka pelan. Adiraja keluar dari kamarnya, rambutnya sedikit acak, kaus polos abu gelap melekat pada tubuh tegapnya. Ia bermaksud hanya satu: minum. Tenggorokannya kering. Matanya lelah. Kepalanya masih penuh amarah yang belum sepenuhnya ia mengerti asalnya. Sambil berjalan ke arah pantri, matanya menangkap sesuatu yang sempat ia abaikan tadi. Meja makan. Makanan masih tersaji rapi. Tertutup tudung saji. Sendok dan piring bersih sudah diletakkan. Semangkuk sup ayam, nasi, lauk sederhana, bahkan sambal—semua tersusun tanpa cacat. Seolah seseorang benar-benar menyiapkan makan malam… untuknya. Jantungnya mencelos. Langkahnya terhenti. Ia tak segera membuka kulkas. Matanya hanya terpaku pada meja itu, lalu secara refleks, me

